Connect with us

Bisnis

Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Belakangan ini masyarakat kembali mengeluhkan harga tiket pesawat penerbangan domestik yang mahal. Bahkan, untuk rute tertentu harganya lebih mahal dibanding tiket penerbangan internasional. Keluhan ini sudah berkali-kali terungkap, tetapi solusinya selalu nihil. Yang ada malah harga tiket melambung lagi.

Sebagai negara kepulauan, transportasi udara merupakan pilihan paling efektif di Indonesia. Coba kita bayangkan, jarak dari Sabang ke Merauke, atau Jakarta-Makassar, atau Jakarta-Balikpapan, Jakarta-Bali, atau Jakarta-Labuan Bajo pergi pulang.

Kalau mengikuti jalur jalan darat dan laut, maka perjalanan menuju ke rute-rute itu membutuhkan waktu selama beberapa pekan untuk sekali jalan. Sebaliknya menggunakan pesawat berbadan lebar hanya membutuhkan waktu penerbangan selama beberapa jam.

Para kru Pelita Air Service yang tampil lebih elegan setelah menjadi penerbangan niaga berjadwal, Foto: Arsip Pelita Air

Menggunakan jasa penerbangan dapat memangkas waktu perjalanan yang signifikan. Penghematan waktu otomatis membuat penanganan urusan pun menjadi lebih efisien serta cepat tuntas.

Masa perang tarif

Era reformasi yang lahir pada tahun 1998 telah memberi kesempatan yang luas bagi swasta membangun perusahaan penerbangan. Maka, sejak itu, maskapai nasional pun lahir bagai cendawan tumbuh di musim hujan.

Ada puluhan perusahaan penerbangan yang beroperasi. Ada yang mengandalkan tiga pesawat, dan ada yang memiliki lima unit pesawat atau lebih. Untuk merebut penumpang, maskapai-maskapai baru berani memberlakukan tarif sangat murah.

Bayangkan, pada tahun 2002, misalnya, harga tiket pesawat rute Jakarta-Surabaya yang biasanya rata-rata Rp 760.000, tetapi maskapai Indonesia Airlines (IA) menawarkan tarif Rp 390.000. Pelita Air lebih murah lagi, yakni Rp 333.000. Harga ini setara tiket kereta api dengan rute yang sama.

Rute Jakarta-Batam yang biasanya Rp 850.000 per penumpang, tetapi Lion Air dan Jatayu Air hanya Rp 499.000. Pelita Air rute Surabaya-Makassar seharga Rp 333.000. Entah seperti apa penghitungannya, tetapi perusahaan penerbangan berlomba-lomba melakukan perang tarif, (Kompas 20/5/2002).

Bali menjadi tujuan utama wisatwan domestik dan mancanegara. Jumlah wisatawan domestik bakal meningkat pesat jika ada penurunan harga tiket pesawat. Foto: Jannes Eudes Wawa

Dampak positifnya yakni penggunaan pesawat tidak lagi sebatas masyarakat kelas menengah ke atas melainkan semua lapisan sosial. Siapa pun bisa terbang. Penerbangan pun menjadi urat nadi utama transportasi nasional. Kapal penumpang, kereta api dan angkutan bus kelimpungan menghadapi agresitivitas bisnis penerbangan komersial berjadwal.

Dampak Covid-19

Seiring perjalanan waktu, satu demi satu perusahaan penerbangan pun rontok. Mereka tidak sanggup lagi menghadapi persaingan yang ketat. Perang tarif tiket merupakan salah satu pemicunya, sebab bisnis penerbangan tergolong risiko tinggi dan padat modal, tetapi potensi keuntungan yang minim.

Maskapai yang tetap eksis hingga saat ini hanya Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia dan Citilink), Air Asia, Sriwijaya Group (Sriwijaya dan NAM) serta Lion Group (Lion, Batik dan Wings). Terakhir datang lagi Pelita Air, anak perusahaan Pertamina. Maskapai ini sejak April 2022 bertranformasi menjadi penerbangan komersial berjadwal.

Perusahaan-perusahaan ini telah teruji di lapangan sehingga selalu menemukan cara untuk mengatasi persoalan bisnis. Meski demikian, bukan berarti urusan bisnis sudah tuntas.

Hingga kini sebagian besar biaya pengeluaran, seperti sewa pesawat, biaya bahan bakar, suku cadang untuk perawatan dan lainnya dalam bentuk mata uang asing (dollar AS dan euro). Akan tetapi, pendapatan melalui mata uang lokal (rupiah).

Penerbangan domestik menjadi kekuatan utama bisnis penerbangan di Indonesia. Akan tetapi, nilai tukar rupiah yang masih melemah dapat menjadi kendala serius bagi pengelola bisnis ini. Foto: Jannes Eudes Wawa

Perbedaan nilai tukar pun masih signifikan. Saat ini satu euro setara Rp 17.123 dan satu dollar AS setara kurang lebih Rp 15.821. Para ahli ekonomi memprediksi gunjangan terhadap nilai rupiah ini masih berlanjut hingga paruh kedua tahun 2024 sebagai dampak dinamika global dan domestik.

Khusus di dalam negeri, dimana situasi politik yang kian panas. Kalau nilai rupiah terus melemah otomatis memicu mahalnya harga avtur, sewa pesawat, harga suku cadang, asuransi dan lainnya.

Keluhan masyarakat

Meski demikian, masyarakat terus mengeluhkan tarif tiket pesawat yang mahal. Keluhan tersebut wajar, sebab serangan wabah covid-19 selama tahun 2020-2022 telah menimbulkan krisis ekonomi sangat parah.

Banyak warga kehilangan pekerjaan. Tidak sedikit perusahaan gulung tikar. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan begitu masif hingga kini.  Aktivitas industri pun belum stabil. Krisis itu membuat pendapatan masyarakat pun merosot, tetapi beban biaya keluarga terus meningkat.

Sebaliknya dari pihak maskapai beranggapan harga tiket saat ini masih normal. Harga yang ada masih berada di antara tarif batas bawah dan tarif batas sebagaimana keputusan Menteri Perhubungan Nomor 16 tahun 2019.

Misalnya, Jakarta-Banda Aceh berkisar Rp 780.000-Rp 2.228.000, Jakarta- Medan Rp 630.000-Rp 1.799.000, Jakarta-Semarang Rp 279.000-Rp 796.000, Jakarta-Surabaya Rp 408.1.167.000, dan Jakarta-Solo Rp 317.000-Rp 906.000.

Ada jalan

Argumentasi masing-masing pihak sangat rasional. Perdebatan ini bakal sulit mendapatkan titik temu. Padahal, perlu solusi agar tidak terjadi krisis baru sebagai dampak dari menurunkan mobilitas masyarakat melalui angkutan udara.

Timbul pertanyaan, masih adakah celah yang memungkinkan penurunan harga tiket pesawat? Jawabannya: Ada. Akan tetapi, kewenangan tersebut sudah di luar aspek bisnis. Di sini, bola itu ada pada pemerintah.

Indonesia memiliki banyak sekali alam yang indah. Potensi ini hanya dapat berkembang kalau didukung dengan transportasi udara yang memadai dan tarif tiket yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Foto: Jannes Eudes Wawa

Faktanya demikian. Pertama, penjualan avtur penerbangan domestik dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 0,3 persen, di samping ada pungutan lain. Padahal, penerbangan internasional terbebas dari PPN dan PPh.  Kedua, adanya PPN 10 persen yang melekat dalam setiap tarif tiket yang diberlakukan kepada konsumen.

Maka, terkait desakan penurunan tarif tiket pesawat domestik, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah. Pertama, menghapus PPN dari pembelian tiket dan avtur pesawat.

Kedua, meniadakan PPN dari pembelian tiket pesawat. Ketiga, memberikan insentif keringanan PPN lebih dari lima persen.

Memang, sangat dilematis, sebab ketiga pilihan ini akan mengurangi penerimaan pendapatan negara. Padahal, pemerintah terus berupaya menggenjot kenaikan penerimaan negara melalui pajak.

INACA memprakirakan, jumlah penumpang domestik tahun 2023, sekitar 70,8 juta orang. Jumlah ini masih rendah dibanding tahun 2019 atau sebelum Covid-19 mencapai 79,5 juta penumpang. Sementara tahun 2022 hanya 56,4 juta penumpang.

Berbagi beban

Pemberian insentif karena kondisi ekonomi tidak stabil. Dalam situasi seperti ini pemerintah, pelaku industri penerbangan dan masyarakat perlu saling berbagi beban. Maka, insentif ibarat melepas umpan ikan teri untuk mendapatkan ikan kakap. Inilah cara terbaik dan efektif untuk menurunkan biaya yang cukup signifikan dari tarif tiket pesawat.

Pajak sesungguhnya adalah cerminan dari berputarnya kegiatan ekonomi. Insentif adalah bagian dari umpan. Dengan harga tiket murah otomatis semakin banyak masyarakat terbang menggunakan pesawat. Jumlah penumpang domestik pasti meningkat pesat.

Negeri di atas awan di Lolai, Tana Toraja selalu menjadi incaran wisatawan. Di sana, mereka menyaksikan matahari terbit dengan panorama yang indah. Foto: Jannes Eudes Wawa

Sektor pariwisata menggeliat. Dampak ikutannya sangat besar. Semua sektor ekonomi ikut bergerak serentak. Akhirnya PPN yang hilang dari tiket tergantikan melalui bagian lain, seperti belanja UMKN, penginapan dan lainnya.

Seperti kata Siswono Yudo Husodo, praktisi ekonomi, “Kita harus mendorong ekonomi berputar lebih cepat agar penerimaan pajak meningkat seperti diharapkan. Kita perlu belajar dari sejarah empirik perekonomian banyak negara dimana untuk mempercepat perputaran ekonomi, tarif pajak justru diturunkan, tetapi penerimaan negara justru meningkat”. (Kompas, 31/1/2024)

Kita menunggu keberanian dan keikhlasan pemerintah. Semoga!

Share ini
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Bisnis

Kompetisi IBL 2024, Penetrasi Pasar Pelita Air

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Kompetisi bola bakset profesional di Indonesia memasuki babak baru. Mulai 2024 ini, pertandingan mulai menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Semua klub memiliki kesempatan yang sama menjadi tuan rumah dan tamu. Beban biaya operasional klub bakal membengkak, tetapi keuntungannya pun tidak sedikit.

Sistem kompetisi ini merupakan sebuah terobosan baru bagi Indonesia Basketball League (IBL). Ada keyakinan, industri bola basket nasional bakal jauh lebih berkembang dan maju.

Tantangan dan peluang

Akan tetapi, ada sejumlah tantangan dan peluang. Pertama, tantangan yang utama yakni semua klub peserta akan mengalami peningkatan biaya akomodasi. Dalam setiap laga tandang, klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya yang berjumlah sekitar 25 orang.

Biaya akomodasi untuk perjalanan lumayan besar. Para pengelola klub memprediksi mencapai 30 persen dari total kebutuhan biaya selama musim kompesisi tahun 2024.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia 2024. Tahun ini mulai menerapkan sistem kandang dan tandang. Foto: arsip

Kedua, sistem kandang dan tandang juga berpeluang melahirkan kebanggaan lokal di kalangan masyarakat setempat. Hal ini memudahkan klub memperkuat relasi dengan para pendukung.

Semakin banyak pendukung berpeluang meningkatkan jumlah penonton. Dengan demikian, potensi pendapatan klub dari pertandingan juga membesar. Bagi IBL, penonton yang membludak membuat industri bola basket nasional berkembang lebih optimal.

Ketiga, klub dan manajemen IBL berpeluang menambah jumlah perusahaan sponsor dan nilai sponsorship. Apabila potensi ini tertangani optimal, maka menambah pendapatan klub dan IBL. Potensi ini menjadi kekuatan yang dapat menarik investor melakukan investasi dalam industri bola basket.

Ada14 klub peserta IBL tahun 2024. Klub-klub itu berkandang di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan sejumlah kota lainnya. Letak kota-kota ini sangat jauh dan umumnya hanya dapat dijangkau melalui penerbangan.

Titik temu kepentingan

Di sinilah adanya titik temu kepentingan antara IBL dan Pelita Air. IBL membutuhkan dukungan perusahaan penerbangan untuk mengangkut pemain, pelatih dan official lainnya guna mengikuti laga tandang. Dukungan itu dapat meringankan beban biaya akomodasi dari setiap klub.

Sementara manajemen Pelita Air melihat basket sebagai pasar potensial. Bola basket selalu indentik dengan kaum muda. Dimana-mana, setiap ada pertandingan bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Ada yang masih sekolah atau kuliah, tetapi banyak pula yang sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.

Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.

Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.

Garap penggemar

Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air

Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, bola basket juga selalu erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air.

Lebih dari itu, Pelita Air sepertinya tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.

Kehadiran Pelita Air  telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.

Yang terpenting lagi adalah pemilik dan pengelola event perlu loyal kepada patner atau mitranya. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan yang saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang perlu diterapkan dalam IBL.

Pesawat menjadi salah satu kebutuhan vital bagi klub peserta IBL 2024. Hal ini karena ada sistem kompetisi kandang dan tandang. Foto: Jannes Eudes Wawa

Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda. Akan tetapi, manajemennya masih terbatas dan minimnya dukungan sponsor. Salah satunya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Padahal, industri olahraga selalu mampu menjadi lokomotif yang handal dalam menarik sektor lain untuk menggerakkan ekonomi. Jika semakin banyak terselenggara even olahraga, peluang ekonomi nasional semakin besar dan nyata. ***

Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

Share ini
Continue Reading

Bisnis

Basket, Pelita Air dan Generasi Milenial

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Oleh: JANNES EUDES WAWA

Industri penerbangan dan industri olahraga selalu bersinggungan. Dalam olahraga, kompetisi adalah ruh industri. Melalui kompetisi yang rutin dengan manajemen profesional, industri olahraga mendapatkan energi besar.  Kompetisi selalu melibatkan klub dan individu. Di balik mereka ada pendukung, penggemar, dan penonton. Inilah pasar bagi maskapai.

Bola basket termasuk salah satu cabang olahraga yang cukup populer, terlebih di kalangan anak muda. Setiap kali ada pertandingan, para penonton umumnya kaum muda terpelajar. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia.

Hal ini tidak terlepas dari begitu membuminya olahraga tersebut. Lapangan basket tidak membutuhkan area yang luas sehingga selalu terbangun di setiap sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Itu sebabnya, sejak usia dini, para peminat bola basket mulai tertempah. Belum lagi kompetisi bola basket di kalangan pelajar dan mahasiswa selalu rutin terlaksana. Sebut saja Liga Mahasiswa Bola Basket yang melibatkan sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia yang kian meriah. Pemain asing mulai terlibat. Foto: Arsip 

Ada pula Red Bull Basketball Championship (RBBC) yang merupakan kompetisi bola basket antar-pelajar SMA dan sederajat. Kompetisi ini pernah terlaksana di 10 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan.

Di luar itu, klub bola basket juga terus tumbuh dan berkembang. Bahkan, sejak tahun 1982 telah ada kompetisi antarklub bernama Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama). Meski level amatir, kompetisi ini bergulir selama 20 tahun hingga berhenti pada tahun 2010.

Di saat yang sama yakni sejak tahun 2003, lahir kompetisi profesional Indonesia Basketball League (IBL) dengan peserta adalah klub-klub papan atas. Dalam perjalanannya, IBL juga mengalami pasang surut.

Biaya akomodasi naik

Meski tertatih-tatih, IBL terus berjalan. Bahkan, sejak tahun 2017, IBL membolehkan adanya pemain asing dalam setiap klub. Kebijakan ini membuat kompetisi IBL bertambah hidup. Persaingan antarklub untuk menjadi yang terbaik pun meningkat.

Setapak demi setapak, penonton IBL mulai bertumbuh. Tiket yang tersedia dalam setiap pertandingan di kota-kota penyelenggara pada tahun 2020, misalnya, selalu habis terjual. Setiap klub juga semakin giat memperkuat hubungan dengan para penggemar.

Dalam musim kompetisi 2024, manajemen IBL melakukan terobosan baru. Untuk pertama kalinya menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Sistem kompetisi ini, menurut Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah, menguras banyak tenaga dan biaya dari semua klub peserta.

Penerapan sistem kompetisi ini memiliki sejumlah tantangan dan peluang. Salah satunya yakni klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya sekitar 25 orang untuk mengikuti laga tandang di berbagai kota.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air

Perjalanan ini membutuhkan transportasi udara, penginapan, konsumsi dan lainnya. Biayanya tidak sedikit. Apalagi perjalanan menjelang akhir pekan sehingga harga tiket pesawat lebih mahal. Beban biaya akomodasi ini mencapai sekitar 30 persen dari total kebutuhan finansial selama musim kompetisi 2024.

Itu sebabnya, IBL membutuhkan dukungan maskapai untuk mengangkut tim yang ingin bertanding laga tandang. Kehadiran maskapai tersebut dapat mengurangi beban klub dan memastikan kompetisi bakal berjalan lancar. Maklum, 14 klub peserta IBL tahun 2024 tersebar di banyak kota, seperti Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan lainnya.

Pasar generasi milenial

Pelita Air melihat peluang tersebut. Dimana-mana, setiap ada kompetisi bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Banyak di antara mereka sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.

Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.

Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.

Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.

“Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, kami menilai bola basket juga erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air” kata Direktur Utama Pelita Air Dendy Kurniawan.

Bagi Dendy, Pelita Air tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.

Perkuat sinergi

Di mata Junas Miradiarsyah, kehadiran Pelita Air telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.

Kompetisi Bola Basket Indonesia (IBL) 2024 yang kian semarak. Tahun ini mulai menerapakan sistem kandang dan tandang. Foto: Arsip

“Kami harus lebih loyal kepada patner. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang kami terapkan dalam IBL.” Jelas Junas.

Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda.

Akan tetapi, minimnya dukungan sponsor sehingga event olahraga tidak berjalan optimal. Padahal, industri olahraga terbukti menjadi lokomotif yang mampu menggerakkan semua sektor ekonomi.

Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

Share ini
Continue Reading

Bisnis

Durian, Pasar Tidak Terbatas dan Peluang Cuan Besar

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Awal Desember 2023, saya bertemu seorang teman di Jakarta. Dia bercerita dengan penuh semangat tentang prospek buah durian yang begitu besar. Jangankan ekspor, untuk pasar domestik saja permintaan selalu jauh melampaui ketersediaan barang. Dia pun memutuskan  menanam durian dalam skala besar.

Durian adalah tanaman tropis yang sesungguhnya hanya berkembang di wilayah Asia Tenggara. Indonesia termasuk salah satu tempat asal tanaman ini. Bahkan, Indonesia memiliki 117 jenis durian yang terdaftar. Jumlah tersebut merupakan terbanyak di dunia.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, produksi buah durian pada tahun 2022 sebanyak 1,71 juta ton. Jumlah ini meningkat 26,64 persen dari tahun 2021 sebanyak 1,35 juta ton.

Gading durian yang legit. Foto; arsip

Ada lima provinsi yang menyumbang produksi terbanyak pada tahun 2022 yakni Jawa Timur sebanyak 419.913 ton. Berikutnya Sumatera Barat 304.119 ton, Jawa Tengah 211.898 ton, Sumatera Utara 119.271 ton, dan Jawa Barat 80.334 ton.

Tanaman durian yang produktif pada tahun 2019 terdata seluas 105.344 hektar. Ini bertambah cukup drastis dari tahun 2018 sekitar 56.655 hektar. Peningkatan ini juga karena permintaan yang cukup tinggi. Buah durian selalu habis terjual.

Saat ini, pasar domestik menyerap hampir 93,9 persen. Kondisi tersebut cukup wajar, sebab jumlah penduduk Indonesia sekitar 280 juta jiwa merupakan pasar yang besar. Apalagi masyarakat Indonesia umumnya adalah penggemar buah durian.

Buah duren, selain langsung dimakan. Belakangan ada yang mulai mengolah menjadi sejumlah produk ikutan, seperti es krim rasa durian, dan roti durian.  Permintaan pun cukup tinggi.

Sementara itu, porsi ekspor hanya kebagian enam hingga tujuh persen. Tahun 2020, misalnya, total volume ekspor buah durian dari Indonesia kurang lebih 105 ton. Jumlah ini hanya meningkat tujuh ton dari tahun 2019 yakni sekitar 98 ton. Tahun 2022 sekitar 230 ton. Negara tujuan ekspor antara lain Malaysia, Singapura, Belanda dan Timur Tengah.

Thailand raja eskpor

Data dari HSBC pada pertengahan September 2023 menyebutkan, permintaan buah durian di pasar dunia mengalami kenaikan sekitar 400 persen. Pemicunya adalah permintaan masyarakat China yang melonjak tajam.

Di sana, buah durian tidak semata-mata buah untuk melengkapi makan, melainkan menjadi hadiah untuk orang-orang istimewa pada acara keluarga atau pertunangan. Buah durian menjadi simbol status sosial dari si pemberi hadiah. Buah durian juga telah menjadi makanan favorit masyarakat kelas menengah di China.

Durian di Padang. Semua terserap pasar lokal. Foto: Jannes Eudes Wawa

Selama dua tahun terakhir, China telah menghabiskan dana Rp 91,8 triliun khusus untuk mengimpor buah durian. Biaya ini mencapai 91 persen dari total permintaan global.

Harga buah durian di “negeri tirai bambu” sebesar 10 dollar AS setara Rp 154.000 per kilogram. Padahal di pasar Asia Tenggara rata-rata 6 dollar AS atau Rp 92.000 per kilogram. Harga ini jauh lebih mahal dua kali lipat dari yang berlaku di Indonesia.

Hingga kini, Thailand menjadi negara yang terdepan dalam memenuhi permintaan buah durian di pasar global. Bahkan, Thailand memenuhi 90 persen dari total kebutuhan di China dengan mendapatkan devisa sebesar Rp 46 triliun pada tahun 2022. Pemerintah China menargetkan, devisa ini bakal meningkat mencapai Rp 50 triliun pada tahun 2023.

Jeli melihat peluang

Mengapa Thailand dapat menguasai pasar ekspor buah durian? Terobosan apa saja yang telah terjadi di negeri dalam beberapa tahun terakhir?

Thailand sepertinya telah lama melihat potensi buah durian di pasar global. Lihat saja pada tahun 2012, misalnya, negara itu sudah memiliki lahan tananam durian seluas 96.000 hektar, tetapi tahun 2019 melonjak tajam menjadi 152.000 hektar.

Bahkan, otoritas pertanian setempat menargetkan volume produksi buah durian di Thailand pada tahun 2022 mencapai 1,4 juta ton. Artinya terjadi peningkatan signifikan dari tahun 2019 sebanyak 656.777 ton.

Memang, sejak belasan tahun lalu, Thailand telah membangun perkebunan durian skala besar dengan pengelolaan yang profesional. Mulai dari penyediaan bibit berkualitas. Bibit bermutu lahir melalui pengembangan riset yang terpadu dan berkesinambungan.

Jangan lewatkan!!

Pelita Air, Emas Baru di Langit Nusantara

Mereka sadar betul bahwa hanya dengan bibit yang baik akan menghasilkan buah durian yang terbaik seperti keinginan konsumen. Thailand juga menyiapkan lahan khusus yang luas dan terawat. Tanaman mendapatkan pemupukan yang rutin dengan pengairan yang baik.

Permintaan yang tinggi di pasar luar negeri membuat sejumlah petani karet, singkong dan lainnya beralih menanam durian.  Dari sekian banyak jenis durian di Thailand, hanya tiga jenis menjadi unggulan. Ketiga jenis itu adalah Kanyao, Chanee dan Monthong. Sejauh ini durian Monthong yang paling terkenal.

Durian monthong menjadi golden pillow, sebab memiliki rasa yang enak dan manis, tidak begitu beraroma, daging buah yang tebal dan pulen. Ukuran biji yang kecil dan pipih, serta kesegarannya bisa bertahan cukup lama.  Beratnya berkisar 3 – 5 kilogram per buah. Ada pula yang mencapai 10 kilogram per buah.

Dalam pengembangan durian, Thailand tidak hanya memperluas areal tanam. Tetapi juga meningkatkan produksi dan kualitas buah. Itu sebabnya volume produksi bertambah setiap tahun.

Lebih dari 90 persen buah durian Thailand diekspor. Tujuan utama adalah China, lalu Hongkong, Korea Selatan, Amerika Serikat dan Jepang. Bahkan, Thailand juga menjajaki pasar di Timur Tengah.

Vietnam bangkit

Di luar Thailand, ada Vietnam yang juga terus gencar mengembangkan tanaman durian. Target utama adalah merebut pasar China dalam volume yang sebanyak-banyaknya. Bahkan, bermodalkan jaraknya yang dekat dengan China, Vietnam menawarkan pengiriman melalui jalan darat sehingga dapat menekan biaya yang lebih rendah.

Ekspor melalui jalan darat dari Vietnam ke China hanya menempuh jarak sejauh 1.306 kilometer. Lama perjalanan maksimal 3 hari sehingga dapat menghemat biaya transportrasi. Hal ini membuat harga eceran di China pun lebih murah.

Saat ini harga durian Vietnam di China terjual dengan harga rata-rata 4 dollar AS per kilogram. Harga ini lebih rendah  dari yang berlaku di pasar Asia Tenggara sekitar 6 dollar AS per kilogram.

Para pesepeda event Jelajah Toba Samosir menikmati duren di puncak Tele. Foto: Arsip Jelajah Bike

Itu sebabnya permintaan durian dari Vietnam pun cukup tinggi. Pada semester I tahun 2023, Vietnam meraih devisa dari mengekspor buah durian ke China yakni  876 juta dollar AS atau setara Rp 13 triliun.

Sementara buah durian dari negara di Asia Tenggara lain, seperti Thailand rata-rata 10 dollar AS per kilogram. Kondisi ini karena jalur pengiriman melalui darat dan laut sehingga memakan waktu minimal empat hari. Dampaknya harga menjadi lebih mahal.

Entah apa yang terjadi hingga sejauh ini tanaman durian yang salah satu komoditas yang sulit berkembang di China. Padahal, masyarakat setempat kian menggemari buah ini.

Itu sebabnya, dengan memiliki jumlah penduduk mencapai 1,425 miliar jiwa menjadikan China sebagai pasar yang teramat besar bagi buah durian. Artinya, komoditas ini memiliki pasar tanpa batas.

Tantangan untuk RI

Kondisi ini menjadi kesempatan yang besar bagi Indonesia. Dengan memiliki lahan teramat luas, dan jenis durian yang begitu banyak seharusnya Indonesia menjadi salah satu pemain utama dalam bisnis komoditas ini di pasar global, terutama China.

Namun, fakta menunjukkan, ekspansi buah durian di pasar global sangat minim. Salah satu pemicunya adalah permintaan di pasar domestik pun selalu jauh melebihi suplai.

Di luar itu, sebetulnya sedang terjadi sejumlah masalah yang membelit Indonesia. Pertama, belum adanya riset tanaman durian yang terpadu. Akibatnya, belum tampak durian unggulan Indonesia. Kalau pun ada, riset itu hanya menjadi konsumsi kalangan terbatas.

Kedua, selama ini budidaya durian cenderung secara tradisional, sebab umumnya hanya melibatkan petani dengan areal yang terbatas. Akibatnya, perhatian pada perawatan dan pemupukan tanaman pun sangat terbatas.

Buah durian yang dijual di tepi jalan. Durian Indonesia masih fokus pada pasar domestik. Foto: Arsip Jelajah Bike

Ketiga, usaha budidaya tanaman durian belum banyak melibatkan perusahaan swasta yang mengembangkan perkebunan skala besar. Belakangan setelah melihat pasar yang tidak terbatas, antusiasme pelaku usaha mengembangkan budidaya durian semakin meningkat.

Kehadiran pihak swasta dapat mendorong adanya buah durian yang berkualitas, unggul dan sesuai standar global serta fokus ekspor. Karena pasar ekspor menuntut adanya kualitas, kuantitas dan kontiunitas.

Keempat, perlu promosi buah durian unggulan Indonesia kepada dunia. Hal tersebut menjadi tugas dan kewajiban pemerintah. Langkah ini akan memudahkan durian Indonesia menembus pasar global.

Sudah waktunya semua pihak mengerahkan segala kekuatan untuk mengembangkan tanaman durian secara lebih baik. Para petani perlu mendapatkan informasi yang akurat baik tentang perawatan tanaman dan prospek buah durian yang memiliki pasar tanpa batas.

Melalui informasi budidaya yang benar, petani pasti semakin bergairah. Mereka akan bekerja penuh semangat guna menghasilkan buah durian berkualitas tinggi dengan volume besar.

Apalagi dengan dukungan pasar yang luas dan harga yang tinggi, maka tanaman durian dapat menjadi andalan utama petani. Durian  mampu menyejahterakan petani.

JANNES EUDES WAWA
penikmat durian

Catatan Royke Lumowa (27): Mulai Berteman dengan Dingin dan Salju

 

 

 

 

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.