Connect with us

Perjalanan

Catatan Royke Lumowa (47): Melihat Jejak VOC di Brielle, Belanda

ROYKE LUMOWA

Published

on

Share ini
Oleh ROYKE LUMOWA

Meski telah lebih dari 300-an tahun, tetapi jejak Vereenigde Oost-Indiche Compagnie atau VOC di tanah Nusantara masih membekas. Bukti itu tersimpan rapi dalam Historical Museum den Brielle di Belanda. Saya sangat gembira menyaksikan fakta sejarah tersebut.

Saya menyinggahi museum tersebut pada Jumat, 16 Februari 2024. Hari itu, saya akan mengayuh sepeda dari Brielle menuju Tilburg, masih di Belanda. Brielle atau Den Briel adalah sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Holland Selatan. Jumlah penduduknya pun hanya belasan ribu orang.

Sebelum keluar kota menuju Tilburg, saya menyempatkan diri mengunjungi museum sejarah tersebut, sebab menurut kabar dari sejumlah orang ada tersimpan sejarah VOC. Jika membahas tentang VOC, maka pasti terkait dengan Indonesia. Saya ingin memastikannya.

Setelah mengikuti pemilihan umum yang dilakukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Belanda di Den Haag pada Sabtu, 10 Februari 2024, saya dan kru masih tinggal beberapa hari lagi di kota itu. Karena kami perlu memperbaiki mobil pengiring (elang putih) yang sempat mengalami gangguan.

Berada di depan kantor Kedutaan Republik Indonesia Belanda di Den Haag. Foto: Arsi Royke Lumowa

Hari Sabtu dan Minggu, bengkel tidak beroperasi sehingga perbaikan baru dapat dilakukan pada  Senin. Pengerjaan membutuhkan waktu tiga hari, yakni hingga Rabu, 14 Februari 2024.

Petualangan bersepeda kemudian berlanjut lagi pada Kamis, 15 Februari 2024. Hari itu saya bergerak menuju Brielle. Namun sebelumnya saya sempat menyinggahi KBRI Den Haag untuk mengecek kembali perkembangan urusan perpanjangan visa Uni Eropa.

Museum Brielle

Dari KBRI, saya meneruskan bersepeda ke Dermaga Ferry Maassluis di tepi Sungai Scheur sejauh 33,87 kilometer. Saya ingin menggunakan kapal penyeberangan menuju Brielle.

Ternyata, hari itu kapal ferry tidak beroperasi. Saya memutuskan menggunakan mobil menuju Brielle melewati jalan darat sejauh kurang lebih 34 kilometer. Apabila menggunakan kapal ferry, jaraknya hanya 11 kilometer. Malam itu, saya menginap di Brielle.

Perjalanan kali ini akan bergerak ke wilayah selatan Belanda, dan berlanjut hingga di Jerman. Touring ini sebetulnya hanya mengisi waktu sambil menunggu kabar perpanjangan visa Uni Eropa untuk saya, apakah dapat dilakukan di Belanda atau tidak?

Itu sebabnya, dari Brielle, keesokan harinya saya melanjutkan gowes menuju Tilburg sejauh 101 kilometer. Salah satu lokasi yang saya singgahi adalah Museum Sejarah Brielle (Historical Museum den Briel). Museum ini tergolong tua, sebab didirikan tahun 1912.

Miniatur kapal yang pernah berlayar menuju Nusantara saat penjajahan Belanda. Miniatur kapal ini terpajang di Museum Sejarah Brielle, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa

Menarik bagi saya adalah museum ini menyimpan catatan perjalanan VOC menuju Nusantara dengan menggunakan kapal layar. Miniatur kapalnya terpajang dalam museum.

Bahkan, contoh rempah-rempah Indonesia yang diburu Belanda juga dipajangkan. Misalnya, cengkeh, pala, lada dan lainnya. Ada pula beragam jenis kayu jati asli Indonesia. Saya sangat kagum dengan koleksi museum ini. Saya tidak tahu apakah sejumlah museum di Indonesia juga mengoleksi barang-barang seperti ini. Entahlah!

Dalam perjalanan ke Tilburg saya melewati jalur sepeda yang cukup panjang baik di dalam kota maupun di luar kota. Ada yang terhubung hingga ke taman kota. Ada pula yang memasuki wilayah pedesaan.

Belanda terkenal memiliki jalur sepeda yang panjang tidak terputus tanpa jeda. Berbeda dengan negara lain di Eropa yang terkadang masih terputus atau menyambung dengan jalan umum sehingga sepeda harus diangkat kemudian menyambung bersepeda kembali. Kalau di Belanda tidak seperti itu. Semua tersambung.

Menuju Eindhoven

Di pedesaan, masih ada hamparan ladang yang luas. Ladang-ladang itu ditanami rumput untuk makanan ternak. Petani di Belanda gemar memelihara hewan, terutama sapi dan domba.

Saya juga melewati jembatan yang cukup panjang yang melintas di atas Sungai Hollands Diep. Sungai ini melewati banyak wilayah di Belanda sehingga termasuk salah satu yang terbesar dan terpanjang di negeri tersebut.

Beberapa kota yang saya lewati antara lain Spijkenisse, Hekeligen, Zuid Beijerland, dan Breda. Saya tiba di Tilburg menjelang sore. Setelah itu menggunakan mobil, saya menuju ke Eindhoven untuk menginap di kota ini. Jarak Tilburg dan Eindhoven sekitar 35 kilometer.

Eindhoven termasuk kota besar kelima di Belanda. Kota yang hadir sejak tahun 1232 ini memiliki penduduk sekitar 213.809 jiwa (tahun 2010). Eindhoven populer sebagai kota industri dan teknik, bahkan di sini pula berdiri pabrik Philips. Kota ini juga memiliki sebuah klub sepak bola terkenal yakni PSV (Philips Sport Vereniging) Eindhoven.

Saya dan kru berada di Eindhoven hingga 18 Februari 2024. Kesempatan istiharat ini kami manfaatkan untuk menyortir dan merapikan kembali barang-barang dalam mobil pengiring.

Kebetulan kami mendapatkan hotel dengan harga yang murah, tetapi bersih yakni Hotel Companille. Kamarnya memang kecil, namun layak. Hotel ini juga memiliki lokasi parkir yang luas sehingga mobil kami bebas memilih tempat. Menu sarapan pagi terbatas, namun enak.

Di Eropa tersedia hotel sederhana dengan kamar yang kecil, tetapi bersih dan nyaman. Para penjelajah atau petulang umumnya memanfaatkan kamar seperti ini. Foto: Arsip Royke Lumowa

Kami juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menyuci pakaian, jaket, sepatu, sepeda dan lainnya. Maklum, belakangan hujan turun setiap hari sehingga sepeda gampang kotor dan kami tidak sempat jemur pakaian.

Di Eindhoven, ada sebuah restoran Indonesia, namanya Restoran Surabaya. Menu yang disediakan semuanya khas Indonesia, seperti soto ayam, mie goreng, gado-gado, rawon, nasi campur dan lainnya. Kelezatannya tidak kalah dengan restoran Indonesia yang ada di kota lain di Belanda.

Masuk Jerman

Tanggal 19 Februari 2024, saya melanjutkan bersepeda dari Eindhoven ke Dusseldorf di Jerman sejauh 101 kilometer, dengan ketinggian 206 meter alias flat. Ada tanjakan, tetapi cukup rendah dan hanya ada di beberapa titik.

Kota-kota yang saya lewati adalah Nuenen, Geldnep, Mierlo, Asten, Sevenum, Venlo, Lobbriech, Souhteln, Willich. Venlo adalah kota terujung dari Belanda yang berbatasan dengan Jerman.

Restoran Indonesia bernama Surabaya beroperasi di Kota Eindhoven, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa

Di Kota Venlo, saya berjumpa dengan tante Jeanne. Beliau adalah temannya om Benjamin Bunawijaya alias Om Ben di Jakarta. Om Ben termasuk salah seorang yang terlibat aktif dalam menyiapkan perjalanan bersepeda saya dari Jakarta ke Paris. Saya dan om Ben tergabung dalam Komunitas Kompas Bike.

Tante Jeanne adalah orang Indonesia yang sudah lama menetap dan bekerja di Belanda. Om Ben memperkenalkan saya kepadanya. Setelah saling kontak, kami pun berjanji untuk berjumpa di Venlo. Begitu bertemu, saya dijamu makan siang. Sungguh surprise. Kami makan siang  di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor tante Jeanne.

Tidak jauh dari Venlo adalah perbatasan Belanda-Jerman. Di wilayah Jerman persis di daerah Bevrijdingsweg. Saat berada di sana, saya tidak melakukan ritual perbatasan seperti yang biasa terjadi setiap kali memasuki negara baru. Ritual itu tertunda karena saya akan masuk kembali ke Belanda.

Satu hal yang berbeda saat berada di Jerman adalah jalur sepeda. Infrastrukturnya tidak selengkap di Belanda. Meski demikian, Jerman masih mengizinkan sepeda melewati jalur mobil dimana kondisi jalannya bagus dan aman bagi pengayuh sepeda.

Lewati Stadion Lieverkusen

Hari itu, saya mengakhiri perjalanan di Dusseldorf dan menginap semalam di kota ini. Keesokan harinya, menerukan kayuhan menuju Bonn sejauh 80 kilometer.

Gowes dari Dusseldorf ke Bonn, saya menyinggahi Kota Lieverkusen dan Koln atau Cologne. Saya sempat melewati stadion klub Lieverkusen. Klub yang pada musim kompetisi Liga Jerman tahun 2023/2024 tak pernah kalah. Sebuah prestasi besar sepanjang sejarah klub.

Saya bersepeda menyusuri Sungai Rhine. Sungai ini cukup sehat terpelihara. Nyaris tidak ada sampah. Aneka kapal lalu lalang. Jembatan pun cukup banyak membentang di atas Sungai. Setiap 3-4 kilometer pasti ada jembatan yang terbangun. Termasuk ada jembatan khusus sepeda.

Berada di tepi Sungai Rhine di Koln, Jerman. Foto: Arsip Royke Lumowa

Aktivitas orang-orang bersepeda tidak kalah dengan Belanda. Banyak yang bersepeda ke sekolah, kantor dan tempat kerja atau khusus olahraga. Senang melihat aktivitas mereka. Dalam hati berharap semoga suatu saat masyarakat Indonesia pun melakukan hal seperti ini.

Sepanjang jalan tampak begitu banyak lapangan bola tersebar di beberapa tempat di pedesaan dan perkotaan. Tidak heran kalau Jerman memiliki prestasi sepakbola yang terbaik di dunia.

Biaya hidup di Jerman jauh lebih terjangkau dibanding Belanda, Swiss, Inggris dan Perancis. Jerman negara kaya tetapi sesuai pengalaman banyak orang dan yang saya alami, memberlakukan harga yang lebih murah. Misalnya biaya penginapan dan restoran.

editor: JANNES EUDES WAWA

Catatan Royke Lumowa (46): Kembali ke Den Haag untuk Ikut Pemilu

 

 

Share ini

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.

Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.

Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike

“Rolling” Lagi

Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.

Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike

Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.

Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram

Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal  dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.

Touring  kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.

Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.

Kecerdikan Sultan

Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.

Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike

Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.

Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.

“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike

Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.

Menuju Yogyakarta

Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike

Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).

 

Tulisan Sebelumnya:

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.

Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu,  Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.

Naik dan Turun

Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.

Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.

Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.

“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.

Padi Menguning

Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike

Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.

Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.

I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.

“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.

Candi Gedong Songo

Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.

Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa.  Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa

Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.

Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840  dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.

Tujuan Wisata

Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.

Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike

Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.

“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.

Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.

Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.

Terapit Dua Gunung

Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan  kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.

Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.

Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.

Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)

 

Tulisan Sebelumnya:

Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

 

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Nama Jatiluhur sudah lama melegenda. Pemicu utama yakni adanya waduk terbesar di Indonesia yang memiliki kapasitas tampungan air sekitar 2,4 miliar meter kubik dengan genangan seluas 82 kilometer persegi. Di sana juga ada pembangkit listrik tenaga air yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 187,5 megawatt (MW). Popularitas Jatiluhur itu selalu memunculkan rasa penasaran setiap orang untuk mengunjungi dan menjelajahi wilayah ini.

Rasa penasaran tersebut akhirnya terbayar melalui event Susur Jatiluhur pada Sabtu, 22 Februari 2025. Jelajah Bike selaku penyelenggara menawarkan rute dengan jarak sejauh 34 kilometer atau hanya sebagian kecil dari keseluruhan waduk, namun melewati beberapa titik strategis bendungan, seperti pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Djuanda.

Pangi Syarwi atau Ipang bersama pesepeda lainnya berfoto di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur

“Saya sudah cukup lama penasaran dengan waduk Jatiluhur. Namanya melegenda. Sejak masih sekolah dasar (SD) di Sumatera Barat, waduk Jatiluhur selalu menjadi materi pembelajaran. Ketika berada di Jakarta, selalu terbesit keinginan mengunjungi Jatiluhur, tetapi selalu gagal. Event Susur Jatiluhur ini saya jadikan sebagai momentum yang ideal,” ujar Pangi Syarwi alias Ipang, pengamat politik yang gemar bersepeda jarak jauh.

Semula panitia ingin memilih rute yang dapat mengitari seluruh area waduk agar para pesepeda dapat merasakan sensasi dari kemegahan Jatiluhur. Melalui google maap tampak ada jalur jalan yang terhubung. Namun setelah didalami di lapangan ternyata jalan yang ada umumnya masih makadam, yakni jalan yang terbuat dari batu pecah atau kerikil yang dipadatkan.

Itu sebabnya mereka memilih rute pendek, yakni 55 kilometer, tetapi dapat melewati sejumlah titik yang menjadi kekuatan daya tarik Jatiluhur. Rute ini mungkin juga belum ideal, sebab melewati sejumlah titik dengan kondisi jalan yang masih makadam. Akan tetapi jalur jalan yang ada di Jatiluhur umumnya masih seperti itu.

Daya Tarik Jatiluhur

Pihak Jelajah Bike kemudian mengkaji kembali rute yang telah terpilih. Pertimbangan utama adalah start dan finish di Restoran Sambel Hejo Sambel Dadak (SHSD) Ciganea dekat pintu tol Jatiluhur. Panitia menargetkan finish paling lambat pukul 13.00 WIB, bersamaan dengan waktu makan siang di restotan yang menyajikan makanan khas Sunda tersebut. Jarak touring pun dipangkas menjadi 34 kilometer.

Daya tarik Jatiluhur memang luar biasa. Sewaktu pertama kali Jelajah Bike membuka pendaftaran Susur Jatiluhur pada pertengahan Januari 2025, animo para pesepeda langsung terasa. Padahal, penyebaran informasi kegiatan ini hanya di kalangan pesepeda yang pernah mengikuti touring sepeda yang dilakukan Jelajah Bike.

Berfoto bersama di depan Restotan SHSD Ciganea sebelum memulai perjalanan, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Satu demi satu mengontak panitia untuk mendaftarkan diri. Ada pula yang sebatas memesan, sebab masih perlu menyesuaikan dengan kegiatan lain dalam perusahaan, kantor atau keluarga. Mereka umumnya memiliki antusiasme tinggi untuk mengayuh sepeda di kawasan Jatiluhur. Pemesanan dilakukan lebih dini agar tetap mendapatkan peluang.

Panitia membatasi peserta hanya 60 orang. Pertimbangan utama yakni kondisi jalan makadam di sejumlah titik dan cukup banyak kelokan pendek di pinggir kawasan waduk sehingga dengan jumlah yang terbatas akan memudahkan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jumlah itu terpenuhi, bahkan menjelang hari pelaksanaan masih banyak yang ingin mendaftarkan diri, tetapi tidak terpenuhi.

Antusiasme terhadap Jatiluhur membuat sejumlah peserta memilih mendatangi pada sehari sebelumnya atau Jumat, 21 Februari 2025. Mereka ingin menikmati suasana di kawasan tersebut pada malam dan pagi hari dimana masih memilih alam yang bagus, panorama yang indah dengan udara yang bersih. “Saya dan om Hengky Dorias sejak awal sudah meniatkan untuk menginap semalam di Jatiluhur karena ingin menikmati suasana alamnya. Mencari suasana baru untuk menyegarkan diri. Jadi, sejak hari Jumat sore kami sudah di Purwakarta,” jelas Freddy Taasman dari Jakarta.

Momentum Reuni

Jumat sore, percakapan dalam group whatsapp Susur Jatiluhur mulai ramai. Mereka yang terlebih dahulu tiba di Jatiluhur mulai mengirimkan foto-foto sejumlah aktivitas sebagai persiapan mengikuti Susur Jatiluhur. Joannes Trie Prihandoko alias Hanie, peserta dari Tangerang Selatan, misalnya, mengirimkan foto saat dirinya baru turun dari kereta api di Stasiun Purwakarta pada Jumat malam.

Hengkie Benjamin alias Cincau juga mengirimkan foto sepeda yang sudah dinaikkan dalam mobil pribadi. Dia akan berangkat semobil dengan Dessy dan Jojo pada Sabtu dinihari. Rokhmat Prasetyo Nugroho selaku marshal kembali membagikan rute event dengan jarak 32 kilometer.

Sabtu (22/2/2025) sekitar pukul 03.00 WIB, sesama peserta dan panitia mulai saling menyapa di group whatsapp. Para peserta umunya sudah bangun tidur, dan mulai bersiap diri. Ada pula yang mulai bergerak dari rumah masing-masing. Maklum, peserta umumnya berdomisili di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Bandung. Perjalanan menuju ke Jatiluhur menggunakan mobil pribadi memakan waktu sekitar 1,5-2 jam. Tidak beda dengan para pesepeda di Jakarta atau Tangerang yang ingin bersepeda di Bogor pada akhir pekan.

Sekitar pukul 06.30 WIB sebagian besar peserta sudah berkumpul di SHSD Ciganea. Mereka umumnya sudah saling mengenal, tetapi dalam beberapa mulai jarang berjumpa sehingga momentum tersebut menjadi ajang reuni. Bernostalgia keseruan mengikuti even jelajah sebelumnya, seperti di Banyuwangi-Bali pada November 2024.

Sejumlah senior ini, Om Ben, Om Jo, Om Octo, Om Gunawan dan Om Djoko sudah cukup lama tidak saling jumpa. Susur Jatiluhur membuat mereka bertemu lagi. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Bahkan, om Benyamin Bunawijaya misalnya bernostalgia event Jelajah Lima Danau yang dilakukan pada tahun 2018 selama lima hari mulai dari Padang dan berakhir di Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Perjalanan ini melewati lima danau yakni Maninjau, Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Kerinci.

Event Jelajah Lima Danau yang paling berkesan untuk saya hingga sekarang. Rutenya menarik melewati alam yang indah, ada perkebunan teh yang luas dan menawan di Solok Selatan, rumah gadang dimana-mana, dan udara sejuk. Coba bikin lagi Jelajah Lima Danau, tetapi cari waktu saat musim durian,” ujar om Benjamin dan mendapat dukungan dari Alexy Pasaribu, peserta dari Jakarta Utara.

Melihat PLTA

Sekitar pukul 07.00 WIB, semua peserta sudah berada di lokasi start. Panitia kembali memberikan gambaran garis besar rute perjalanan. Tidak lama kemudian, kami bergerak ke gerbang SHSD Ciganea untuk memulai mengayuh sepeda.

Mula-mula bergerak ke arah utara menuju kota Purwakarta. Pagi itu lalu lintas mulai padat, sebab jalan yang kami lewati termasuk jalur utama kendaraan menuju ke pintu jalan tol Jatiluhur. Saat yang sama para karyawan pun menuju ke tempat kerja. Namun, aktivitas itu tidak menghambat kayuhan kami. Semua berjalan lancar.

Sekitar dua kilometer, perjalanan kami menuju ke arah timur kemudian ke arah utara hingga mendekati Sadang. Di rute ini kami menelewati jalan beraspal dan sebagian berupa cor. Hingga di kilometer 10, tidak terlalu jauh dari pintu tol Sadang, kayuhan berbelok ke kiri kea rah barat menyusuri jalan kecil dengan beraspal baik.

Bersuka cita di water stastion (WS) I, kilometer 16. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Di jalur ini kami semakin jarang berpapasan dengan kendaraan umum. Beberapa kali ada sepeda motor yang lalu lalang, sebab ada banyak rumah warga yang berada di tepi kiri dan kanan jalan. Konturnya pun mendatar. Di beberapa titik ada badan jalan yang rusak, tapi sepeda lipat dan sepeda balap masih nyaman melewatinya.

Memasuki kilometer 18, kami belok ke kiri, arah selatan menuju ke Waduk Jatiluhur. Kami terus melaju ke depan. Di kilometer 20, kami tiba di salah satu pintu pembangkit Listrik tenaga air (PLTA) Djuanda. Sejumlah karyawan sedang bekerja di dalam gedung-gedung yang ada. Di halaman tampak banyak pohon rindang membuat suasana terasa cukup sejuk. Kami menyempatkan diri berfoto di lokasi itu.

Selepas dari tempat itu, kami melanjutkan kayuhan dengan melewati tanjakan yang memiliki kemiringan sekitar 10 derajat dalam jarak sekitar 1,5 kilometer. Udara yang segar sehingga mengayuh pun tidak melelahkan. Tampak salah satu titik bendungan Jatiluhur yang lumayan tigggi. Di balik bendungan terbangun pula lapisan tanah menyerupai bukit dengan rumput nan hijau.

Sejarah yang Menarik

Air yang tertampung di bendungan kemudian dialirkan melalui saluran khusus guna memutar baling-baling turbin. Turbin yang berputar menggerakkan poros di dalam generator guna mengubah energi mekanik menjadi listrik. Di Waduk Jatiluhur terpasang enam turbin dengan daya 187,5 megawatt (MW) yang memproduksi Listrik sekitar 2.700 kilowatt-jam (kWh) per hari. Waduk ini dikelola Perum Jasa Tirta II.

Berdasarkan catatan sejarah,  Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan luas daerah aliran sungai mencapai 4.500 kilometer persegi. Menarik dari bendungan ini adalah perencanaan dilakukan sejak masa kolonial Belanda, peletakan batu pertama Pembangunan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967. Pembangunan  menghabiskan dana sekitar 230 juta dollar AS.

Selain itu Waduk Jatiluhur juga mengairi jaringan irigasi dengan luas 242.000 hektar dan berfungsi pula untuk penyediaan air baku, budidaya, dan penanggulangan banjir. Waduk ini menjadi daerah tujuan wisata dengan tersedia sejumlah fasilitas seperti hotel, bungalow, restoran, playground, ruang pertemuan, dan sarana rekreasi dan olahraga keairan lainnya.

Mengumpulkan kenangan di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur.  Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Sekitar satu kilometer di depannya berdiri gerbang utama PLTA Djuanda di sebelah kanan. Sedangkan di sisi kiri jalan raya adalah pintu masuk menuju Hotel Jatiluhur Valley & Resort, sebuah hotel bintang tiga dalam kawasan tersebut. Jalan raya yang ada cukup lebar dan beraspal mulus.

Keluar dari kawasan PLTA, kami masih melewati hutan dengan jalan yang bagus, lalu menurun menuju Waduk Jatiluhur. Di kilometer 23 ini, semua peserta beristirahat di salah satu warung seraya menikmati kelapa muda, mie rebus dan sate maranggi. Warung ini berada sekitar 10 meter dari bibir waduk. Di belakang warung tampak belasan unit perahu viber yang terparkir di sebuah dermaga mini. Fasilitas ini untuk para wisatawan yang ingin berlayar ke tengah waduk.

Jalan Makadam

Dari lokasi itu, kami mulai menyusuri tepi waduk sejauh kurang lebih dua kilometer. Di sepanjang Jalan Waduk Jatiluhur ini tampak cukup banyak warung dan restoran dengan menawarkan aneka macam menu. Hadir pula kawasan Bumi Perkemahan Jatiluhur, lokasi yang menjadi pusat aktivitas di alam terbuka.

Bahkan, ada pula area khusus untuk tempat parkir mobil campervan atau mobil kemping. Kabarnya, komunitas ini mulai berkembang di wilayah Jabodetabek. Setiap akhir pekan selalu ada beberapa orang yang datang menikmati waduk Jatiluhur dengan mobil campervan. Siang itu banyak warga yang datang berwisata.

Sempat menyaksikan kereta cepat Whoosh dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tanjakan di jalur ini lumayan berat. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Melewati kilometer 26, kami berbelok lagi ke kiri yakni arah timur dengan memasuki kawasan perkampungan. Awalnya langsung menghadapi tanjakan sekitar 75 meter. Pendek, tapi kemiringannya mendekati 15 derajat sehingga cukup ngehek juga.

Di jalur ini kami mulai melewati jalan makadam di beberapa titik. Jarak menuju lokasi finish di SHSD Ciganea tersisa sekitar delapan kilometer, tetapi sebagiannya dalam kondisi rusak. Kerusakan terbanyak pada jalan tanjakan dan turunan sehingga memaksa pesepeda harus berkosentrasi penuh.  dan ekstra hati-hati dalam mengendalikan sepedanya.

Sekitar di kilometer 30, kami sempat melewati kolong jalur kereta cepat. Rombongan kami sempat sudah kali menyaksikan kereta whoosh melaju dengan sangat kencang dari arah Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tidak jauh dari lokasi itu ada pula jalur kereta api rute Selatan Jawa. Kami juga menyaksikan kereta Argo Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Lajunya jauh beda dibanding Whoosh.

Di sepanjang jalan yang kami lewati, ada banyak rumah penduduk dengan bangunan permanen. Jalan yang ada menjadi salah satu akses warga setempat dan wisatawan menuju ke Waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta atau sebaliknya.

Warga setempat mengaku sering menyampaikan kerusakan jalan yang ada kepada pemerintah daerah. Namun hingga kini tak ada realisasinya. “Kami sudah bosan dan lelah berkeluh kesah meminta perbaikan jalan, sebab sampai sekarang kondisinya seperti ini saja. Apakah ,” ujar salah satu warga di Jatiluhur.

Kuncinya Benahi Infrastruktur

Kami juga cukup kaget melihat kondisi jalan di wilayah penyangga Waduk Jatiluhur. Dengan posisinya yang begitu strategis dan melegenda, Jatiluhur tidak hanya bermanfaat melalui irigasi, PLTA dan budidaya perikanan, tetapi juga aktivitas lain seperti pariwisata. Sektor pariwisata akan berkembang optimal kalau ada dukungan infrastruktur, seperti jalan raya yang bagus di dalam kawasan dan wilayah penyangga.

Jojo, pesepeda asal Jakarta mengaku baru pertama kali bermain di dalam kawasan Waduk Jatiluhur dan langsung membuatnya jatuh hati. “Saya senang banget melihat banyak kawasan hijau dan sejuk dengan banyak pohon rindang. Tetapi infrastruktur jalan kayaknya kurang mendapatkan perhatian serius sehingga masih banyak jalan makadam,” kata Jojo, pesepeda asal Jakarta.

Tante Lia Partakusuma menyempatkan diri berfoto bersama anak-anak yang tinggal di kawasan penyangga Waduk Jatiluhur. Anak-anak ini sangat senang dan bahagia. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Purwakarta perlu memberi perhatian yang lebih serius pada perbaikan jalan yang ada, termasuk di wilayah penyangga. Kalau infratrukturnya bagus, kami meyakini Jatiluhur dapat berkembang lebih pesat melalui event-event besar olahraga dan musik, antara lain lari marathon, lari half marathon, balap sepeda, jambore sepeda, pentas musik jazz dan lainnya. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok dan Bandung, peminatnya bakal membludak.

Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan terakhir memasuki finish di SHSD Ciganea sekaligus makan siang. Kami menikmati suguhan makanan khas Sunda dari keluarga om Rahmad Koestoro alias Toro almarhum. Semasa hidupnya, om Toro kerap mengikuti event Jelajah Bike, antara lain Jelajah Komodo tahun 2020, Jelajah Rote tahun 2022, dan Jelajah Tana Toraja tahun 2023. Selesai acara, tim Jelajah Bike bersama beberapa peserta Susur Jatiluhur menyempatkan diri nyekar ke makam om Toro, sekitar satu kilometer dari SHSD Ciganea.

 

Jangan lewatkan!!

Bali Yang Sulit Terlewatkan

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.