Cyling
Catatan Royke Lumowa (42): Saya Pun Memasuki Wilayah Belanda

Oleh ROYKE LUMOWA
Di kalangan para pesepeda jarak jauh, Belanda adalah negeri impian. Di negeri itu, para pesepeda mendapatkan perlakuan istimewa. Selain tersedia jalur sepeda yang begitu banyak, tidak hanya di kota, tetapi juga di pedesaan. Masyarakatnya pun gemar mengayuh sepeda kemana pun mereka pergi.
Saya tiba di Belanda pada Sabtu, 27 Januari 2024. Hari itu, saya bersepeda dari Kota Bremen melewati Sogel. Kedua kota ini masih berada dalam wilayah Jerman. Bremen berada di barat laut Jerman.
Bahkan, Bremen menjadi negara bagian terkecil di negeri itu. Namun, kota ini juga berperanan penting sebagai pusat perdagangan dengan memiliki pelabuhan terbesar kedua di Jerman, setelah Hamburg.
Kota dagang
Kota Bremen terletak sekitar 60 mil dari Laut Utara. Sedangkan Pelabuhan Bremen berada di mulut Sungai Weser yang menuju ke Laut Utara. Pelabuhan itu dibangun pada tahun 1.827.

Berada di wilayah Bremen, Jerman. Foto: Arsip Royke Lumowa
Di Pelabuhan ini, sejak dulu hingga sekarang perusahaan-perusahaan raksasa dunia biasa melakukan transaksi sejumlah komoditas, antara lain minyak bumi, benang wol, kapas, tembakau dan kopi. Sebagian dari komoditas itu berasal dari Indonesia, yakni tembakau dan kopi.
Saya mulai mengayuh sepeda dari Bremen pada pukul 08.38. Suhu udara pada pagi itu hanya 1 derajat celcius sehingga kondisinya cukup cerah dan bersahabat. Perjalanan saya mengarah ke timur, menuju ke Belanda.
Mengayuh sepeda pada hari itu terasa sangat menarik. Saya tidak lagi terhalang oleh salju tebal, suhu udara yang sangat dingin dan angin kencang sehingga dapat merasakan kenyamanan bersepeda di wilayah Eropa yang terkenal ramah terhadap pesepeda.
Jalur sepeda tersedia dimana-mana dan selalu terpisah dengan jalan mobil. Jalur sejenis juga ada di negara-negara yang saya lewati sebelumnya yakni Finlandia, Swedia, Norwegia, Denmark dan sebagian Jerman. Akan tetapi, saat itu masih berselimut salju sehingga kenyamanan mengayuh sepeda tidak terasa optimal.
Kali ini saya menyaksikan dengan jelas dimana jalur sepeda terpelihara dengan baik, dan setiap saat selalu dilewati pesepeda. Jadi jalur sepeda bukan asal dibangun.
Lebih menarik lagi, dalam jalur sepeda tidak menjadi tempat parkir kendaraan lain. Di jalur sepeda juga sama sekali tidak ada jalan berlubang atau galian parit dan lainnya seperti di Jakarta.

Memasuki wilayah Bremen, Jerman. Foto: Arsip Royke Lumowa
Jalur sepeda itu tersedia di kiri dan kanan jalan. Di beberapa titik jalur itu hanya ada pada salah satu sisi badan jalan. Artinya, jalur sepeda tersebut digunakan untuk dua arah. Tetapi jalur seperti ini tidak banyak.
“Local Legend”
Untuk hari itu, laju bersepeda saya agak lebih cepat. Perjalanan ini kian menarik lagi, sebab saya melewati cukup banyak wilayah pedesaan yang indah dan bersih. Permukiman tertata rapi. Hal ini membuat gairah gowes saya pun meninggi. Semangat terus menggelora.
Desa yang saya lewati antara lain Delmenhorst, Ganderkesee, Kirchatten, Sandatten, Huntlosen, Nikolausdoorf, Garrel, Mittelksen Thule, Werite dan lainnya.
Di beberapa segmen, saya mendapatkan local legend dalam strava. Misalnya, pada segmen Vrees-2-Werite yakni jarak 5,29 kilometer, saya berada di urutan kedua, khusus untuk kategori usia 55-64 tahun dengan kecepatan 34,8 kilometer per jam. Pada segmen yang sama untuk kategori semua usia mulai dari belasan tahun, maka saya berada pada urutan ke-27.
Jika melihat dari klub sepeda yang saya ikuti dalam strava, maka hanya satu klub yang anggotanya pernah melewati jalur ini yakni Maap Cycling Club (Maap.cc) dengan 8 orang anggotanya. Saya juga menjadi anggkota klub tersebut, dan berada pada urutan teratas. Luar biasa!
Sedangkan klub lainnya yakni PCA atau Portugal Cycling Alliance, Paris Bike Festival, kemudian Laltra Cyclistica dan klub saya di Jakarta Lollipop Cycling Club (LCC) belum pernah melewati rute itu.
Sampai dengan 27 Januari hanya satu klub yang pernah melewati rute tersebut yakni Mapp.cc. Hal ini terasa janggal, sebab rute ini berada di Eropa. Apalagi jalur dari Bremen ini juga tergolong menarik.
Local legend ini sebetulnya juga saya dapatkan dalam rute-rute sebelumnya. Akan tetapi, saya tidak terlalu serius memperhatikan sehingga selalu terabaikan dalam membuat catatan perjalanan.
Gowes ini berakhir di Sogel. Saat itu sudah menjelang petang. Total jarak tempuh mencapai 104,17 kilometer dengan elevation gain hanya 337 meter atau mendatar.
Sogel berada tidak jauh dari garis perbatasan Jerman dan Belanda. Di Eropa tidak ada lagi border. Yang ada hanya semacam patok penanda perbatasan negara.
Kunjungi Giethoorn
Dari Sogel, saya loading menuju garis perbatasan. Di sana, saya menyempatkan diri melakukan ritual perbatasan, yakni mendengarkan lagu kebangsaan Jerman, dilanjutkan dengan menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Saat itu sudah pukul 18.00.
Selepas itu, saya melakukan pengambilan foto suasana di perbatasan. Kalau di google ada pencatatan perbatasan kedua negara tersebut. Saya sempat memberikan ulasan dan melengkapi dengan sejumlah foto yang menandakan bahwa saya pernah berada pada titik itu, yakni Dreilandereck: Groningen-Drenthe Nierdersachsen.
Dari sana, saya melanjutkan perjalanan menuju ke Kota Emmen di Belanda. Kota ini pun letaknya tidak jauh dari perbatasan. Emmen masuk Provinsi Groningen, terletak paling utara Belanda. Malam itu saya menginap di kota tersebut.
Keesokan harinya saya beristirahat di Emmen. Kesempatan ini saya gunakan untuk mencuci pakaian, dan bersama kru melakukan edit foto serta video. Sepanjang hari, kami nyaris tidak kemana-mana.

Bersepeda di wilayah Belanda. Panoramanya sungguh indah. Foto: Arsip Royke Lumowa
Pada Senin, 29 Januari 2024, saya melanjutkan bersepeda dari Emmen menuju ke Giethoorn. Hari itu, suhu udara cukup dingin, sebab mencapai minus 1 derajat celcius. Saya memulai perjalanan pada pukul 08.00.
Perjalanan menuju Giethoorn sesungguhnya atas saran seorang teman yakni tante Sunarti. Beliau berpesan bahwa saat berada di Belanda wajib mengunjungi kota tersebut. Giethoorn adalah desa wisata yang sangat populer di Belanda dan selalu diburu wisatawan.
Desa ini terletak di tepi Danau Bovenwijde. Di masa lalu, transportasi dari rumah ke rumah menggunakan sampan melintasi sungai dan kanal-kanal yang bermuara ke danau tersebut. Kebiasaan itu tetap terpelihara hingga saat ini demi kepentingan pariwisata.
Meski pagi itu suhu udara di Emmen minus satu derajat celcius, tetapi saya tidak mengenakan jaket tebal yang khusus di daerah dingin. Saya hanya memakai beberapa lapis pakaian untuk mencegah suhu dingin menembus badan.
Jalur sepeda yang bagus
Pada hari itu, saya mulai merasakan betapa bersahabatnya Belanda terhadap pesepeda. Fasilitas jalan begitu lengkap dan sangat berkeselamatan. Jalan yang ada sama sekali tidak berlobang, benar-benar mulus dan bersih.
Bukti keberpihakan itu tampak juga dari infrastukturnya yang bagus. Marka jalan yang lengkap, rambu-rambu dan fasilitas parkir sepeda yang lengkap selalu tersedia di terminal, halte, pertokoan dan tempat umum lainnya.
Di pedesaan, saya berjumpa dengan banyak penduduk lokal menggunakan sepeda sebagai transportasi ke tempat kerja dan sekolah. Mereka mengayuh dengan tertib dan selalu berada dalam jalur sepeda.
Jumlah pengguna sepeda jauh lebih banyak dari pengendara motor. Hal ini bertolak belakang dengan kenyataan yang ada di Indonesia.
Setiap kali mau berpindah lajur selalu memberi tanda dengan tangan. Jika hendak belok ke kanan maka tangan kanan memberikan petunjuk. Begitu pula saat hendak belok ke kiri. Pada setiap sepeda selalu terpasang lampu depan dan belakang. Lampu-lampu itu wajib dinyalahkan siang dan malam. Istilahnya light on.
Kedisiplinan dalam berlalu lintas adalah cerminan suatu bangsa. Itu terlihat di jalan raya. Disiplin dan keteraturan yang saya jumpai di Belanda adalah memberi kesempatan kepada pengendara lain di setiap persimpanan yang tanpa lampu lalu lintas.
Pertama, pengaturan dengan marka segitiga sama kaki atau piramida. Jika piramida dimana runcingnya mengarah ke kita, itu berarti kita wajib berhenti sekaligus memberi kesempatan kepada pengendara lain untuk melaju.
Kedua, ketertiban di lampu merah. Saya melihat tidak ada satu orang pun melakukan penyerobotan di lampu merah baik pengendara, pesepeda maupun pejalan kaki.

Mengayuh sepeda di wilayah Amsterdam, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa
Ketiga, melawan arus. Di Belanda dan negara Eropa lainnya sama sekali tidak tampak pengendara yang melawan arus.
Keempat, salah parkir. Kasus ini juga hampir tidak terlihat di Eropa. Kelima, kecepatan tinggi, jalan ziq-zaq atau ugal-ugalan sama sekali tidak terjadi. Kasus penyerobotan di lampu merah, melawan arus dalam berkendara, salah parkir, dan zig-zaq paling banyak terjadi di India, Nepal dan Indonesia.
Desa tanpa jalan raya
Apabila kita ingin meningkatkan keteraturan berlalu lintas, maka perlu menanamkan nilai-nilai mnengahargai orang lain, memberikan hak orang lain sesuai porsinya, kesopanan. Menegakkan keadilan, memberikan apresiasi dan penghargaan (reward) serta sanksi atas pelanggaran (punishment).
Perjalanan menuju Giethoorn tidak mudah mendapatkan restoran. Maklum, jalur ini masih tergolong pedesaan sehingga didominasi ladang pertanian yang luas tanpa tersedia tempat makan.
Akhirnya pada pukul 13.00, kami harus berhenti sejenak di tepi jalan untuk makan makanan kecil seperti roti, biskuit dan lainnya sekedar ganjal perut. Pukul 14.00 kami tiba di Giethoorn. Total jarak mencapai 80,80 kilometer dengan elevation gain 124 meter.
Desa ini memang sungguh indah. Di sana, sama sekali tidak ada jalan raya. Yang ada hanyalah kanal-kanal yang mengelilingi rumah-rumah penduduk. Setiap rumah umumnya memiliki halaman dengan taman yang tertata apik dan indah.
Rumput menghijau dengan aneka bunga berwarna warni menghiasai rumah-rumah di Giethoorn. Menariknya lagi, mayoritas rumah setempat beratap jerami yang dibangun pada abad 18 dan 19.
Keindahan Giethoorn tersohor hingga ke luar Belanda. Wisatawan memberikan banyak julukan kepada desa ini karena keindahan dan keunikannya. Julukan yang banyak disematkan adalah Venice of the Netherlands and Dutch Venice atau Venesia dari Belanda.
Alasannya, kanal-kanal yang mengelilimgi desa Giethoorn serupa dengan kanal-kanal di Venesia, Italia. Selain itu, Giethoorn juga mendapatkan 12 julukan lainnya antara lain Little Venice, Venice of North, Desa Kanal, Desa tanpa mobil, desa tanpa jalan raya. “Giethoorn memiliki banyak nama panggilan,” tulis informasi dalam laman Giethoorn Village.
Hari itu tidak banyak wisatawan yang mengunjungi Giethoorn. Hanya ada beberapa wisatawan individu, dan satu group wisatawan dari Taiwan berjumlah 15 orang serta kami tiga orang dari Indonesia. Kami sempat menyewa satu perahu untuk mengelilingi desa ini melewati kanal-kanal yang indah, bersih dan tertata rapi.
Jalur kincir angin
Mungkin saat itu bukan musim liburan, melainkan musim dingin sehingga banyak wisatawan memilih tidak melakukan perjalanan. Padahal, menurut saya, perjalanan ke Eropa pada musim dingin juga menarik. Menyaksikan dan merasakan salju.
Tarif hotel dan lainnya pun jauh lebih murah dibanding saat musim panas. Terpenting menggunakan mantel dan jaket khusus musim dingin, maka kita dapat menikmati suasana Eropa yang berkualitas dan tidak terlalu menyiksa.
Dari Giethoorn, saya loading menuju ke Kota Zwolle yang letaknya tidak begitu jauh dari desa indah tersebut. Tiba di Zwolle menjelang petang, dan malam itu menginap di kota ini.

Kincir angin tampak di banyak tempat di Belanda. Di wilayah ini memiliki angin dengan kecepatan lumayan tinggi. Foto: Arsip Royke Lumowa
Esok harinya, Selasa, 30 Januari 2024, saya mengayuh sepeda dari Zwolle menuju ke Amsterdam. Suhu udara semakin bersahabat yakni 5 derajat celcius. Pukul 08.53, saya pun memulai gowes.
Di rute ini saya melewati banyak kawasan kincir angin. Artinya saya melewati wilayah yang memiliki kecepatan angin yang tinggi. Kadang saya melawan angin, sebab bertiup dari depan. Tetapi, kadangkala saya pun didorong angin dari belakang.
Menarik lagi, di kiri dan kanan jalan tumbuh banyak pohon berbaris rapi. Pemerintah Belanda sengaja menanam pohon-pohon itu guna membantu pengguna jalan melewati jalur ini dengan nyaman tanpa terhalang hantaman angin kencang.
Jalan yang saya lewati ini juga sangat kaya dengan marka dan rambu jalan sehingga menambah tingkat keselamatan bagi pemakai jalan. Di setiap tempat penyeberangan selalu dilengkapi dengan tombol untuk cepat menjadi hijau sehingga pejalan kaki atau pesepeda tidak menunggu terlalu lama di trafick light.
Kekurangan dari rute ini adalah terbatasnya ketersediaan restoran atau warung. Hal ini menjadi persoalan serius bagi pesepeda jarak jauh untuk mendapatkan makan yang ideal di tengah perjalanan. Di negara-negara maju seperti China dan Eropa, restoran hanya beroperasi di tempat tertentu yang telah mendapat izin dari pemerintah setempat.
Masuk Amsterdam
Memasuki kota Amsterdam semakin lengkap pula fasilitas untuk pesepeda. Banyak fasilitas seperti taman kota yang besar dan luas jauh dari hiruk pikuk kendaraan bermotor yang hanya terhubung dengan jalur sepeda.

Masuk wilayah Amsterdam, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa
Terdapat pula jembatan khusus sepeda dan pejalan kaki yang menyeberangi sungai. Taman dan pepohonan bersih dan terawat. Sungai dan danau pun bening tanpa sedikit pun limbah. Aliran air berlangsung lancar tanpa terhalang sampah dan lainnya.
Sekitar pukul 17.30, saya pun tiba di pusat kota Amsterdam. Jarak perjalanan saya hari itu mencapai 105,26 kilometer dengan total ketinggian hanya 105 meter. Kontur jalan mendatar dan nyaris tanpa tanjakan.
Hingga di Amsterdam, saya ingin mengatakan, penataan infrastruktur jalan, termasuk sistem pengaturan perambuan, marka jalan, jalur sepeda, penataan desa atau kota kecil di Belanda sungguh menarik. Penataan ini jauh lebih baik dari Jerman, Denmark, Norwegia dan Swedia.
editor: JANNES EUDES WAWA
Catatan Royke Lumowa (41): Angin Kencang Sempat Hadang Saya di Jerman Utara
Cyling
Tour d’ Entete: Flobamora Menggebrak Dunia

Oleh JANNES EUDES WAWA
Tidak seorang pun di Indonesia yang meragukan tentang keindahan panorama alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keunggulan wilayah ini tidak semata-mata biawak raksasa Komodo, danau tiga warna Kelimutu atau Pulau Padar yang menawan. Masih banyak obyek lain baik alam maupun keunikan tradisi masyarakat yang selalu menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namun menjual potensi alam perlu dengan kerja kreatif dan inovatif.
Selama 15 tahun terakhir, pariwisata di Nusa Tenggara Timur berkembang pesat. Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2010, misalnya, hanya 148.673 orang, tetapi pada, tahun 2024 mencapai 1,5 juta orang atau meningkat sekitar 900 persen.

Seekor Komodo sedang menguap di Pulau Komodo. Foto: Arsip Jelajah Sport
Kenaikan kunjungan yang sangat signifikan terjadi setelah Yayasan New7Wonders menyatakan Pulau Komodo dan Taman Nasional Komodo di Flores menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru pada tahun 2012. Keputusan tersebut melalui pemilihan (voting) dan klarifikasi yang melibatkan jutaan pemilih dari seluruh dunia.
Sejak itu, mata dan hati warga dunia langsung tertuju ke Komodo. Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah terobosan untuk membenahi Labuan Bajo sebagai pintu masuk Komodo baik infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan raya, penataan kota, pembangunan landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Komodo, pembenahan pelabuhan maupun kebijakan lain yang mendorong investasi swasta.
Bahkan, pemerintah pusat juga menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya kota di luar Bali dan Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara ke-42 tahun 2023. Kegiatan itu memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan ekonomi di Labuan Bajo pada khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Bahkan, adanya ASEAN Summit telah menguatkan posisi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Hasilnya bukan semata-mata meningkatkan kunjungan wisatawan, melainkan juga maraknya investasi yang cukup signifikan di Labuan Bajo. Investasi yang paling nyata adalah hadir hotel-hotel berbintang tiga, bintang empat, bahkan bintang lima di wilayah Flores barat tersebut. Penyediaan kapal phinisi untuk melayani wisatawan juga kian banyak.
Kerja Kreatif dan Langkah Inovatif
Gubernur Nusa Tenggara Timur Melkiades Laka Lena tidak mau terlena dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan itu. Bagi dia, potensi yang dimiliki NTT saat ini seharusnya mampu menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Namun demikian, keinginan tersebut membutuhkan kerja kreatif dan langkah-langkah inovatif.

Labuan Bajo di Manggarai Barat, Flores, menjelang senja. Panoramanya sangat menawan. Foto: Jannes Eudes Wawa
NTT tidak semata-mata Labuan Bajo. Masih banyak potensi tersebar di Flores, Sumba, Timor serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua (Flobamora) yang memiliki potensi yang nyaris tidak sama antara satu daerah dengan lainnya.
Ada tradisi masyarakat, bahasa, rumah adat dan sistem sosial yang berbeda. Belum lagi potensi alam pantai, pesona dasar laut, pegunungan dan hamparan sabana. Semua itu dapat menjadi kekuatan yang saling menopang dan saling melengkapi. Jika itu terjadi, maka akan sangat potensial dalam menjaring wisatawan mengunjungi NTT dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi.
Bagi Gubernur NTT, pariwisata tidak semata-mata menjual panorama alam, kekayaan budaya dan lain sejenisnya. Pariwisata sesungguhnya dapat berkembang melalui banyak aktivitas sebagai wadah untuk memasarkan dan mempromosikan antara lain even olahraga, festival dan lainnya sekaligus menjaring wisatawan. Wisata olahraga atau sport tourism adalah pilihan yang ideal. Kolaborasi antarsektor inilah yang perlu diberdayakan dan dihidupkan di NTT.

Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai. Letaknya di lambah pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jelang petang suhu dingin. Wisatawan asing paling banyak mengunjungi kampung ini. Foto: Jannes Eudes Wawa
Di tingkat dunia, banyak ajang olahraga yang terbukti memacu perkembangan sektor pariwisata. Penyelenggaraan even olahraga berskala internasional yang melibatkan banyak negara selalu menciptakan kehebohan sekaligus menyedot perhatian warga dunia. Secara bertahap aktivitas itu akan menarik wisatawan.
Potensi Wisata Tersebar Merata
Itu sebabnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menggagas penyelenggaraan even balap sepeda internasional di Nusa Tenggara Timur yang melewati tiga pulau besar sekaligus yakni Timor, Sumba dan Flores. Kegiatan bernama Tour de Entete ini berlangsung pada 10-21 September 2025, memulai dari Kota Kupang dan finis di Labuan Bajo. Momentum tersebut menjadi menjadi etalase megah bagi promosi pariwisata NTT. Jelajah Sport mendapatkan kepercayaan untuk menangani event ini.
Balap sepeda jalan raya bertaraf internasional selama 10 hari ini akan melintasi berbagai destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tour d’ Entete memadukan olahraga dan pariwisata (sport tourism), dengan harapan menarik partisipasi pembalap dari dalam dan luar negeri.

Bukit Tanarara di Sumba Timur. Indah dan menawan. Foto: Arsip Tour d’ Entete
Melalui rute spektakuler yang membentang dari Kota Kupang hingga Labuan Bajo, Tour d’ Entete akan menghadirkan narasi baru bahwa setiap jengkal tanah di NTT memiliki cerita, setiap tanjakan dan turunan adalah cerminan dari kekayaan geografis serta karakter masyarakatnya yang tangguh dan ramah. “Ini momentum emas untuk memperlihatkan bahwa potensi pariwisata di NTT tersebar merata di semua wilayah, tidak terpusat di satu kawasan semata,” kata Melkiandes Laka Lena.
Sport tourism selalu menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan suatu daerah, memperkenalkan daya tari wisata dan menarik wisatawan. Aktivitasnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor pariwisata, perhotelan, kuliner dan transportasi. Sport tourism juga menjadi ajang memperkenalkan budaya dan kearifan local kepada wisatawan.
1.537 Destinasi Wisata
Data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan hingga tahun 2024 terdapat 1.537 destinasi wisata di NTT yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Destinasi itu terbagi dalam tiga bagian yakni wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.
Dengan Tour d’ Entete, pemerintah setempat ingin menggabungkan keindahan alam dan kekayaan budaya NTT dengan semangat olahraga. Balap sepeda bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga menyuguhkan kegembiraan, memamerkan keindahan alam, atraksi visual, dan interaksi langsung dengan masyarakat. “Ini adalah cara kami merayakan NTT sambil memperkenalkannya ke panggung dunia,” jelas tambah Gubernur Melki Laka Lena.

Pantai Koka di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Pantai berpasir putih berbentuk hati. Potensi ini belum tergarap. Foto: Arsip Tour d’ Entete
Tour d’ Entete juga menjadi momentum strategis Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di NTT. Dengan rute yang melintasi berbagai wilayah, maka membutuhkan akses yang baik dan aman, maka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Infrastruktur berkualitas akan membuka peluang bagi sektor pariwisata berkembang pesat. Inilah salah satu manfaat yang bakal dinikmati masyarakat.
Jangan Lewatkan!!
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.
Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.
Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike
“Rolling” Lagi
Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.
Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike
Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.
Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram
Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.
Touring kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.
Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.
Kecerdikan Sultan
Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.
Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike
Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.
Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.
“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike
Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.
Menuju Yogyakarta
Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike
Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.
Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu, Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.
Naik dan Turun
Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.
Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.
Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.
“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.
Padi Menguning
Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike
Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.
Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.
I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.
“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.
Candi Gedong Songo
Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.
Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa. Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa
Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.
Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840 dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.
Tujuan Wisata
Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.
Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike
Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.
“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.
Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.
Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.
Terapit Dua Gunung
Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.
Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.
Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.
Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)
Tulisan Sebelumnya:
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya
Pingback: Catatan Royke Lumowa (43): Pulau di Indonesia Jadi Nama Jalan di Amsterdam - blalak.com