Connect with us

Cyling

Bali Yang Sulit Terlewatkan

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh:  JANNES EUDES WAWA

Sudah berada di Banyuwangi tanpa menuju ke Bali yang ada di depan mata rasanya perjalanan ini kurang sempurna. Pulau Dewata adalah surganya wisatawan dunia. Setiap hari puluhan pesawat berbadan lebar dari segala penjuru dunia mengatarkan ribuan wisatawan asing mengunjungi Bali. Kami pun tidak mau melewatkan kesempatan ini: mengayuh sepeda masuk ke Bali.

Saya sebenarnya sudah sering menyeberangi Selat Bali dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk, Negara, Bali, atau sebaliknya. Semuanya menggunakan mobil.  Baru pada Sabtu, 9 November 2024 dengan mengayuh sepeda. Tidak ada perbedaan yang mencolok, tetapi menaiki kapal fery dengan bersepeda terasa banget sensasinya. Saat mengayuh menuju kapal suasana hati terasa lebih bebas seluas bentangan alam raya yang di depan mata.

Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (9/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Sabtu pagi itu, kami melanjutkan perjalanan bersepeda hari kedua dalam Jelajah Banyuwangi-Bali. Tujuannya adalah Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali. Sesuai jadwal, kapal fery yang kami tumpangi akan mengangkat jangkarnya tepat pukul 07.00 WIB atau 08.00 Wita di Bali. Sebelum itu, kami perlu melakukan pelaporan (check in) tiket di gerbang masuk pelabuhan dan menunggu atrian pelayaran.

Itu sebabnya, sekitar pukul 06.00 WIB, kami sudah bersiap diri di depan Hotel Santika Banyuwangi. Tas pakaian dan tas sepeda (bike box) sudah berada dalam mobil panitia untuk diangkut menuju Lovina. Tidak lama kemudian, kami mulai bersepeda menuju ke Pelabuhan Ketapang.

Jarak dari Hotel Santika ke Pelabuhan Ketapang kurang lebih 13,5 kilometer. Kami hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit menyelesaikan rute pendek ini. Di Pelabuhan, langsung menuju ke gerbang untuk check in tiket, setelah itu petugas mengarahkan kami ke tempat tunggu sambil membawa sepeda masing-masing. Dia akan menyilakan naik kapal jika waktunya sudah tiba.

Suhu Panas

Suhu pagi itu sudah mulai panas. Mungkin karena Banyuwangi berada di tepi pantai sehingga suhu panasnya terasa menyengat. Hannar Yogia, pesepeda asal Bandung sempat bergurau, “Sekarang baru jam 06.40 (WIB), tetapi suhunya terasa seperti sudah di atas jam 09.00 (WIB)”.

Menjelang pukul 07.00 WIB, petugas menyuruh kami bergerak menuju kapal. Saat yang sama, mobil dan motor pun demikian. Kapal yang kami tumpangi itu mengangkut 12 unit mobil dan 20 unit mobil. Penumpang hanya sekitar 100 orang. Kapal fery yang melayani penyeberangan Ketapang-Gilimanuk berlangsung setiap saat. Lama pelayaran berkisar 40-60 menit. Kadang bisa lebih lama tergantung kondisi cuaca dan arus laut.

Sepeda saat dalam kapal fery Ketapang-Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Akan tetapi, kapal kami membutuhkan waktu sekitar 75 menit baru merapat di Pelabuhan Gilimanuk. Entah apa penyebabnya. Padahal, ada dua kapal yang berangkat dari Ketapang terlambat, malah tiba terlebih dahulu. Proses penurunan kendaraan bermotor dan penumpang dari kapal cukup singkat, sekitar 20 menit. Setelah berada di darat, kami perlu regrouping. Setelah semua peserta berkumpul barulah memulai mengayuh sepeda di Bali. Saat itu waktu sudah pukul 09.40 Wita atau terlambat sekitar 45 menit dari yang ditargetkan panitia.

Kami pun bergerak menuju persimpangan Gilimanuk. Pertigaan itu menghubungkan lintas selatan dan lintas utara.  Kami memilih belok ke kiri melewati pesisir utara. Rute pantai utara ini menuju ke Pemuteran, Lovina, Buleleng, Singaraja hingga Amed. Jalur ini relatif sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Kondisi jalan beraspal mulus. Kendaraan mulai sedikit ramai setelah memasuki kawasan Lovina.

Saat meninggalkan kawasan Gilimanuk menuju Lovina, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Kendaraan dari Pulau Jawa yang menuju  ke Denpasar, Kuta, Legian, Nusa Dua, Sanur dan lainnya atau sebaliknya melewati lintas Selatan. Mobil pribadi, truk gandeng, kendaraan besar dan sepeda motor cenderung melewati jalur ini sehingga ramai dan padat. Di jalur ini juga ada jalan berkelok, tanjakan dan turunan di sejumlah titik. Kondisi jalan beraspal mulus. Ada hamparan sawah dalam lahan-lahan terasering yang tertata rapih.

Jalan Lurus dan Datar

Perjalanan kami siang itu melewati pantai utara sungguh menarik, sebab jalannya lurus dan mendatar tetapi juga menantang. Tantangan terberat adalah menghadapi suhu udara yang semakin panas dan menyengat. Sengatan sinar matahari dengan suhu di atas 32 derajat celcius membuat rombongan yang semula menyatu dalam satu barisan mulai terpecah dalam beberapa kelompok sesuai kemampuan fisik masing-masing. Ada kelompok yang terus melaju kencang, terutama mereka yang menggunakan sepeda balap (road bike). Ada pula yang berhenti beberapa kali untuk istirahat sejenak agar dapat memulihkan fisik yang kelelahan. Kelompok ini menunggangi sepeda gunung dan sepeda lipat.

Mengayuh sepeda di jalan rata dan lurus tidak otomatis menyenangkan. Kadangkala jalan lurus yang terlalu panjang juga bisa membosankan. Kondisi ini perlu ditangani dengan baik sehingga semangat bersepeda tetap menyalah.

Berada dalam kapal fery dari Ketapang menuju Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Saya bersama Donkun, om Joko Kus Sulistyoko, Wahyudin alias Mangdin bersama Rokhmat P Nugroho selaku sweepper akhirnya menjadi kelompok terakhir. Selama perjalanan kami terus memantau penjualan buah durian. Informasi yang kami dapatkan dari beberapa warga di Pemuteran bahwa Bali mulai memasuki musim durian. Kabar itu menyemangati kami untuk segera menikmatinya.

Menjelang Lovina akhirnya impian kami terjawab. Di sisi kanan jalan, ada pedagang menjual buah durian. Jumlahnya terbatas, mungkin hanya belasan buah. Saat kami tiba, sudah ada empat orang pelintas juga berhenti dengan maksud yang sama yakni membeli buah durian. Mereka hanya membeli tiga buah. Sisanya 10 buah kami memborong semua. Ukurannya hanya 3 buah yang sedang, lainnya agak kecil. Tetapi dagingnya bagus. Warna kuning dan tebal. Kami merasa sungguh beruntung dapat menikmati durian pada hari itu.

Lumba-lumba Lovina

Tidak lama setelah itu hujan deras mengguyur Lovina dan sekitarnya. Kami terus mengayuh sepeda sambil menikmati guyuran air dari langit ini sebagai berkah dan rahmat. Sekitar pukul 16.00 Wita, kelompok terakhir ini memasuki Hotel New Sunari Lovina, tempat finis hari kedua dan menjadi lokasi penginapan peserta Jelajah Banyuwangi-Bali. Jarak dari Pelabuhan Gilimanuk hingga di hotel ini mencapai 79,2 kilometer.

Lovina termasuk salah satu tempat wisata favorit di Bali. Pantai yang bersih, sepi dan damai, lautnya memiliki terumbu karang yang indah. Terpenting lagi melalui pantai Lovina, wisatawan dapat menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba. Kawanan mamalia laut ini sangat cerdas dan hidup dengan bebas. Lumba-lumba di Pantai Lovina sudah mendapatkan perlindungan melalui peraturan pemerintah setempat sehingga tidak ada orang yang boleh menangkap dan menjualnya.

Sejumlah wisatawan menaiki kapal di Pantai Lovina untuk menuju ke tengah laut untuk menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba, Minggu (10/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Untuk menyaksikan atraksi lumba-lumba di tengah laut, wisatawan harus menyewa perahu khusus yang sudah disediakan pihak pengelola. Satu perahu menampung empat hingga lima orang, dengan biaya sekitar Rp 60.000 per orang. Perahu akan membawa ke area lautan yang biasanya banyak bermunculan lumba-lumba. Ikan ini muncul sekitar pukul 06.00 – 09:00 Wita. Wisatawan wajib datang sebelum waktu tersebut agar melihat momen spesial yang jarang ditemukan di pantai lainnya di Bali. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba di Pantai Lovina yakni selama musim kemarau, sekitar April hingga Oktober.

Menuju Kintamani

Keesokan harinya, Minggu (10/11/2024), kami melanjutkan touring sepeda menuju Ketewel, Kecamaten Sukawati, Kabupaten Gianyar. Perjalanan ini melewati kota Singaraja, Puncak Penulisan, Kintamani dan Desa Panglipuran. Posisi Penulisan dan Kintamani berada pada ketinggian sekitar 1.500-1.750 meter di atas permukaan laut (mdpl).

Di masa awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Bali utara, khususnya Singaraja menjadi pusat pemerintahan dari Provinsi Sunda Kecil yang meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor,  Kepulauan Alor, Rote dan Sabu. Ketika itu, Indonesia hanya terdiri atas delapan provinsi, yakni Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Sejak tahun 1958, terjadi pemekaran menjadi tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seperti yang ada saat ini.

Perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari penginapan, kami melewati jalan mendatar dengan ketinggian tidak lebih dari 200 meter di atas permukaan laut melewati Singaraja hingga di pertigaan Boengkoelan sekitar 20,3 kilometer. Perjalanan kemudian belok ke kanan, dan sekitar 50 meter di depan langsung menghadapi tanjakan. Kemiringan tanjakan ini mula-mula masih ringan, tetapi semakin maju tampak mulai berat. Apalagi posisi Puncak Penulisan berada pada ketinggian 1.745 mdpl.

Jalan yang kami lewati termasuk salah satu jalur pintas dari wilayah utara menuju ke wilayah selatan Bali. Jalannya berkelok dan beraspal mulus. Sepanjang perjalanan warga setempat menjual aneka buah, antara lain durian, mangga, pepaya, salak, apel, pisang, jeruk dan buah naga. Buah-buahan ini umumnya hasil produksi petani di Bali.

Menikmati Kabut

Sejumlah peserta beberapa kali berhenti. Selain untuk mengatur kekuatan fisik dan pernafasan, juga ingin menikmati buah durian yang umumnya matang pohon. Sekitar lima kilometer menjelang Puncak Penulisan suhu udara mulai dingin dan berkabut. Suasana ini sungguh menyenangkan bagi peserta dari wilayah Jabodetabek yang tiap hari menghadapi suhu udara yang panas.

Tanjakan menuju Puncak Penulisan mencapai sejauh 25 kilometer. Suhu udara yang adem membuat jarak yang lumayan jauh tidak menjadi penghalang bagi peserta mengayuh sepeda. “Lumayan berat tanjakan ini, tetapi suhu udaranya adem membuat saya tidak terlalu kelelahan. Malah membuat saya sangat menikmatinya,” kata Hengki Dorias, asal Jakarta.

Menjelang Puncak Penulisan tampak penjor di kiri dan kanan jalan. Inilah pemandangan khas Bali. Foto: Arsip Jelajah Bike

Sekitar pukul 13.30 Wita, semua peserta sudah melewati Puncak Penulisan dan tiba di Kintamani. Saat itu terjadi hujan yang lumayan deras. Kami berteduh sekaligus menikmati suasana dingin dan sejuk di salah satu kawasan tinggi yang terkenal memiliki keindahan alam yang menarik, seperti Gunung Batur dan Danau Batur. Ketinggian Kintamani sekitar 1.500 mdpl.

Panorama Kintamanijuga seakan menegaskan bahwa Bali sebagai daerah tujuan utama wisatawan dunia tidak semata-mata memiliki keindahan pantai dan kehijauan alam, pemandangan sawah tersering yang indah. Bali juga memiliki kawasan pegunungan berhawa sejuk dan berkabut. Selama bulan Agustus hingga Maret, kabut tebal menyelimuti Kintamani pada pagi hingga siang hari. Puncaknya pada November hingga Februari, kabut selalu lebih tebal lagi.

Daya Tarik Panglipuran

Dari Kintamani, perjalanan kami menuju Desa Penglipuran. Kali ini rutenya menurun sejauh kurang lebih 29 kilometer. Memang mengayuh sepeda ini seperti roda kehidupan. Ada saat kita harus melewati fase-fase yang berat seperti di jalan menanjang sebagai ujian kesabaran, keuletan dan ketelatenan. Setelah itu melewati jalan menurun dengan bahagia, namun harus selalu mawas diri, sebab lengah sedikit saja berpeluang terpeleset dan jatuh.

Desa Panglipuran di Kabupaten Bangli adalah salah satu desa adat dimana warganya masih melestarikan dan menjalankan budaya tradisional Bali. Arsitektur bangunan dan cara pengelolahan lahan mengikuti konsep tri hita kirana, yakni filosofi tentang keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia dan lingkungan.

Suasana di Desa Adat Panglipuran, Setiap hari selalu kedatangan wisatawan. Foto: M Yusri

Masyarakat setempat kemudian mengemas kekuatan tradisi itu menjadi kebutuhan pariwisata sehingga mampu menggaet wisatawan yang begitu banyak. Berkunjung ke Bali tanpa menyinggahi Desa Panglipuran seolah perjalanan tersebut tidak lengkap. Maraknya kunjungan wisatawan memberi keuntungan dan manfaat yang besar. Masyarakat meraup pendapatan yang besar dengan tetap melestarikan tradisi leluhur.

Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat pada tahun 2024, misalnya, wisatawan yang mengunjungi Desa Panglipuran sebanyak 1.023.143 orang, meliputi wisatawan asing 152.806 orang dan wisatawan domestik 870.337 orang. Khusus selama Desember 2024, jumlah wisatawan asing mencapai 5.298 orang dan wisatawan domestik 109.637 orang. Harga karcis untuk wisatawan domestic Rp 25.000 (dewasa) per orang dan Rp 15.000 (anak) per orang. Sementara wisatawan asing Rp 50.000 (dewasa) dan Rp 30.000 (anak),

Pengalaman Menarik

Dari Panglipuran kami melanjutkan perjalanan menuju finis di komplek Kompas Gramedia Bali di  Jalan Ida Bagus Mantra, Ketewel, Sukawati, Kabupaten Gianyar. Rute ini masih melewati jalan menurun dengan pemandangan sawah yang apik dan hijau. Kadang terdengar suara gemercik air yang mengalir dalam selokan sawah. Suara tersebut sungguh menyenangkan dan menenangkan. Ada kenyamanan. Mungkin inilah membuat banyak orang seolah tidak pernah bosan mengunjungi Bali.

Sebagian peserta berfoto bersama penjual durian dalam perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike

Setelah berada di Jalan Ida Bagus Mantra, kami masih melewati jalan datar dengan berapa rolling. Arus lalu lintas pun mulai padat. Semangat peserta terus menggebu, sebab sesaat lagi mengakhiri petualangan selama tiga dari tersebut. Sekitar pukul 16.15 Wita, peserta terakhir memasuki finish. Perjalanan bersepeda yang dimulai dari Ijen, Banyuwangi pun berakhir. “Sebuah pengalaman baru, sebab selama ini saya belum pernah bersepeda di pesisir utara Bali. Ini kali pertama. Seru dan menarik,” kata Harry Wiguna, peserta asal Jakarta.

JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda

Baca juga:

Menjajal Tanjakan Ijen, Menabung Oksigen

 

Share ini
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cyling

Tour d’ Entete: Flobamora Menggebrak Dunia

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Oleh JANNES EUDES WAWA

Tidak seorang pun di Indonesia yang meragukan tentang keindahan panorama alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keunggulan wilayah ini tidak semata-mata biawak raksasa Komodo, danau tiga warna Kelimutu atau Pulau Padar yang menawan. Masih banyak obyek lain baik alam maupun keunikan tradisi masyarakat yang selalu menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namun menjual potensi alam perlu dengan kerja kreatif  dan inovatif.

Selama 15 tahun terakhir, pariwisata di Nusa Tenggara Timur berkembang pesat. Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2010, misalnya, hanya 148.673 orang, tetapi pada, tahun 2024 mencapai 1,5 juta orang atau meningkat sekitar 900 persen.

Seekor Komodo sedang menguap di Pulau Komodo. Foto: Arsip Jelajah Sport

Kenaikan kunjungan yang sangat signifikan terjadi setelah Yayasan New7Wonders menyatakan Pulau Komodo dan Taman Nasional Komodo di Flores menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru pada tahun 2012. Keputusan tersebut melalui pemilihan (voting) dan klarifikasi yang melibatkan jutaan pemilih dari seluruh dunia.

Sejak itu, mata dan hati warga dunia langsung tertuju ke Komodo. Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah terobosan untuk membenahi Labuan Bajo sebagai pintu masuk Komodo baik infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan raya, penataan kota, pembangunan landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Komodo, pembenahan pelabuhan maupun kebijakan lain yang mendorong investasi swasta.

Bahkan, pemerintah pusat juga menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya kota di luar Bali dan Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara ke-42 tahun 2023. Kegiatan itu memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan ekonomi di Labuan Bajo pada khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Bahkan, adanya ASEAN Summit telah menguatkan posisi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Hasilnya bukan semata-mata meningkatkan kunjungan wisatawan, melainkan juga maraknya investasi yang cukup signifikan di Labuan Bajo. Investasi yang paling nyata adalah hadir hotel-hotel berbintang tiga, bintang empat, bahkan bintang lima di wilayah Flores barat tersebut. Penyediaan kapal phinisi untuk melayani wisatawan juga kian banyak.

Kerja Kreatif dan Langkah Inovatif

Gubernur Nusa Tenggara Timur Melkiades Laka Lena tidak mau terlena dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan itu. Bagi dia, potensi yang dimiliki NTT saat ini seharusnya mampu menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Namun demikian, keinginan tersebut membutuhkan kerja kreatif dan langkah-langkah inovatif.

Labuan Bajo di Manggarai Barat, Flores, menjelang senja. Panoramanya sangat menawan. Foto: Jannes Eudes Wawa

NTT tidak semata-mata Labuan Bajo. Masih banyak potensi tersebar di Flores, Sumba, Timor serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua (Flobamora) yang memiliki potensi yang nyaris tidak sama antara satu daerah dengan lainnya.

Ada tradisi masyarakat, bahasa, rumah adat dan sistem sosial yang berbeda. Belum lagi potensi alam pantai, pesona dasar laut, pegunungan dan hamparan sabana. Semua itu dapat menjadi kekuatan yang saling menopang dan saling melengkapi. Jika itu terjadi, maka akan sangat potensial dalam menjaring wisatawan mengunjungi NTT dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi.

Bagi Gubernur NTT, pariwisata tidak semata-mata menjual panorama alam, kekayaan budaya dan lain sejenisnya. Pariwisata sesungguhnya dapat berkembang melalui banyak aktivitas sebagai wadah untuk memasarkan dan mempromosikan antara lain even olahraga, festival dan lainnya sekaligus menjaring wisatawan. Wisata olahraga atau sport tourism adalah pilihan yang ideal. Kolaborasi antarsektor inilah yang perlu diberdayakan dan dihidupkan di NTT.

Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai. Letaknya di lambah pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jelang petang suhu dingin. Wisatawan asing paling banyak mengunjungi kampung ini. Foto: Jannes Eudes Wawa

Di tingkat dunia, banyak ajang olahraga yang terbukti memacu perkembangan sektor pariwisata. Penyelenggaraan even olahraga berskala internasional yang melibatkan banyak negara selalu menciptakan kehebohan sekaligus menyedot perhatian warga dunia. Secara bertahap aktivitas itu akan menarik wisatawan.

Potensi Wisata Tersebar Merata

Itu sebabnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menggagas penyelenggaraan even balap sepeda internasional di Nusa Tenggara Timur yang melewati tiga pulau besar sekaligus yakni Timor, Sumba dan Flores. Kegiatan bernama Tour de Entete ini berlangsung pada 10-21 September 2025, memulai dari Kota Kupang dan finis di Labuan Bajo. Momentum tersebut menjadi menjadi etalase megah bagi promosi pariwisata NTT. Jelajah Sport mendapatkan kepercayaan untuk menangani event ini.

Balap sepeda jalan raya bertaraf internasional selama 10 hari ini akan melintasi berbagai destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tour d’ Entete memadukan olahraga dan pariwisata (sport tourism), dengan harapan menarik partisipasi pembalap dari dalam dan luar negeri.

Bukit Tanarara di Sumba Timur. Indah dan menawan. Foto: Arsip Tour d’ Entete

Melalui rute spektakuler yang membentang dari Kota Kupang hingga Labuan Bajo, Tour d’ Entete akan menghadirkan narasi baru bahwa setiap jengkal tanah di NTT memiliki cerita, setiap tanjakan dan turunan adalah cerminan dari kekayaan geografis serta karakter masyarakatnya yang tangguh dan ramah. “Ini momentum emas untuk memperlihatkan bahwa potensi pariwisata di NTT tersebar merata di semua wilayah, tidak terpusat di satu kawasan semata,” kata Melkiandes Laka Lena.

Sport tourism selalu menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan suatu daerah, memperkenalkan daya tari wisata dan menarik wisatawan. Aktivitasnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor pariwisata, perhotelan, kuliner dan transportasi. Sport tourism juga menjadi ajang memperkenalkan budaya dan kearifan local kepada wisatawan.

1.537 Destinasi Wisata

Data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan hingga tahun 2024 terdapat 1.537 destinasi wisata di NTT yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Destinasi itu terbagi dalam tiga bagian yakni wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.

Dengan Tour d’ Entete, pemerintah setempat ingin menggabungkan keindahan alam dan kekayaan budaya NTT dengan semangat olahraga. Balap sepeda bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga menyuguhkan kegembiraan, memamerkan keindahan alam, atraksi visual, dan interaksi langsung dengan masyarakat. “Ini adalah cara kami merayakan NTT sambil memperkenalkannya ke panggung dunia,” jelas tambah Gubernur Melki Laka Lena.

Pantai Koka di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Pantai berpasir putih berbentuk hati. Potensi ini belum tergarap. Foto: Arsip Tour d’ Entete

Tour d’ Entete juga menjadi momentum strategis Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di NTT. Dengan rute yang melintasi berbagai wilayah, maka membutuhkan akses yang baik dan aman, maka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Infrastruktur berkualitas akan membuka peluang bagi sektor pariwisata berkembang pesat. Inilah salah satu manfaat yang bakal dinikmati masyarakat.

Jangan Lewatkan!!

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.

Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.

Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike

“Rolling” Lagi

Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.

Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike

Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.

Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram

Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal  dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.

Touring  kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.

Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.

Kecerdikan Sultan

Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.

Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike

Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.

Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.

“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike

Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.

Menuju Yogyakarta

Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike

Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).

 

Tulisan Sebelumnya:

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.

Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu,  Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.

Naik dan Turun

Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.

Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.

Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.

“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.

Padi Menguning

Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike

Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.

Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.

I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.

“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.

Candi Gedong Songo

Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.

Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa.  Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa

Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.

Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840  dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.

Tujuan Wisata

Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.

Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike

Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.

“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.

Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.

Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.

Terapit Dua Gunung

Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan  kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.

Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.

Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.

Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)

 

Tulisan Sebelumnya:

Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

 

 

 

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.