Connect with us

Sport

Jelajah Bali, Selalu Ada Kejutan

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Gowes saat hari raya Kuningan di Bali memiliki daya tarik yang kuat. Foto: Aditia P Warman

Oleh: JANNES EUDES WAWA

Di kalangan para pesepeda, bersepeda di Bali adalah impian. Selain sebagai daerah wisata dunia, Bali juga selalu menawarkan keunikan, terlebih lagi dipadukan dengan sejumlah aktivitas budaya dan tradisi. Perpaduan itu membuat daya tarik Pulau Dewata ini begitu kuat.

Hal itu juga dirasakan para pesepeda yang mengikuti Jelajah Bali Bike yang dilakukan pada 18-19 Juni 2022 lalu. Hingga kini kesan keunikan Bali masih begitu kencang mengiang. Apalagi, touring sepeda saat itu bersamaan dengan hari raya Kuningan. Sebagian besar warga Bali keluar rumah, mengenakan pakaian tradisional, dan berduyun-duyun ke Pura sambal membawa sesajen.

Khairul Azmi Moktar,  pesepeda asal Selangor, Malaysia, mengaku baru pertama kali bersepeda di Bali. Kesan yang didapat begitu luar biasa. “Kami tidak menyesal berparitipasi dalam Jelajah Bali Bike ini. Jalur yang dipilih sangat mengasyikan, terutama pada hari pertama dari Sanur ke Kintamani pergi pulang. Jalannya sepi, banyak pohon, melewati hutan bambu, sawah dengan padi yang tumbuh subur, bahkan suhu udara pun kalem,” ujarnya.

Itu sebabnya, tanjakan panjang sejauh kurang lebih 35 kilometer mulai dari Tohpati (Klungkung) hingga di Kintamani dan Penelokan meski berat, tetapi tetap menyenangkan. Lebih menarik lagi, jalan menuju Kintamani di kiri dan kanan jalan terpasang penjor oleh warga setempat. Di hampir di setiap pemukiman, warga Bali keluar dari rumah masing-masing dengan membawa sesajian untuk di bawah pura terdekat.

Hari raya Kuningan sering disebut Tumpek Kuningan jatuh pada hari Sabtu kliwon, Wuku Kuningan. Pada hari itu umat Hindu di Bali melakukan pemujaan kepada para dewa untuk memohon keselamatan, kedirgayusan, perlindungan dan tuntutan lahir bathin. Hari raya Kuningan terjadi pada 10 hari setelah Hari Raya Galungan.

Penjor dipasang tepat pada hari penampahan galungan, setelah jam 12 siang. Hal ini bermakna bahwa ketika hari raya penampahan galungan manusia telah berperang melawan pikiran yang kotor, berperang melawan sifat negatif, dan sifat ego. Setelah memenangkan perperangan melawan pikiran serta sifat-sifat buruk itu, maka sebagai pertanda kemenangan dipasanglah penjor.

Penjor terbuat dari sebatang bambu yang ujungnya melengkung. Batang bambu itu dihiasai janur atau daun enau yang masih muda serta daun-daun lainnya. Penjor merupakan simbol dari Naga Basuki yang artinya kesejahteraan dan kemakmuran. Bagi umat Hindu di Bali, penjor merupakan simbol gunung yang dianggap suci.

“Baru pertama kali, saya bersepeda di Bali dan Indonesia. Rasanya indah sekali. Apalagi bersepeda saat hari raya Kuningan. Kita berjalan diapit penjor. Sungguh menawan. Luar biasa. Saya salut dengan tim Jelajah Bike yang memilih touring sepeda di Bali saat seperi ini. Kami sangat puas,” ungkap Khairul. Dalam Jelajah Bali Bike tahun 2022 ini, Khairul datang bersama lima pesepeda dari Selangor dan Kuala Lumpur. “Kami pun takkan berpikir dua kali untuk mengikuti event Jelajah di masa mendatang,” tambah Khairul.

Alam yang indah disertai dukungan tradisi yang kuat membuat Bali begitu menarik dan memikat bagi wisatawan. Foto: Aditia P Warman

Malik, pesepeda asal Nabire juga mengaku sangat beruntung mengikuti Jelajah Bali Bike 2022 ini, sebab bisa gowes di tengah aktivitas masyarakat Bali melakukan tradisi ritual keagamaan dan budaya.

“Gowes kali ini saya mendapatkan tiga hal menarik sekaligus, yakni jalur yang keren. Gowes di tengah keindahan alam yang luar biasa, serta melihat dari dekat ritual tradisi masyarakat Bali,” ujarnya.

Dunia pariwisata di Bali memang unik. Upacara keagamaan, ritual adat dan pariwisata telah menyatu, dan saling melengkapi. Itu sebabnya, hari raya Kuningan pun menjadi daya tarik bagi wisatawan. Hal ini telah berlangsung puluhan tahun. Maka, tidak sedikit wisatawan memilih berlibur di Bali saat hari raya, sebab ingin menyaksikan dari dekat ritual adat dan upacara keagamaan.

Nuansa Bali

Jelajah Bali Bike 2022 dilakukan dua hari dengan sentral di Sanur. Hari pertama, bergerak ke arah Kintamani melewati Tohpati, dan Landih, lalu menanjak lagi hingga di Penelokan. Meski tanjakan di jalur ini mencapai kurang lebih 35 kilometer, tetapi panorama yang ada sungguh indah.

Di sepanjang kiri dan kanan jalan mulai dari Tohpati tampak masyarakat Bali: tua-muda, laki-laki dan perempuan keluar rumah dengan mengenakan pakaian putih dan kain adat membawa sesajen untuk menuju ke Pura. Tidak sedikit pula yang terlebih dahulu melakukan ritual di tepi jalan persis di depan rumah masing-masing tidak jauh dari penjor yang terpasang.

Beberapa kali selama perjalanan menuju Kintamani, peserta juga berjumpa dengan barisan warga Bali yang bersama-sama melakukan perarakan di jalan raya. Diiringi musik tradisional, mereka berjalan menuju Pura dan beberapa orang di antaranya membawa sesajen.

Menjelang Landih, ada lagi barisan serupa yang mayoritas adalah orang muda. Di antara mereka, ada beberapa orang yang mengalami kesurupan. Adanya kesurupan diyakini sebagai pertanda hadirnya sang dewa dalam acara tersebut.

“Saya senang sekali bisa menyaksikan ritual ini dari dekat. Ritual yang hadir di jalan ini memberi nuansa Bali begitu kuat dalam touring sepeda Jelajah Bali Bike ini. Benar-benar keren dan penuh kejutan untuk peserta,” ujar Engkun Kurnia, pesepeda dari Bandung.

Tidak jauh dari Kintamani, perjalanan melewati hutan pinus sejauh kurang lebih 1,5 kilometer. Jika cuaca cerah, saat berada di lokasi ini akan tampak jelas Gunung Agung di sisi kanan, dan Gunung Catur di sebelah kiri atau sebaliknya kalau berjalan dari arah Kintamani menuju Landih.

Siang itu, semua peserta berhenti sejenak di Lake View Kintamani untuk makan. Lokasi ini sangat strategis dan menarik. Dari restoran tersebut tampak jelas panorama nan eksotik Gunung Batur dan Danau Batur. Hawanya pun sejuk membuat pengunjung ingin bertahan lebih lama.

Peserta melewati hutan bambu dengan jalan yang relatif sepi dari kendaraan bermotor. Ini membuat gowes jadi menarik. Foto: Aditia P Warman

Sehabis makan, perjalanan dilanjutkan ke arah Penelokan. Masih ada tanjakan sekitar 3,5 kilometer. Beberapa peserta sempat bersungut lagi. “Kok nanjaknya ga habis-habisnya. Kapan turunnya nih”. Penelokan berada pada ketinggian sekitar 1.640 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Rute hari pertama ini memang sangat menantang, sebab menyerupai gunung atau nasi tumpeng. Perjalanan bergerak dari 10 meter di atas permukaan laut (mdpl) menuju ke 1.600an mdpl, lalu kembali ke 10 mdpl lagi.

Sekitar 30 meter menjelang Pura Batur, gowes belok ke kiri, dan mulai memasuki turunan. Mula-mula menghadapi jalan dengan aspal terkelupas hingga sejauh kurang lebih dua kilometer. Beberapa pesepeda yang menggunakan sepeda balap (roadbike) memilih menuntun sepedanya agar terhindar dari kecelakaan.

Selepas itu, jalan yang dilewati beraspal mulus. Turunan yang cukup panjang memaksa para pesepeda harus berkosentrasi penuh. Melewati Jalan Payangan, Jalan Raya Sayan Ubud hingga masuk Jalan Raya Batu Bulan, kemudian masuk ke Jalan WR Supratman, dan kembali memasuki Jalan Bypas Sanur dan finish di Inna Beach Resort yang juga menjadi lokasi start pada pagi hari.

Mulai bangkit

Pada hari kedua, bergerak ke arah selatan menuju Benoa, Tuban, Nusa Dua, Pantai Melasti, Pecatu, Uluwatu, Kuta dan Sanur. Di jalur ini peserta berkali-kali harus menghadapi jalan naik dan turun (rolling), dan terakhir menghadapi tanjakan ngehek tidak jauh dari Pantai Panjang-panjang.

Gowes hari kedua  itu semakin menarik, sebab di sepanjang kiri dan kanan mulai dari Uluwatu hingga Pantai Panjang-panjang lalu lalang para wisatawan asing.  Ada berjalan kaki. Ada yang bermobil, ada pula menggunakan sepeda motor.  Banyak di antara mereka tidak mengenakan baju. Mereka benar-benar menikmati sengatan terik mentari, yang mana di negara asalnya termasuk barang langka.

“Senang melihat bule semakin ramai di Bali. Itu menandakan pariwisata Bali mulai menggeliat. Perputaran ekonomi di Bali mulai bergerak. Ini sangat bagus untuk masyarakat Bali, dan juga negeri kita,” kata Erwin Munandar, pesepeda asal Makassar.

Selepas Pantai Panjang-panjang, mulai menghadapi lagi tanjakan. Semakin ke depan, tanjakan terus meningkat, bahkan pada tanjakan tertinggi kemiringannya hingga 15 derajat. Hanya sebagian kecil peserta yang bisa melewati tanjakan ini dengan gowes. Selebihnya tuntun dan evakuasi.

Jalur Tohpati-Kintamani termasuk salah satu jalur favorit untuk bersepeda di Bali. Foto: Aditia P Warman

“Gowes ini lebih pas judulnya tanjakan perih, turunan pun perih. Bayangkan, hari pertama gowes ke Kintamani tanjakan yang tiada habisnya, lalu turun lagi ke Sanur dalam jalur yang panjang, bikin kita ekstra hati-hati. Rute jalurnya mirip nasi tumpeng. Hari kedua tanjakan tidak panjang, tetapi berkali-kali bikin energi dan emosi habis terkuras. Tapi keren. Saya puas dan bahagia,” ujar Yoke Haulani Latif, pesepeda asal Jakarta.

Peserta juga mengacungi jempol untuk jajaran Kepolisian di Bali yang mengamankan dan menjaga di setiap persimpangan jalan. Kehadiran polisi sebagai jaminan rasa aman dan nyaman. “Saya salut dengan jajaran polisi di Bali yang setia menjaga event ini. Hal seperti ini jarang kami jumpai di daerah lain,” kata Chandra Widyanto, pesepeda asal DI Yogyakarta.

Jelajahi Bali memang takkan ada habisnya. Alam yang indah yang dipadukan dengan tradisi budaya telah membuat pariwisata Bali menjadi unik dan berwarna. Jalur sepedanya pun begitu banyak dari pantai hingga pegunungan. Ini yang membuat orang selalu datang lagi ke Bali. Setiap kali menjelajahi Bali selalu menghadapi kejutan. Sampai jumpa pada Jelajah Bali Bike 2023.

JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda

 

Jelajah Rote, Perkuat Semangat Satu Bangsa

 

Share ini

Cyling

Tour d’ Entete: Flobamora Menggebrak Dunia

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Oleh JANNES EUDES WAWA

Tidak seorang pun di Indonesia yang meragukan tentang keindahan panorama alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keunggulan wilayah ini tidak semata-mata biawak raksasa Komodo, danau tiga warna Kelimutu atau Pulau Padar yang menawan. Masih banyak obyek lain baik alam maupun keunikan tradisi masyarakat yang selalu menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namun menjual potensi alam perlu dengan kerja kreatif  dan inovatif.

Selama 15 tahun terakhir, pariwisata di Nusa Tenggara Timur berkembang pesat. Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2010, misalnya, hanya 148.673 orang, tetapi pada, tahun 2024 mencapai 1,5 juta orang atau meningkat sekitar 900 persen.

Seekor Komodo sedang menguap di Pulau Komodo. Foto: Arsip Jelajah Sport

Kenaikan kunjungan yang sangat signifikan terjadi setelah Yayasan New7Wonders menyatakan Pulau Komodo dan Taman Nasional Komodo di Flores menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru pada tahun 2012. Keputusan tersebut melalui pemilihan (voting) dan klarifikasi yang melibatkan jutaan pemilih dari seluruh dunia.

Sejak itu, mata dan hati warga dunia langsung tertuju ke Komodo. Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah terobosan untuk membenahi Labuan Bajo sebagai pintu masuk Komodo baik infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan raya, penataan kota, pembangunan landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Komodo, pembenahan pelabuhan maupun kebijakan lain yang mendorong investasi swasta.

Bahkan, pemerintah pusat juga menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya kota di luar Bali dan Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara ke-42 tahun 2023. Kegiatan itu memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan ekonomi di Labuan Bajo pada khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Bahkan, adanya ASEAN Summit telah menguatkan posisi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Hasilnya bukan semata-mata meningkatkan kunjungan wisatawan, melainkan juga maraknya investasi yang cukup signifikan di Labuan Bajo. Investasi yang paling nyata adalah hadir hotel-hotel berbintang tiga, bintang empat, bahkan bintang lima di wilayah Flores barat tersebut. Penyediaan kapal phinisi untuk melayani wisatawan juga kian banyak.

Kerja Kreatif dan Langkah Inovatif

Gubernur Nusa Tenggara Timur Melkiades Laka Lena tidak mau terlena dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan itu. Bagi dia, potensi yang dimiliki NTT saat ini seharusnya mampu menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Namun demikian, keinginan tersebut membutuhkan kerja kreatif dan langkah-langkah inovatif.

Labuan Bajo di Manggarai Barat, Flores, menjelang senja. Panoramanya sangat menawan. Foto: Jannes Eudes Wawa

NTT tidak semata-mata Labuan Bajo. Masih banyak potensi tersebar di Flores, Sumba, Timor serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua (Flobamora) yang memiliki potensi yang nyaris tidak sama antara satu daerah dengan lainnya.

Ada tradisi masyarakat, bahasa, rumah adat dan sistem sosial yang berbeda. Belum lagi potensi alam pantai, pesona dasar laut, pegunungan dan hamparan sabana. Semua itu dapat menjadi kekuatan yang saling menopang dan saling melengkapi. Jika itu terjadi, maka akan sangat potensial dalam menjaring wisatawan mengunjungi NTT dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi.

Bagi Gubernur NTT, pariwisata tidak semata-mata menjual panorama alam, kekayaan budaya dan lain sejenisnya. Pariwisata sesungguhnya dapat berkembang melalui banyak aktivitas sebagai wadah untuk memasarkan dan mempromosikan antara lain even olahraga, festival dan lainnya sekaligus menjaring wisatawan. Wisata olahraga atau sport tourism adalah pilihan yang ideal. Kolaborasi antarsektor inilah yang perlu diberdayakan dan dihidupkan di NTT.

Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai. Letaknya di lambah pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jelang petang suhu dingin. Wisatawan asing paling banyak mengunjungi kampung ini. Foto: Jannes Eudes Wawa

Di tingkat dunia, banyak ajang olahraga yang terbukti memacu perkembangan sektor pariwisata. Penyelenggaraan even olahraga berskala internasional yang melibatkan banyak negara selalu menciptakan kehebohan sekaligus menyedot perhatian warga dunia. Secara bertahap aktivitas itu akan menarik wisatawan.

Potensi Wisata Tersebar Merata

Itu sebabnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menggagas penyelenggaraan even balap sepeda internasional di Nusa Tenggara Timur yang melewati tiga pulau besar sekaligus yakni Timor, Sumba dan Flores. Kegiatan bernama Tour de Entete ini berlangsung pada 10-21 September 2025, memulai dari Kota Kupang dan finis di Labuan Bajo. Momentum tersebut menjadi menjadi etalase megah bagi promosi pariwisata NTT. Jelajah Sport mendapatkan kepercayaan untuk menangani event ini.

Balap sepeda jalan raya bertaraf internasional selama 10 hari ini akan melintasi berbagai destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tour d’ Entete memadukan olahraga dan pariwisata (sport tourism), dengan harapan menarik partisipasi pembalap dari dalam dan luar negeri.

Bukit Tanarara di Sumba Timur. Indah dan menawan. Foto: Arsip Tour d’ Entete

Melalui rute spektakuler yang membentang dari Kota Kupang hingga Labuan Bajo, Tour d’ Entete akan menghadirkan narasi baru bahwa setiap jengkal tanah di NTT memiliki cerita, setiap tanjakan dan turunan adalah cerminan dari kekayaan geografis serta karakter masyarakatnya yang tangguh dan ramah. “Ini momentum emas untuk memperlihatkan bahwa potensi pariwisata di NTT tersebar merata di semua wilayah, tidak terpusat di satu kawasan semata,” kata Melkiandes Laka Lena.

Sport tourism selalu menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan suatu daerah, memperkenalkan daya tari wisata dan menarik wisatawan. Aktivitasnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor pariwisata, perhotelan, kuliner dan transportasi. Sport tourism juga menjadi ajang memperkenalkan budaya dan kearifan local kepada wisatawan.

1.537 Destinasi Wisata

Data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan hingga tahun 2024 terdapat 1.537 destinasi wisata di NTT yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Destinasi itu terbagi dalam tiga bagian yakni wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.

Dengan Tour d’ Entete, pemerintah setempat ingin menggabungkan keindahan alam dan kekayaan budaya NTT dengan semangat olahraga. Balap sepeda bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga menyuguhkan kegembiraan, memamerkan keindahan alam, atraksi visual, dan interaksi langsung dengan masyarakat. “Ini adalah cara kami merayakan NTT sambil memperkenalkannya ke panggung dunia,” jelas tambah Gubernur Melki Laka Lena.

Pantai Koka di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Pantai berpasir putih berbentuk hati. Potensi ini belum tergarap. Foto: Arsip Tour d’ Entete

Tour d’ Entete juga menjadi momentum strategis Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di NTT. Dengan rute yang melintasi berbagai wilayah, maka membutuhkan akses yang baik dan aman, maka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Infrastruktur berkualitas akan membuka peluang bagi sektor pariwisata berkembang pesat. Inilah salah satu manfaat yang bakal dinikmati masyarakat.

Jangan Lewatkan!!

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.

Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.

Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike

“Rolling” Lagi

Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.

Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike

Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.

Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram

Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal  dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.

Touring  kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.

Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.

Kecerdikan Sultan

Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.

Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike

Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.

Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.

“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike

Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.

Menuju Yogyakarta

Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike

Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).

 

Tulisan Sebelumnya:

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Bali Yang Sulit Terlewatkan

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh:  JANNES EUDES WAWA

Sudah berada di Banyuwangi tanpa menuju ke Bali yang ada di depan mata rasanya perjalanan ini kurang sempurna. Pulau Dewata adalah surganya wisatawan dunia. Setiap hari puluhan pesawat berbadan lebar dari segala penjuru dunia mengatarkan ribuan wisatawan asing mengunjungi Bali. Kami pun tidak mau melewatkan kesempatan ini: mengayuh sepeda masuk ke Bali.

Saya sebenarnya sudah sering menyeberangi Selat Bali dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk, Negara, Bali, atau sebaliknya. Semuanya menggunakan mobil.  Baru pada Sabtu, 9 November 2024 dengan mengayuh sepeda. Tidak ada perbedaan yang mencolok, tetapi menaiki kapal fery dengan bersepeda terasa banget sensasinya. Saat mengayuh menuju kapal suasana hati terasa lebih bebas seluas bentangan alam raya yang di depan mata.

Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (9/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Sabtu pagi itu, kami melanjutkan perjalanan bersepeda hari kedua dalam Jelajah Banyuwangi-Bali. Tujuannya adalah Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali. Sesuai jadwal, kapal fery yang kami tumpangi akan mengangkat jangkarnya tepat pukul 07.00 WIB atau 08.00 Wita di Bali. Sebelum itu, kami perlu melakukan pelaporan (check in) tiket di gerbang masuk pelabuhan dan menunggu atrian pelayaran.

Itu sebabnya, sekitar pukul 06.00 WIB, kami sudah bersiap diri di depan Hotel Santika Banyuwangi. Tas pakaian dan tas sepeda (bike box) sudah berada dalam mobil panitia untuk diangkut menuju Lovina. Tidak lama kemudian, kami mulai bersepeda menuju ke Pelabuhan Ketapang.

Jarak dari Hotel Santika ke Pelabuhan Ketapang kurang lebih 13,5 kilometer. Kami hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit menyelesaikan rute pendek ini. Di Pelabuhan, langsung menuju ke gerbang untuk check in tiket, setelah itu petugas mengarahkan kami ke tempat tunggu sambil membawa sepeda masing-masing. Dia akan menyilakan naik kapal jika waktunya sudah tiba.

Suhu Panas

Suhu pagi itu sudah mulai panas. Mungkin karena Banyuwangi berada di tepi pantai sehingga suhu panasnya terasa menyengat. Hannar Yogia, pesepeda asal Bandung sempat bergurau, “Sekarang baru jam 06.40 (WIB), tetapi suhunya terasa seperti sudah di atas jam 09.00 (WIB)”.

Menjelang pukul 07.00 WIB, petugas menyuruh kami bergerak menuju kapal. Saat yang sama, mobil dan motor pun demikian. Kapal yang kami tumpangi itu mengangkut 12 unit mobil dan 20 unit mobil. Penumpang hanya sekitar 100 orang. Kapal fery yang melayani penyeberangan Ketapang-Gilimanuk berlangsung setiap saat. Lama pelayaran berkisar 40-60 menit. Kadang bisa lebih lama tergantung kondisi cuaca dan arus laut.

Sepeda saat dalam kapal fery Ketapang-Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Akan tetapi, kapal kami membutuhkan waktu sekitar 75 menit baru merapat di Pelabuhan Gilimanuk. Entah apa penyebabnya. Padahal, ada dua kapal yang berangkat dari Ketapang terlambat, malah tiba terlebih dahulu. Proses penurunan kendaraan bermotor dan penumpang dari kapal cukup singkat, sekitar 20 menit. Setelah berada di darat, kami perlu regrouping. Setelah semua peserta berkumpul barulah memulai mengayuh sepeda di Bali. Saat itu waktu sudah pukul 09.40 Wita atau terlambat sekitar 45 menit dari yang ditargetkan panitia.

Kami pun bergerak menuju persimpangan Gilimanuk. Pertigaan itu menghubungkan lintas selatan dan lintas utara.  Kami memilih belok ke kiri melewati pesisir utara. Rute pantai utara ini menuju ke Pemuteran, Lovina, Buleleng, Singaraja hingga Amed. Jalur ini relatif sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Kondisi jalan beraspal mulus. Kendaraan mulai sedikit ramai setelah memasuki kawasan Lovina.

Saat meninggalkan kawasan Gilimanuk menuju Lovina, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Kendaraan dari Pulau Jawa yang menuju  ke Denpasar, Kuta, Legian, Nusa Dua, Sanur dan lainnya atau sebaliknya melewati lintas Selatan. Mobil pribadi, truk gandeng, kendaraan besar dan sepeda motor cenderung melewati jalur ini sehingga ramai dan padat. Di jalur ini juga ada jalan berkelok, tanjakan dan turunan di sejumlah titik. Kondisi jalan beraspal mulus. Ada hamparan sawah dalam lahan-lahan terasering yang tertata rapih.

Jalan Lurus dan Datar

Perjalanan kami siang itu melewati pantai utara sungguh menarik, sebab jalannya lurus dan mendatar tetapi juga menantang. Tantangan terberat adalah menghadapi suhu udara yang semakin panas dan menyengat. Sengatan sinar matahari dengan suhu di atas 32 derajat celcius membuat rombongan yang semula menyatu dalam satu barisan mulai terpecah dalam beberapa kelompok sesuai kemampuan fisik masing-masing. Ada kelompok yang terus melaju kencang, terutama mereka yang menggunakan sepeda balap (road bike). Ada pula yang berhenti beberapa kali untuk istirahat sejenak agar dapat memulihkan fisik yang kelelahan. Kelompok ini menunggangi sepeda gunung dan sepeda lipat.

Mengayuh sepeda di jalan rata dan lurus tidak otomatis menyenangkan. Kadangkala jalan lurus yang terlalu panjang juga bisa membosankan. Kondisi ini perlu ditangani dengan baik sehingga semangat bersepeda tetap menyalah.

Berada dalam kapal fery dari Ketapang menuju Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Saya bersama Donkun, om Joko Kus Sulistyoko, Wahyudin alias Mangdin bersama Rokhmat P Nugroho selaku sweepper akhirnya menjadi kelompok terakhir. Selama perjalanan kami terus memantau penjualan buah durian. Informasi yang kami dapatkan dari beberapa warga di Pemuteran bahwa Bali mulai memasuki musim durian. Kabar itu menyemangati kami untuk segera menikmatinya.

Menjelang Lovina akhirnya impian kami terjawab. Di sisi kanan jalan, ada pedagang menjual buah durian. Jumlahnya terbatas, mungkin hanya belasan buah. Saat kami tiba, sudah ada empat orang pelintas juga berhenti dengan maksud yang sama yakni membeli buah durian. Mereka hanya membeli tiga buah. Sisanya 10 buah kami memborong semua. Ukurannya hanya 3 buah yang sedang, lainnya agak kecil. Tetapi dagingnya bagus. Warna kuning dan tebal. Kami merasa sungguh beruntung dapat menikmati durian pada hari itu.

Lumba-lumba Lovina

Tidak lama setelah itu hujan deras mengguyur Lovina dan sekitarnya. Kami terus mengayuh sepeda sambil menikmati guyuran air dari langit ini sebagai berkah dan rahmat. Sekitar pukul 16.00 Wita, kelompok terakhir ini memasuki Hotel New Sunari Lovina, tempat finis hari kedua dan menjadi lokasi penginapan peserta Jelajah Banyuwangi-Bali. Jarak dari Pelabuhan Gilimanuk hingga di hotel ini mencapai 79,2 kilometer.

Lovina termasuk salah satu tempat wisata favorit di Bali. Pantai yang bersih, sepi dan damai, lautnya memiliki terumbu karang yang indah. Terpenting lagi melalui pantai Lovina, wisatawan dapat menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba. Kawanan mamalia laut ini sangat cerdas dan hidup dengan bebas. Lumba-lumba di Pantai Lovina sudah mendapatkan perlindungan melalui peraturan pemerintah setempat sehingga tidak ada orang yang boleh menangkap dan menjualnya.

Sejumlah wisatawan menaiki kapal di Pantai Lovina untuk menuju ke tengah laut untuk menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba, Minggu (10/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Untuk menyaksikan atraksi lumba-lumba di tengah laut, wisatawan harus menyewa perahu khusus yang sudah disediakan pihak pengelola. Satu perahu menampung empat hingga lima orang, dengan biaya sekitar Rp 60.000 per orang. Perahu akan membawa ke area lautan yang biasanya banyak bermunculan lumba-lumba. Ikan ini muncul sekitar pukul 06.00 – 09:00 Wita. Wisatawan wajib datang sebelum waktu tersebut agar melihat momen spesial yang jarang ditemukan di pantai lainnya di Bali. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba di Pantai Lovina yakni selama musim kemarau, sekitar April hingga Oktober.

Menuju Kintamani

Keesokan harinya, Minggu (10/11/2024), kami melanjutkan touring sepeda menuju Ketewel, Kecamaten Sukawati, Kabupaten Gianyar. Perjalanan ini melewati kota Singaraja, Puncak Penulisan, Kintamani dan Desa Panglipuran. Posisi Penulisan dan Kintamani berada pada ketinggian sekitar 1.500-1.750 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Bali utara, khususnya Singaraja menjadi pusat pemerintahan dari Provinsi Sunda Kecil yang meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor,  Kepulauan Alor, Rote dan Sabu. Ketika itu, Indonesia hanya terdiri atas delapan provinsi, yakni Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Sejak tahun 1958, terjadi pemekaran menjadi tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seperti yang ada saat ini.

Perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari penginapan, kami melewati jalan mendatar dengan ketinggian tidak lebih dari 200 meter di atas permukaan laut melewati Singaraja hingga di pertigaan Boengkoelan sekitar 20,3 kilometer. Perjalanan kemudian belok ke kanan, dan sekitar 50 meter di depan langsung menghadapi tanjakan. Kemiringan tanjakan ini mula-mula masih ringan, tetapi semakin maju tampak mulai berat. Apalagi posisi Puncak Penulisan berada pada ketinggian 1.745 mdpl.

Jalan yang kami lewati termasuk salah satu jalur pintas dari wilayah utara menuju ke wilayah selatan Bali. Jalannya berkelok dan beraspal mulus. Sepanjang perjalanan warga setempat menjual aneka buah, antara lain durian, mangga, pepaya, salak, apel, pisang, jeruk dan buah naga. Buah-buahan ini umumnya hasil produksi petani di Bali.

Menikmati Kabut

Sejumlah peserta beberapa kali berhenti. Selain untuk mengatur kekuatan fisik dan pernafasan, juga ingin menikmati buah durian yang umumnya matang pohon. Sekitar lima kilometer menjelang Puncak Penulisan suhu udara mulai dingin dan berkabut. Suasana ini sungguh menyenangkan bagi peserta dari wilayah Jabodetabek yang tiap hari menghadapi suhu udara yang panas.

Tanjakan menuju Puncak Penulisan mencapai sejauh 25 kilometer. Suhu udara yang adem membuat jarak yang lumayan jauh tidak menjadi penghalang bagi peserta mengayuh sepeda. “Lumayan berat tanjakan ini, tetapi suhu udaranya adem membuat saya tidak terlalu kelelahan. Malah membuat saya sangat menikmatinya,” kata Hengki Dorias, asal Jakarta.

Menjelang Puncak Penulisan tampak penjor di kiri dan kanan jalan. Inilah pemandangan khas Bali. Foto: Arsip Jelajah Bike

Sekitar pukul 13.30 Wita, semua peserta sudah melewati Puncak Penulisan dan tiba di Kintamani. Saat itu terjadi hujan yang lumayan deras. Kami berteduh sekaligus menikmati suasana dingin dan sejuk di salah satu kawasan tinggi yang terkenal memiliki keindahan alam yang menarik, seperti Gunung Batur dan Danau Batur. Ketinggian Kintamani sekitar 1.500 mdpl.

Panorama Kintamanijuga seakan menegaskan bahwa Bali sebagai daerah tujuan utama wisatawan dunia tidak semata-mata memiliki keindahan pantai dan kehijauan alam, pemandangan sawah tersering yang indah. Bali juga memiliki kawasan pegunungan berhawa sejuk dan berkabut. Selama bulan Agustus hingga Maret, kabut tebal menyelimuti Kintamani pada pagi hingga siang hari. Puncaknya pada November hingga Februari, kabut selalu lebih tebal lagi.

Daya Tarik Panglipuran

Dari Kintamani, perjalanan kami menuju Desa Penglipuran. Kali ini rutenya menurun sejauh kurang lebih 29 kilometer. Memang mengayuh sepeda ini seperti roda kehidupan. Ada saat kita harus melewati fase-fase yang berat seperti di jalan menanjang sebagai ujian kesabaran, keuletan dan ketelatenan. Setelah itu melewati jalan menurun dengan bahagia, namun harus selalu mawas diri, sebab lengah sedikit saja berpeluang terpeleset dan jatuh.

Desa Panglipuran di Kabupaten Bangli adalah salah satu desa adat dimana warganya masih melestarikan dan menjalankan budaya tradisional Bali. Arsitektur bangunan dan cara pengelolahan lahan mengikuti konsep tri hita kirana, yakni filosofi tentang keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia dan lingkungan.

Suasana di Desa Adat Panglipuran, Setiap hari selalu kedatangan wisatawan. Foto: M Yusri

Masyarakat setempat kemudian mengemas kekuatan tradisi itu menjadi kebutuhan pariwisata sehingga mampu menggaet wisatawan yang begitu banyak. Berkunjung ke Bali tanpa menyinggahi Desa Panglipuran seolah perjalanan tersebut tidak lengkap. Maraknya kunjungan wisatawan memberi keuntungan dan manfaat yang besar. Masyarakat meraup pendapatan yang besar dengan tetap melestarikan tradisi leluhur.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat pada tahun 2024, misalnya, wisatawan yang mengunjungi Desa Panglipuran sebanyak 1.023.143 orang, meliputi wisatawan asing 152.806 orang dan wisatawan domestik 870.337 orang. Khusus selama Desember 2024, jumlah wisatawan asing mencapai 5.298 orang dan wisatawan domestik 109.637 orang. Harga karcis untuk wisatawan domestic Rp 25.000 (dewasa) per orang dan Rp 15.000 (anak) per orang. Sementara wisatawan asing Rp 50.000 (dewasa) dan Rp 30.000 (anak),

Pengalaman Menarik

Dari Panglipuran kami melanjutkan perjalanan menuju finis di komplek Kompas Gramedia Bali di  Jalan Ida Bagus Mantra, Ketewel, Sukawati, Kabupaten Gianyar. Rute ini masih melewati jalan menurun dengan pemandangan sawah yang apik dan hijau. Kadang terdengar suara gemercik air yang mengalir dalam selokan sawah. Suara tersebut sungguh menyenangkan dan menenangkan. Ada kenyamanan. Mungkin inilah membuat banyak orang seolah tidak pernah bosan mengunjungi Bali.

Sebagian peserta berfoto bersama penjual durian dalam perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Setelah berada di Jalan Ida Bagus Mantra, kami masih melewati jalan datar dengan berapa rolling. Arus lalu lintas pun mulai padat. Semangat peserta terus menggebu, sebab sesaat lagi mengakhiri petualangan selama tiga dari tersebut. Sekitar pukul 16.15 Wita, peserta terakhir memasuki finish. Perjalanan bersepeda yang dimulai dari Ijen, Banyuwangi pun berakhir. “Sebuah pengalaman baru, sebab selama ini saya belum pernah bersepeda di pesisir utara Bali. Ini kali pertama. Seru dan menarik,” kata Harry Wiguna, peserta asal Jakarta.

JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda

Baca juga:

Menjajal Tanjakan Ijen, Menabung Oksigen

 

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.