Connect with us

Cyling

Catatan Royke Lumowa (43): Pulau di Indonesia Jadi Nama Jalan di Amsterdam

ROYKE LUMOWA

Published

on

Share ini
Oleh ROYKE LUMOWA

Kolonisasi Belanda terhadap Indonesia ternyata berdampak luas. Salah satu di antaranya adalah banyaknya orang Indonesia menetap di Belanda dan menjadi warga negara negeri itu. Uniknya lagi, sejumlah nama jalan di Kota Amsterdam, misalnya mengambil nama pulau-pulau di Indonesia.

Saya tiba di Amsterdam pada Selasa, 30 Januari 2024, dan menginap pada salah satu hostel di Jalan Borneo atau Borneo Straat yang terletak tengah kota. Saat itu hari menjelang petang.

Berfoto di depan gedung Parlemen Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa

Begitu berada di kawasan tersebut, saya sebetulnya agak penasaran dengan pilihan nama jalan ini. Akan tetapi, perasaan itu menghilang seiring kelelahan mengayuh sepeda pada sehari sebelumnya sejauh 105,26 kilometer dari Zwolle melewati hadangan angin yang lumayan kencang.

Keesokan harinya yakni pada Rabu, 31 Januari 2024, saya dan kru memilih istirahat di Amsterdam. Kami mengisi waktu dengan berjalan kaki ke pusat kota atau Centrum.

Kami tidak menggunakan mobil, sebab biaya parkir kendaraan di Amsterdam dan kota lain di Belanda sungguh mahal yakni 7 euro setara Rp 120.000 per jam. Pemerintah setempat sengaja menerapkan tarif parkir kendaraan yang mahal agar masyarakat beralih menggunakan transportasi umum, seperti bus, trem dan kereta atau berjalan kaki atau bersepeda.

Begitu keluar dari penginapan, saya kaget lagi setelah melihat ada Jalan Lampong, Jalan Timor. Ada pula Jalan Jambi, Jalan Sunda, Jalan Nias, Jalan Bali, Jalan Celebes, Jalan Sumatera dan lainnya. Sungguh luar biasa.

Hampir semua jembatan dari Amsterdam hingga di Den Haag bisa terbuka untuk lalu lintas perahu dan kapal yang hendak melewati kanal. Foto: Arsip Royke Lumowa

Salut untuk pemerintah dan masyarakat Belanda yang rela memberi nama jalan di negeri dengan nama khas Indonesia. Mungkin ini dampak dari adanya hubungan yang erat masyarakat dan pemerintah Belanda dengan Indonesia di masa lalu.

Sungai bersih

Saya kembali bersepeda pada Kamis, 1 Februari 2024. Hari itu tujuan perjalanan ke Kota Den Haag. Suhu udara hanya 2 derajat celcius dengan langit yang biru dan cerah, tetapi cukup dingin.

Gowes hari itu saya memilih hanya sejauh 61,61 kilometer. Pilihan ini karena melalui jarak tersebut saya ingin mempersembahkan untuk istri tercinta yang berulang tahun ke-61 tepat pada 1 Februari 2024.

Saya sedang melintas di Kanal Rijin-Schiekanaal. Di rute ini masih terdapat kincir angin tua yang masih terawat dan berfungsi dengan baik. Tampak juga jalur sepeda yang bagus. Foto: Arsip Royke Lumowa

Baru kali ini, saat ulang tahun istri, saya tidak berada satu kota dengannya. Sama seperti pada Natal tahun 2023. Begitulah konsekuensi dari pilihan saya menjelajahi dunia dengan bersepeda sejak 8 Juli 2023 yang dimulai dari Tugu Monumen Nasional (Monas) Jakarta.

Mengingat suhu masih terasa dingin, pakaian gowes pun saya sesuaikan dengan keadaan. Paling dalam adalah baselayer, lalu jersey musim dingin, jaket sepeda yang agak tipis lengan panjang dan celana padding musim dingin. Sarung tangan tebal yang menutup semua jari, penutup kepala, dan kupluk wajah, hidung dan mulut, serta sepatu sepeda khusus musim dingin.

Tepat pukul 08.33, saya memulai bersepeda. Saya menyusuri kanal Singelgracht ke arah barat daya. Sepanjang perjalanan tampak bersih. Sungai dan kanal yang ada terpelihara dan sehat. Airnya bening, dan sama sekali tak tampak sampah sedikit pun. Semua sudut kota tampak bersih dan apik.

Seketika terbayang sungai-sungai di Indonesia yang mengalir di tengah kota-kota besar, seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, Jambi, Medan, Semarang, Pontianak dan lain sebagainya. Sungai-sungai itu begitu kotor, keruh dan berbau tidak sedap.

Saya beristirahat di tepi salah satu kanal di Amsterdam. Foto: Arsip Royke Lumowa

Di tepi kiri dan kanan sungai selalu ada permukiman padat. Bertahun-tahun, semua pihak mengaku prihatin atas kondisi itu. Akan tetapi, penataan dan revitalisasi cenderung seadanya. Tidak ada solusi tuntas seperti yang dikembangkan di Eropa.

Tertib berlalulintas

Menarik lagi adalah pemakai jalan begitu tertib dan teratur. Tidak ada pejalanan kaki yang menerobos di lampu merah meski jalan sepi. Bahkan, di setiap persimpangan tanpa lampu merah pun, pengguna jalan takkan melakukan pelanggaran.

Mereka selalu mengutamakan pemakai jalan lain yang lebih berhak berjalan terlebih dahulu. Jadi tidak main terobos seperti yang selalu terjadi di negara kita.

Memang, di negara-negara maju tidak sulit bagi warganya bersikap tertib di jalan raya. Maklum budaya tertib dan disiplin telah berlangsung lama dan selalu konsisten terjaga serta terpelihara oleh semua pihak: masyarakat dan pemerintah.

Saya bersepeda di tengah Kota Amsterdam. Tampak ratusan sepeda terparkir di tepi kanal. Foto: Arsip Royke Lumowa

Semakin maju negara tersebut, maka semakin baik sistem lalu lintasnya. Ada tiga parameter untuk menilai suatu negara tergolong maju atau berpotensi maju pesat. Pertama, adanya keteraturan sistem lalu lintas yang tinggi. Hal ini terkait infrastruktur, sarana prasana dan regulasi atau undang-undang serta budaya tertib berlalulintas dari masyarakat.

Kedua, koruptif yang rendah di segala lini, terutama pada apatatur pemerintahan dan masyarakat. Ketiga, memiliki kepedulian dalam menjaga keseimbangan alam atau lingkungan yang berkelanjutan.

Dalam rute yang saya lewati menuju Den Haag, saya melihat beberapa sungai, kanal dan polder yang tertata bagus, bersih dan airnya yang bening. Air dengan sengaja dibiarkan mengalir dengan lancar pada jalurnya tanpa ada bagian yang buntu sehingga menjadi rawa.

Di Belanda sepertinya tidak ada rawa. Semua air mengalir tanpa henti pada parit, sungai, kanal dan polder yang ada. Bahkan, sungai, kanal dan polder berfungsi juga sebagai prasarana transportasi.

Dua pesepeda lokal menemani saya bersepeda dari Amsterdam menuju arah selatan. Mereka memberikan apresiasi yang tinggi atas semangat dan tekat saya gowes dari Jakarta. Foto: Arsip Royke Lumowa

Ikan dan burung pun hidup bebas dalam jumlah yang banyak. Hal ini menandakan air yang ada berkualitas terbaik. Bebas dari pencemaran aneka limbah dan sejenisnya. Di lokasi resapan air juga sama sekali tak ada bangunan apa pun.

Melewati Kota Leiden

Sepanjang perjalanan tersedia jalur sepeda. Jalur sepeda itu selalu terhubungkan dengan taman-taman kota, hutan kota atau ruang publik yang ada di tengah kota. Lokasi-lokasi itu selalu menjadi tempat berkumpul warga untuk olahraga seperti jalan kaki, lari atau bersepeda dan lainnya.

Perjalanan saya juga melewati Kota Leiden. Ini adalah salah satu kota terpenting di Belanda. Di sana, ada Universitas Leiden sebagai salah satu perguruan tinggi tertua yang pendiriannya pada tahun 1575.   Banyak intelektual dan pemimpin asal Indonesia pernah mengenyam pendidikan tinggi pada Universitas Leiden. Jarak Amsterdam dan Leiden hanya 50 kilometer.

Kanal-kanal di Belanda sangat bersih dan tertata apik. Foto: Arsip Royke Lumowa

Selepas Leiden atau sekitar tiga kilometer menjelang Kota Den Haag, persis di kilometer 61,61 saya memutuskan mengakhiri gowes hari itu. Total ketinggian hanya 159 meter atau kontur jalan mendatar.

Saya telah menuntaskan janji dan komitmen saya mendedikasikan jarak mengayuh sepeda pada hari itu sebagai hadiah untuk istri tercinta di Jakarta. Mengayuh sepeda yang mencapai angka 61,61 tidak mudah. Butuh konsentrasi sekaligus teknik pengelolaan emosi mengayuh yang pas. Karena salah sedikit saja bakal melewati angka yang diinginkan.

Kuliner Indonesia

Setibanya di Den Haag, saya langsung memenuhi undangan makan siang dari  tante Sunarti. Dia teman saya dari Makassar yang membuka usaha travel di Belanda. Usaha ini hanya melayani teman-temannya dari Makassar yang ingin berlibur di Eropa.

Bahkan, tante Sunarti pernah mengurusi touring sepeda komunitas E2G dari Makassar di Eropa. Klub ini saban tahun melakukan perjalanan bersepeda di benua itu. Biasanya berkisar 10-14 hari. Saya pernah sekali mengikuti touring E2G di Eropa yakni gowes dari Amsterdam ke Paris pada Mei 2022.

Siang itu, kami menikmati makan siang di restoran Indonesia. Restoran ini menyediakan aneka menu kuliner khas Nusantara. Saya memilih nasi rendang dan bakso. Bakso enak banget sehingga saya makan dua porsi. Rendang juga enak, tetapi terlalu pedas.

Jumat, 2 Februari 2024, udara Kota Den Haag begitu cerah dengan suhu hanya tiga derajat celcius. Hari itu, saya bersepeda di sekitar Kota Den Haag hingga di Delf sejauh 24 kilometer.

Pagi hari, saya bersepeda dari penginapan menuju kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) untuk bertemu dengan Duta Besar Pak Mayerfas sekaligus menyerahkan vandel dari Persatuan Purnawirawan Polri.

Kuliner khas Indonesia pada sebuah restoran Indonesia di Den Haag, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa

Belanda memang agak unik. Den Haag bukan sebagai ibukota negara, tetapi kantor kedutaan negara-negara asing malah berada di kota ini. Sementara itu pusat pemerintahan berada di Amsterdam. Den Haag memiliki penduduk sekitar 474.291 jiwa.

Keberadaan di KBRI itu saya manfaatkan untuk mendalami pengurusan perpanjangan visa Schengen (Uni Eropa). Sesuai ketentuan, urusan visa dilakukan di negara asal. Namun, saya berharap ada peluang untuk mengurus perpanjangan itu di Eropa atau negara terdekat.

Sebelumnya, saya juga telah mengontak Pak Mayesfas terkait rencana perpanjangan visa. Hal ini penting, sebab terkait kelanjuitan perjalanan kami. Apakah akan sampai Juli atau berhenti sampai Mei? Visa saya berakhir pada 9 Mei untuk masa validitasnya, sedangkan masa tinggal berakhir pada 30 Maret.

Problem visa

Sebenarnya sejak dari Iran dan Turki kami mencoba mendekati KBRI untuk mengurus pembuatan visa bagi kru untuk om Yayak dan Dimas untuk visa yang baru. Visa keduanya sengaja belum diurus di Jakarta karena bersepeda dari Jakarta hingga memasuki Eropa tidak dapat dipreksikan waktunya.

Kami khawatir saat tiba di Eropa, masa valid visa pun sudah berakhir. Bahkan, durasi tinggal sudah selesai sebelum masuk. Terbukti sejak memulai perjalanan dari Jakarta pada 8 Juli 2023, kami baru memasuki Eropa pada 14 Desember 2023.

Kami pun mencoba mengurus visa Uni Eropa saat berada di Iran dan Turki. Pihak KBRI Teheran berhasil melakukan pendekatan dengan Kedutaan Besar Perancis di Iran. Mereka mengizinkan kami mengurus visa Uni Eropa di Teheran.

Akan tetapi, waktu wawancara dan biometri membutuhkan waktu 2 minggu. Kondisi ini menurut kami terlalu lama. Untuk urusan biometri saja sudah 2 minggu. Belum lagi menunggu proses cetak juga selalu memakan waktu sekitar 2 minggu  sehingga kami bakal menghabiskan waktu sebulan di Teheran.

Berada di tepi salah satu Kanal di Amsterdam. Foto: Arsip Royke Lumowa

Maka kami bermohon agar urusan visa dipindahkan ke Turki agar bisa menghemat waktu. Akhirnya atas upaya KBRI Ankara, maka kami melanjutkan perjalanan ke Turki dan mengurus visa di Ankara. Alhasil, kami menghabiskan waktu tidak lebih dari 2 pekan, urusan visa Uni Eropa pun tuntas. Biometri 5 hari dan seminggu kemudian visa sudah terbit. Visa ini untuk Dimas dan Yan. Masa berlaku visa ini hanya tiga bulan.

Persoalan berikutnya adalah memperpanjang visa setelah 90 hari yakni pada Februari atau Maret. Selain di Den Haag, saya juga melakukan pendekatan dengan KBRI yang kami lewati sebelumnya yakni Bulgaria, Serbia, Polandia, Hongaria, Jerman, Turki, termasuk juga Portugal, negara yang belum saya kunjungi.

Tetapi tidak berhasil. Karena ketentuan perpanjangan visa harus di negara asal, yakni Indonesia. Akhirnya, kami pun memutuskan kembali ke Jakarta pada 26 Februari 2024 untuk mengurus perpanjangan visa Uni Eropa.

Om Bob Mantiri

Selesai dari KBRI Den Haag, saya menuju rumah keluarga di Rijswijk yakni om Bob Mantiri. Dia sudah puluhan tahun tinggal di Belanda dan telah menjadi warga negara negeri itu. Saat ini om Bob berusia 80 tahun.

Saya dan om Bob Mantiri. Foto: Arsip Royke Lumowa

Istri om Bob juga keturunan Indonesia. Keduanya menerima kehadiran saya dengan suka cita. Mereka begitu bahagia atas kedatangan saya, apalagi menggunakan sepeda dari Jakarta. Sesuatu yang jarang dilakukan orang Indonesia.

Setelah bertemu om Bob, kami melanjutkan perjalanan ke Kota Delf dan sekitarnya untuk sekedar jalan-jalan menikmati Belanda. Di tengah jalan, saya melihat ke kiri dan kanan, tetapi tidak ada restoran.

Kami pun teringat sebelum gowes pagi itu, sempat mendapatkan titipan barang dari atase Polri di Den Haag, yakni Kombes Sugeng. Dia menitipkan bekal berupa nasi gudeg. Kami pun menikmati makanan itu dengan lahapnya.

editor: JANNES EUDES WAWA

Catatan Royke Lumowa (42): Saya Pun Memasuki Wilayah Belanda

 

Share ini

Cyling

Tour d’ Entete: Flobamora Menggebrak Dunia

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Oleh JANNES EUDES WAWA

Tidak seorang pun di Indonesia yang meragukan tentang keindahan panorama alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keunggulan wilayah ini tidak semata-mata biawak raksasa Komodo, danau tiga warna Kelimutu atau Pulau Padar yang menawan. Masih banyak obyek lain baik alam maupun keunikan tradisi masyarakat yang selalu menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namun menjual potensi alam perlu dengan kerja kreatif  dan inovatif.

Selama 15 tahun terakhir, pariwisata di Nusa Tenggara Timur berkembang pesat. Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2010, misalnya, hanya 148.673 orang, tetapi pada, tahun 2024 mencapai 1,5 juta orang atau meningkat sekitar 900 persen.

Seekor Komodo sedang menguap di Pulau Komodo. Foto: Arsip Jelajah Sport

Kenaikan kunjungan yang sangat signifikan terjadi setelah Yayasan New7Wonders menyatakan Pulau Komodo dan Taman Nasional Komodo di Flores menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru pada tahun 2012. Keputusan tersebut melalui pemilihan (voting) dan klarifikasi yang melibatkan jutaan pemilih dari seluruh dunia.

Sejak itu, mata dan hati warga dunia langsung tertuju ke Komodo. Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah terobosan untuk membenahi Labuan Bajo sebagai pintu masuk Komodo baik infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan raya, penataan kota, pembangunan landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Komodo, pembenahan pelabuhan maupun kebijakan lain yang mendorong investasi swasta.

Bahkan, pemerintah pusat juga menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya kota di luar Bali dan Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara ke-42 tahun 2023. Kegiatan itu memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan ekonomi di Labuan Bajo pada khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Bahkan, adanya ASEAN Summit telah menguatkan posisi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.

Hasilnya bukan semata-mata meningkatkan kunjungan wisatawan, melainkan juga maraknya investasi yang cukup signifikan di Labuan Bajo. Investasi yang paling nyata adalah hadir hotel-hotel berbintang tiga, bintang empat, bahkan bintang lima di wilayah Flores barat tersebut. Penyediaan kapal phinisi untuk melayani wisatawan juga kian banyak.

Kerja Kreatif dan Langkah Inovatif

Gubernur Nusa Tenggara Timur Melkiades Laka Lena tidak mau terlena dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan itu. Bagi dia, potensi yang dimiliki NTT saat ini seharusnya mampu menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Namun demikian, keinginan tersebut membutuhkan kerja kreatif dan langkah-langkah inovatif.

Labuan Bajo di Manggarai Barat, Flores, menjelang senja. Panoramanya sangat menawan. Foto: Jannes Eudes Wawa

NTT tidak semata-mata Labuan Bajo. Masih banyak potensi tersebar di Flores, Sumba, Timor serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua (Flobamora) yang memiliki potensi yang nyaris tidak sama antara satu daerah dengan lainnya.

Ada tradisi masyarakat, bahasa, rumah adat dan sistem sosial yang berbeda. Belum lagi potensi alam pantai, pesona dasar laut, pegunungan dan hamparan sabana. Semua itu dapat menjadi kekuatan yang saling menopang dan saling melengkapi. Jika itu terjadi, maka akan sangat potensial dalam menjaring wisatawan mengunjungi NTT dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi.

Bagi Gubernur NTT, pariwisata tidak semata-mata menjual panorama alam, kekayaan budaya dan lain sejenisnya. Pariwisata sesungguhnya dapat berkembang melalui banyak aktivitas sebagai wadah untuk memasarkan dan mempromosikan antara lain even olahraga, festival dan lainnya sekaligus menjaring wisatawan. Wisata olahraga atau sport tourism adalah pilihan yang ideal. Kolaborasi antarsektor inilah yang perlu diberdayakan dan dihidupkan di NTT.

Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai. Letaknya di lambah pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jelang petang suhu dingin. Wisatawan asing paling banyak mengunjungi kampung ini. Foto: Jannes Eudes Wawa

Di tingkat dunia, banyak ajang olahraga yang terbukti memacu perkembangan sektor pariwisata. Penyelenggaraan even olahraga berskala internasional yang melibatkan banyak negara selalu menciptakan kehebohan sekaligus menyedot perhatian warga dunia. Secara bertahap aktivitas itu akan menarik wisatawan.

Potensi Wisata Tersebar Merata

Itu sebabnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menggagas penyelenggaraan even balap sepeda internasional di Nusa Tenggara Timur yang melewati tiga pulau besar sekaligus yakni Timor, Sumba dan Flores. Kegiatan bernama Tour de Entete ini berlangsung pada 10-21 September 2025, memulai dari Kota Kupang dan finis di Labuan Bajo. Momentum tersebut menjadi menjadi etalase megah bagi promosi pariwisata NTT. Jelajah Sport mendapatkan kepercayaan untuk menangani event ini.

Balap sepeda jalan raya bertaraf internasional selama 10 hari ini akan melintasi berbagai destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tour d’ Entete memadukan olahraga dan pariwisata (sport tourism), dengan harapan menarik partisipasi pembalap dari dalam dan luar negeri.

Bukit Tanarara di Sumba Timur. Indah dan menawan. Foto: Arsip Tour d’ Entete

Melalui rute spektakuler yang membentang dari Kota Kupang hingga Labuan Bajo, Tour d’ Entete akan menghadirkan narasi baru bahwa setiap jengkal tanah di NTT memiliki cerita, setiap tanjakan dan turunan adalah cerminan dari kekayaan geografis serta karakter masyarakatnya yang tangguh dan ramah. “Ini momentum emas untuk memperlihatkan bahwa potensi pariwisata di NTT tersebar merata di semua wilayah, tidak terpusat di satu kawasan semata,” kata Melkiandes Laka Lena.

Sport tourism selalu menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan suatu daerah, memperkenalkan daya tari wisata dan menarik wisatawan. Aktivitasnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor pariwisata, perhotelan, kuliner dan transportasi. Sport tourism juga menjadi ajang memperkenalkan budaya dan kearifan local kepada wisatawan.

1.537 Destinasi Wisata

Data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan hingga tahun 2024 terdapat 1.537 destinasi wisata di NTT yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Destinasi itu terbagi dalam tiga bagian yakni wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.

Dengan Tour d’ Entete, pemerintah setempat ingin menggabungkan keindahan alam dan kekayaan budaya NTT dengan semangat olahraga. Balap sepeda bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga menyuguhkan kegembiraan, memamerkan keindahan alam, atraksi visual, dan interaksi langsung dengan masyarakat. “Ini adalah cara kami merayakan NTT sambil memperkenalkannya ke panggung dunia,” jelas tambah Gubernur Melki Laka Lena.

Pantai Koka di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Pantai berpasir putih berbentuk hati. Potensi ini belum tergarap. Foto: Arsip Tour d’ Entete

Tour d’ Entete juga menjadi momentum strategis Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di NTT. Dengan rute yang melintasi berbagai wilayah, maka membutuhkan akses yang baik dan aman, maka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Infrastruktur berkualitas akan membuka peluang bagi sektor pariwisata berkembang pesat. Inilah salah satu manfaat yang bakal dinikmati masyarakat.

Jangan Lewatkan!!

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.

Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.

Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike

“Rolling” Lagi

Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.

Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike

Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.

Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram

Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal  dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.

Touring  kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.

Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.

Kecerdikan Sultan

Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.

Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike

Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.

Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.

“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike

Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.

Menuju Yogyakarta

Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike

Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).

 

Tulisan Sebelumnya:

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.

Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu,  Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.

Naik dan Turun

Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.

Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.

Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.

“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.

Padi Menguning

Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike

Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.

Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.

I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.

“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.

Candi Gedong Songo

Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.

Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa.  Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa

Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.

Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840  dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.

Tujuan Wisata

Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.

Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike

Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.

“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.

Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.

Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.

Terapit Dua Gunung

Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan  kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.

Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.

Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.

Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)

 

Tulisan Sebelumnya:

Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

 

 

 

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.