Perjalanan
Catatan Royke Lumowa (10): Gairah Berlipat Ganda Bersepeda di China

Catatan ROYKE LUMOWA (10)
Selasa, 22 Agustus 2023 pukul 09.40, saya resmi memasuki wilayah China melalui pintu lintas batas (border) di Boten, utara Laos menuju wilayah Mohan, Yunnan, China. Urusan pada imigrasi serta bea dan cukai setempat pun berlangsung lancar. Hal ini sungguh membahagiakan, sebab prosedur untuk masuk wilayah China tergolong rumit bagi saya yang membawa serta mobil pengiring dari Jakarta.
Berdasarkan catatan pada garmin saya, saat memasuki wilayah China, total jarak yang saya lalui sejak dari Monumen Nasional (Monas) Jakarta pada 8 Juli 2023 telah sejauh 3.469 kilometer. Ternyata selama 46 hari ini saya mengayuh sepeda sudah cukup jauh.

Bersama petugas kepoilisian di border Mohan, Yunnan. Foto: Dokumentasi Royke Lumowa
Saat mengurus visa dan izin perlintasan mobil, pihak China langsung meminta jadwal masuk ke negeri tersebut. Kami mengusulkan tanggal 22 Agustus 2023. Mereka pun menyetujuinya. Itu sebabnya, saya dan kru pun menyesuaikan dengan jadwal tersebut.
Begitu tiba di border Mohan pukul 09.00, saya langsung berjumpa dengan Lin alias Joey, tour guide dari Navo, agen perjalanan di China. Sejak beberapa bulan lalu, kami sudah menjalin komunikasi dengan pihak Navo setelah mengetahui bahwa pemerintah China mewajibkan adanya registrasi bagi kendaraan bermotor dari luar negaranya, serta surat izin mengemudi sementara bagi pengemudi selama berada di China.
Demi kelancaran perjalanan, kami memutuskan menyewa jasa Navo. Tugasnya antara lain mengurus registrasi mobil. Setelah registrasi, pihak berwenang di China mengeluarkan nomor plat sementara bagi mobil pengiring. Bahkan, Navo juga membantu mengurus SIM sementara bagi om Yayak M Saat selaku pengemudi.
Tugas lain adalah memberikan informasi perjalanan baik rute, penginapan, makanan, tempat-tempat yang penting dan menarik di China. Termasuk juga membantu pengurusan administrasi di border masuk dan keluar China.
Atas bantuan agen perjalanan itulah urusan kami memasuki wilayah China berjalan lancar. Begitu pula saat mengurus nomor mobil dan SIM sementara di Mohan. Tidak bertele-tele. Hal ini sangat melegakan, sebab sebelumnya banyak cerita yang kurang menyenangkan bagi warga asing yang membawa mobil dari negara asalnya saat masuk di China.

Bersuka cita bersama anak-anak di China selatan. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Pelayanan yang bagus ini juga membuat saya seolah mendapat suntikan “vitamin” yang melipatgandakan semangat dan gairah untuk melakukan petualangan dari atas sadel sepeda di “negeri tirai bambu” ini. Sungguh bahagia!
Sebelum memasuki wilayah China, saya dan kru sempat menepi, mencari lokasi yang aman untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya dan lagu kebangsaan Laos yang kami peroleh melalui youtube. Ritual ini wajib kami lakukan setiap kali hendak memasuki wilayah negara baru. Kami menyanyikan lagu Indonesia Raya, disusul lagu kebangsaan dari negara yang segera ditinggalkan.
China menjadi negara keenam dari 47 negara yang akan saya lewati dalam mengayuh sepeda dari Jakarta hingga Paris, Perancis. Waktu di China sama dengan waktu Indonesia bagian tengah, atau lebih cepat satu jam dari waktu di Jakarta.
Wajah berbeda
Yang menarik saat berada di perbatasan Laos dan China, saya menyaksikan betapa dua negara ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Di wilayah Laos, sejak kurang lebih 50 kilometer menjelang border, kondisi jalan cukup jelek. Setiap 300-500 meter, kami selalu menghadapi jalan rusak, berlubang dan berdebu. Jika terjadi hujan, jalan itu pun becek. Pesepeda harus ekstra hati-hati, sebab seringkali melintas bersama truk-truk besar.
Kondisinya kumuh dan semrawut. Padahal, jalur ini menjadi lintasan utama bagi semua kendaraan dari Laos menuju China, atau sebaliknya. Kendaraan yang terbanyak adalah truk besar pengangkut komoditas.
Akan tetapi, begitu berada di wilayah China, keadaan berbanding terbalik. Jalan yang banyak beraspal mulus dan rapi. Di border, tersedia tempat parkir kendaraan yang luas. Suasana dan auranya sangat menyenangkan.
Yang tidak nyaman selama di border Mohan adalah kamar kecil (toilet) yang sangat minim. Saya mencari ke sejumlah tempat, termasuk kantor imigrasi, serta bea dan cukai tapi tidak menemukan. Seorang teman sempat melihat ada kamar kecil, tetapi kondisinya sangat jorok.
Setelah semua urusan di border tuntas, kami menyempatkan diri untuk makan siang pada sebuah warung yang letaknya tidak jauh dari border Mohan. Setelah itu, saya melanjutkan bersepeda menuju ke kota Meng La, sekitar 60 kilometer dari Mohan. Kondisi jalannya mulus, tetapi di beberapa titik masih berserakan sampah plastik.

Mengayuh sepeda menuju perbatasan Laos-China. Melewati jalan yang rusak dan berdebu di antara lalu lintas kendaraan besar. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Malam itu, kami menginap di Meng La. Kota ini tergolong kecil, tetapi bersih, apik dan tertata bagus. Penginapan kami bersih, bagus dan luas dengan harga sangat terjangkau: Harga kamar setara Rp 200.000 per malam.
Kabarnya, belakangan China sangat giat membangun kota-kota baru di setiap wilayah dengan infrastruktur yang memadai. Kota-kota itu tertata rapi. Konsepnya pun lebih moderen. Itu sebabnya, selalu ada perubahan wajah di setiap wilayah sebagai dampak dari hadirnya kota-kota baru tersebut. Meng Le termasuk salah satu kota baru berkembang dalam beberapa tahun terakhir.
Lewati pegunungan
Rabu, 23 Agustus 2023, saya melanjutkan bersepeda ke kota Jinghong sejauh 162 kilometer. Mengingat jarak yang cukup jauh, saya memutuskan mengayuh sepeda mulai pukul 06.30. Meski demikian, hari masih gelap. Di China, saat ini hari terang baru terjadi menjelang pukul 07.00.
Malam sebelumnya Kota Meng La diguyur hujan sangat deras dalam waktu relatif lama sehingga pagi itu udara terasa segar dan adem. Rute dari Meng La menuju Jinghong, saya melewati jalan yang beraspal mulus dan bersih. Jalan arteri nasional selalu bersebelahan dengan jalan tol. Kami juga sempat melewati dua jembatan dan dua terowongan yang bersambungan dengan total panjang sekitar 3 kilometer.
Dalam rute ini juga, saya melewati empat gunung sebelum masuk finish dimana ada sejumlah tanjakan yang kemudian turunan panjang. Gunung pertama, puncaknya berada pada ketinggian 1.120 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dua gunung berikutnya juga memiliki ketinggian rata-rata 1.300 mpdl. Gunung yang keempat agak pendek, dengan ketinggian tidak lebih dari 1.000 mdpl. Perjalanan tiap gunung berkisar 10-15 kilometer. Tetapi kemiringannya tidak lebih dari 11 derajat.
Tidak ada jalan tanjakan di China yang kemiringannya melebihi 11 derajat. Konsep seperti ini juga berlaku di Eropa. Inilah model jalan tanjakan yang berkeselamatan. Kondisi ini berbeda dengan di Indonesia yang mana di wilayah tertentu kemiringan jalan berkisar 20-26 derajat.

Peta China
Setelah itu, melewati jalan turunan yang cukup panjang, serta beberapa tanjakan dan turunan (rolling) pendek. Lokasi di finish berada pada ketinggian 630 mdpl. Total ketinggian mencapai 1.980 meter.
Tampak pula hamparan persawahan yang cukup luas. Tanaman padinya cukup tinggi: mendekati 1,5 meter, tegak berdiri dan sangat subur.
Sekitar 30 kilometer menjelang masuk kota Jinghong sempat terjadi hujan lebat. Kami masuk finis pukul 19.30, tetapi hari masih sangat terang. Jinghong merupakan kota wisata. Indah sekali. Kota baru juga, mirip Singapura. Kehidupan berlangsung hingga larut malam. Jalan bagus sama sekali tidak berlubang.
Kami juga mencoba kuliner setempat. Uniknya, restoran di China bagian selatan, saat memesan makanan, para pengunjung yang langsung memilih makanan mentah. Setelah itu baru pengelola restoran memasak dan menyajikan kepada para pemesan.
Kebiasaan ini sama dengan yang terjadi di Laos bagian utara. Mungkin karena sama-sama berada di perbatasan sehingga sejumlah tradisi masyarakat setempat cenderung sama atau mirip sekalipun berbeda negara.
Perjalanan saya menuju wilayah tengah China ternyata merupakan masuk area pegunungan. Itu sebabnya pada Kamis, 24 Agustus 2023, rute Jinghong ke Puer sejauh 145 kilometer juga melewati sejumlah bukit dan gunung. Bayangkan, total ketinggian mencapai 2.110 meter.
Saya mengayuh sepeda mulai dari ketinggian 630 meter. Dua kali melewati gunung dengan jarak rata-rata setiap gunung kurang lebih 20 kilometer. Menanjak, lalu menurun, kemudian menanjak lagi, dan turunan, menyusul tanjakan panjang.
Bahkan, jelang finis pun masih melewati jalan menanjak. Sungguh berat sekali. Saya tiba sekitar pukul 18.30, tetapi suasana masih terang benderang. Hari gelap umumnya mulai pukul 20.00.

Jalan arteri nasional di China umumnya beraspal mulus dan lebar. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Kota Puer berada pada ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Indah sekali kota ini. Udaranya bersih, sejuk dan dingin.
Keesokan harinya dari Puer menuju kota Meizi juga lagi-lagi melewati tiga gunung juga. Satu gunung agak tinggi, sedangkan dua gunung lainnya relatif pendek dengan total ketinggian mencapai 1.572 meter. Kota Meizi berada pada ketinggian 1.050 mdpl.
Dalam jarak sejauh 118 kilometer itu, saya melewati jalan raya arteri yang mulus dan lebar. Empat kendaraan sekaligus yang searah mampu melalui tiap jalur. Meski demikian, yang belum tersedia jalur khusus sepeda. Ini tidak hanya terjadi pada rute ini, melainkan hampir di semua tempat, terutama yang saya lewati. Andaikata, pemerintah China menyediakan jalur khusus sepeda, maka akan membuat perjalanan di negeri tersebut menjadi lebih menarik lagi.
Meski melewati beberapa gunung dan bukit, tetapi kemiringan tidak lebih dari 11 derajat. Hal ini dilakukan demi mencegah kecelakaan lalu lintas. Apabila kemiringan jalan terlalu tinggi, maka berpotensi menimbulkan ganggungan mesin kendaraan yang memicu terjadinya kecelakaan.
Ini yang berbeda dengan di Indonesia. Masih banyak titik yang memiliki kemiringan badan jalan hingga mencapai 26 derajat. Truk-truk besar yang mengangkut barang berat sering mengalami kecelakaan yang menelan korban jiwa, tetapi justru hanya para pengemudi yang menjadi pihak yang bersalah.
Keramahan warga
Jarak dari Huasai di Laos selatan hingga di Boten hanya 221 kilometer. Itu sebabnya, saya membagi dalam dua etape perjalanan. Hari pertama rute Huasai hingga Viengphoukha sejauh 121 kilometer, dan hari kedua rute Viengphoukha-Boton 102 kilometer.
Saya berada di Boten sejak Minggu, 20 Agustus 2023 sore. Saya memilih tiba lebih cepat sehari dari jadwal masuk ke China. Pertimbangan utama untuk bisa istirahat sekaligus menjelajahi dan mengenal lebih jauh wilayah Boten sebagai gerbang Laos dan China.
Boten bagian dari Provinsi Luang Namtha. Ibukota provinsi juga bernama Luang Namtha. Sama seperti di Indonesia, Provinsi Bengkulu ibukotanya Bengkulu atau Provinsi Jambi ibukotanya Jambi. Kota Luang Namtha berada di antara Boten dan Viengphoukha. Kedua kota kecil ini sama-sama setingkat distrik.

Sejumlah anak di Laos sangat bersahaja. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Saya mengayuh sepeda dari Viengphoukha menuju Boten. Gowes dimulai pukul 06.30, sebab perjalanan menuju utara Laos umumnya melewati pegunungan dan bukit. Kota Viengphoukha berada pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut (mdpl) dengan udara yang sejuk dan dingin. Malam hari, airnya terasa cukup dingin.
Hari itu masih menghadapi beberapa kali tanjakan dan turunan yang lumayan berat dan variasi. Bahkan, ada satu titik yang mana jalan tanjakannya sejauh tiga kilometer tanpa henti. Kondisi seperti ini hingga di kilometer 30.
Selepas itu, perjalanan mulai menurun, diselingi jalan mendatar, serta tanjakan halus hingga finis. Posisi kota Boten pada ketinggian sekitar 900 mdpl. Sepanjang jalan disuguhi pemandangan hutan, persawahan dan perkebunan karet yang luas. Siang itu udara pun agak mendung sehingga tidak terlalu menguras tenaga.
Persis di kiri dan kanan jalan juga terdapat cukup banyak permukiman penduduk. Hal ini berbeda dengan di Thailand. Di negeri “gajah putih” itu, di jalan arteri utama nyaris tidak ada permukiman. Yang ada hanya restoran, café atau perkantoran.
Rumah-rumah warga cenderung berada pada jarak 1.000 meter dari jalan arteri utama. Pemandangan di Laos sama seperti di Indonesia, yakni perkampungan cenderung mendekat atau berada di tepi jalan raya utama.
Sepanjang perjalanan, saya juga melihat dari dekat kondisi gedung sekolah di Laos yang cukup memprihatinkan. Ada yang sudah rusak dan reot. Kondisi ini juga mirip seperti yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Namun hal ini sama sekali tidak saya saksikan di Malaysia dan Thailand.
Masyarakat Laos tergolong ramah. Sepanjang jalan, baik orang dewasa maupun anak-anak selalu aktif menyapa saya. Mereka sepertinya senang sekali melihat ada orang yang mengayuh sepeda melewati daerahnya. Anak-anak selalu menyapa saya dengan menyebut: bye bye bye.
Saya pun selalu membalas sapaan mereka dengan menyebut sabaidi, terutama kepada orang dewasa. Kata sabaidi mirip seperti menyebut horas saat di Sumatera Utara. Kadang saya yang lebih dahulu menyapa. Tetapi adakalanya mereka yang aktif. Saya senang sekali dengan kesahajaan mereka.
Saya teringat saat bersepeda di beberapa wilayah di Indonesia juga mengalami hal serupa. Anak-anak setempat selalu menyapa para pesepeda yang mengayuh sepeda dengan sebutkan: halo mister, halo mister. Sapaan itu diucapkan, sebab cukup banyaknya wisatawan asing yang mengayuh sepeda melewati wilayahnya.
Sementara pada perjalanan menuju utara Laos tidak banyak dilewati pesepeda jarak jauh. Dari pemantauan saya di Komunitas Strava, jalur ini hanya dilewati sekitar 10 pesepeda dalam setahun terakhir. Artinya, masuk kategori sepi. Jadi, kalau anak-anak Laos menyapa para pesepeda dengan sebutan bye-bye menunjukkan keramahan. Kesahajaan.

Anak-anak di Laos selalu berusaha mendekat dan ingin menyapa. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Saat ini, pemerintah Laos juga sedang mengembangkan Boten dengan membangun kawasan ekonomi baru menyerupai Golden Triangle dengan skala yang lebih kecil. Sejumlah pabrik dan industri mulai dibangun di wilayah tersebut. Target pasarnya adalah China.
Yang menjadi kendala di utara Laos ini adalah kondisi infrastutkur yang masih minim. Kerusakan jalan terjadi di banyak titik, termasuk menuju border yang merupakan jalur utama antarnegara. Jalan berkualitas bagus hanya terdapat di dalam kawasan border Boten yang menjadi kawasan ekonomi baru.
Lebih parah lagi koneksi internet pun masih mengandalkan jaringan 3G. Akibatnya kecepatan pengiriman data maksimal hanya 2 megabyte per second (Mbps). Akibatnya, komunikasi pun kadang terhambat.
Upaya menghidupkan ekonomi di kawasan Boten juga tampak dari adanya kereta cepat melayani border Boten dengan Vientiene, ibukota Laos. Kecepatannya sekitar 350 kilometer per jam. Lama perjalanan sekitar 3 jam. Investornya juga dari China.
Semula kami ingin menjajalnya, tetapi setelah menghitung waktu perjalanan pergi pulang, maka kemungkinan takkan tepat waktu untuk pelaporan di border China di Mohan pada 22 Agustus 2023 pagi. Rencana itu pun dibatalkan. Sepintas model konstruksinya mirip dengan kereta cepat Jakarta-Bandung.
Di Boten, saya sempat berjumpa dengan sepasang suami-istri yang hendak keliling dunia menggunakan mobil. Sang suami asli China, sedangkan istri asal Malaysia. Mereka juga hendak masuk ke China, tetapi belum mengurus dokumen perjalanan untuk mobil.
Mereka sempat kebingungan karena belum mengurus dokumen apa pun untuk bisa membawa mobil masuk ke China. Padahal untuk dokumen kendaraan bermotor lebih baik diurus jauh hari. Melihat situasi itu, saya kemudian membagikan kontak Navo, agen yang membantu perjalanan kami di China kepada mereka.
Perjalanan ini bagi sang suami merupakan yang kedua kalinya. Kali pertama, katanya, dilakukan beberapa tahun lalu. Dia bermobil hingga di Amerika Serikat. Kali ini dia mengajak istrinya untuk berkelana bersama. Sungguh sebuah petualangan yang menarik dengan sejuta pengalaman yang berkesan.
Saya juga berjumpa dengan seorang guru asal Laos. Kami banyak bercerita soal dunia pendidikan dan lingkungan. Dia bercerita bahwa salah satu prinsip hidupnya yang dinilai sebagai salah upaya menjaga lingkungan adalah tentang makan. Setiap makanan yang telah dia siapkan wajib dimakan sampai habis. Makanan tidak boleh disisahkan, apalagi dibuang. Jadi, makanlah makanan sesuai kebutuhan, bukan karena keinginan.
Sehari sebelumnya, yakni Sabtu, 19 Agustus 2023 saya mengayuh sepeda dari Huasai menuju Viengphoukha. Rute ini merupakan yang terberat dalam perjalanan saya sejak dari Jakarta. Saya harus melewati empat gunung. Total ketinggian mencapai 2.113 meter.
Saya memulai gowes pada ketinggian 300 meter di atas permukaan laut (mdpl). Pada gunung pertama dan kedua menghadapi tanjakan masing-masing sejauh tiga kilometer.

Rute tanjakan yang cukup memberatkan di Laos. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Setelah itu melewati gunung ketiga dengan panjang tanjakan empat kilometer, dan gunung keempat jalan menanjak mencapai satu kilometer. Semua tanjakan itu tanpa henti. Puncak dari gunung keempat berada pada 1.040 mdpl.
Meski cukup melelahkan, tetapi perjalanan di rute ini cukup menyenangkan, sebab mendapat sambutan dari warga setempat, terutama saat memasuki wilayah Viengphokha. Mereka aktif menyapa saya. Yang anak-anak menyapa dengan menyebut: bye, bye.
Orang dewasa menyapa dengan sebutan: sabaidi. Saya kemudian membalas dengan mengucapkan Khob Chai artinya terima kasih. Tidak sedikit pula yang melambaikan tangan disertai senyum yang merekah. Cukup mengagetkan saya. Hal seperti ini tidak saya jumpai selama melewati wilayah Singapura, Malaysia dan Thailand.
Viengphoukha menyerupai kampung. Tidak banyak lampu di jalan. Mungkin tidak jauh berbeda dengan beberapa wilayah di luar Pulau Jawa dan Bali tahun 1990-an.
Padahal, daerah ini berada pada poros utama yang menghubungkan Laos dan China di sisi barat. Arus lalu lintas terutama truk-truk besar yang mengangkut komoditas menuju China sangat lancar. Setiap tiga menit selalu ada truk besar yang lewat menuju border Boten (Laos) dan Mohan (China).
Setelah melewati tanjakan panjang di empat gunung, ada warung di tepi jalan, saya pun beristirahat sejenak di kilometer 60. Sempat pula tertidur selama 15 menit di bangku. Semua ingin memesan makanan, tetapi akhirnya memutuskan membeli mie instan, lalu memasak menggunakan kompor gas portable yang terangkut dalam mobil pengiring. Enak dan lezat sekali.
Sekitar 10 kilometer menjelang tiba di kota Viengphoukha dihantam hujan yang cukup lebat. Mengingat jarak dengan penginapan semakin dekat sehingga saya tetap gowes dan tiba di finish sekitar pukul 17.15.
Kota kasino
Sebelum meninggalkan Hausai, pada Jumat, 18 Agustus 2023, saya mengunjungi lagi Golden Triangle. Kali ini ingin menjelajai kawasan ini. Ingin melihat lebih jauh perkembangan kota baru yang dikerubuti para investor dari China tersebut.
Pembangunan kota ini memang belum sepenuhnya selesai. Infrastruktur dasar antara lain jalan juga belum seluruhnya teraspal. Tetapi hotel berbintang, apartemen, restoran, kafe dan pertokoan terus menggeliat. Sedangkan gedung perkantoran nyaris tidak ada.
Yang paling menonjol adalah kasino yang beroperasi di banyak tempat. Kasino mungkin sebagai kekuatan yang ditawarkan kepada wisatawan. Kasino juga layaknya menjadi hiburan yang paling dicari para pelancong di kota yang berada persis di Sungai Mekong ini.
Siang itu, saya sempat mengayuh sepeda sejauh kurang lebih 25 kilometer sepanjang bentangan border tepi Sungai Mekong yang membatasi wilayah Laos dan Myanmar. Dari Laos, saya bisa melihat dengan jelas permukiman warga dan kondisi wilayah di Myanmar.
Setelah itu, kami kembali lagi ke Huasai. Kali ini kami menginap pada penginapan di tepi Sungai Mekong, namanya River Side. Hotelnya bersih dan apik. Saya memilih di lantai 4 agar bisa melihat dengan jelas wilayah Chiang Khong, Provinsi Chiang Rai, Thailand, yang hanya terpisahkan oleh aliran sungai tersebut.

Jalur kereta cepat yang menghubungkan Boten dan Vientiene, ibukota Laos. Foto: dokumentasi Royke Lumowa.
Kami juga mencoba menjajal kuliner yang ada di restoran tepi Sungai Mekong. Ada sup ikan Mekong. Ikan diolah mirip kua asam di Indonesia timur. Tetapi rasanya lebih enak.
Cuci pakaian
Yang biasanya cukup rumit dalam perjalanan jauh seperti ini adalah urusan mencuci pakaian. Kami sudah memikirkan persoalan ini sejak masa persiapan di Jakarta.
Kami membuat kebijakan bahwa pakaian kotor hanya boleh dicuci di setiap kota yang waktu istirahatnya lebih dari sehari. Kurun waktu yang lama memungkinkan pakaian yang dicuci, seperti celana dan baju bisa kering maksimal.
Sedangkan pakaian ukuran kecil, seperti sarung tangan dan kaos kaki bisa dicuci setiap sore setelah menyelesakan perjalanan. Makanya, jika tiba di finis, setelah beristirahat sejenak saya langsung mandi dan mencuci sarung tangan atau kaos kaki, lalu menjemurnya di tempat yang tepat. Esok paginya sudah mengering.
Khusus jersei yang basah akibat terkena hujan selama perjalanan, begitu tiba di finis, saya langsung jemur. Setelah kering akan dimasukan ke dalam kantong pakaian kotor, dan baru dicuci saat mendapatkan waktu istirahat panjang. Istirahat panjang biasanya setiap lima atau enam hari sekali.

Bertemu dengan seorang pesepeda di China yang juga gemar melakukan perjalanan jarak jauh. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Jadi, istirahat seperti ini tidak semata-mata untuk pemulihan fisik, tetapi juga untuk menyuci pakaian kotor. Selama ini istirahat panjang pernah dilakukan di Jambi, Batam, Kuala Lumpur, Pineng, Bangkok dan Huasai. Sejauh ini skenario yang kami rencanakan ini berjalan cukup efektif. Urusan mencuci pakaian pun tidak mengalami kendala yang serius.
Dari kota Meizi, saya pun bergerak ke tengah dan utara, kemudian nantinya ke arah barat, dan akan keluar menuju Nepal. Perjalanan menuju ke perbatasan China dan Nepal kemungkinan memakan waktu kurang lebih sebulan. (bersambung)
Editor: JANNES EUDES WAWA
Jangan Lewatkan!!
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.
Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.
Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike
“Rolling” Lagi
Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.
Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike
Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.
Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram
Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.
Touring kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.
Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.
Kecerdikan Sultan
Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.
Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike
Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.
Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.
“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike
Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.
Menuju Yogyakarta
Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike
Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.
Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu, Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.
Naik dan Turun
Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.
Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.
Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.
“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.
Padi Menguning
Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike
Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.
Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.
I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.
“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.
Candi Gedong Songo
Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.
Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa. Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa
Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.
Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840 dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.
Tujuan Wisata
Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.
Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike
Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.
“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.
Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.
Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.
Terapit Dua Gunung
Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.
Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.
Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.
Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Nama Jatiluhur sudah lama melegenda. Pemicu utama yakni adanya waduk terbesar di Indonesia yang memiliki kapasitas tampungan air sekitar 2,4 miliar meter kubik dengan genangan seluas 82 kilometer persegi. Di sana juga ada pembangkit listrik tenaga air yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 187,5 megawatt (MW). Popularitas Jatiluhur itu selalu memunculkan rasa penasaran setiap orang untuk mengunjungi dan menjelajahi wilayah ini.
Rasa penasaran tersebut akhirnya terbayar melalui event Susur Jatiluhur pada Sabtu, 22 Februari 2025. Jelajah Bike selaku penyelenggara menawarkan rute dengan jarak sejauh 34 kilometer atau hanya sebagian kecil dari keseluruhan waduk, namun melewati beberapa titik strategis bendungan, seperti pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Djuanda.

Pangi Syarwi atau Ipang bersama pesepeda lainnya berfoto di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur
“Saya sudah cukup lama penasaran dengan waduk Jatiluhur. Namanya melegenda. Sejak masih sekolah dasar (SD) di Sumatera Barat, waduk Jatiluhur selalu menjadi materi pembelajaran. Ketika berada di Jakarta, selalu terbesit keinginan mengunjungi Jatiluhur, tetapi selalu gagal. Event Susur Jatiluhur ini saya jadikan sebagai momentum yang ideal,” ujar Pangi Syarwi alias Ipang, pengamat politik yang gemar bersepeda jarak jauh.
Semula panitia ingin memilih rute yang dapat mengitari seluruh area waduk agar para pesepeda dapat merasakan sensasi dari kemegahan Jatiluhur. Melalui google maap tampak ada jalur jalan yang terhubung. Namun setelah didalami di lapangan ternyata jalan yang ada umumnya masih makadam, yakni jalan yang terbuat dari batu pecah atau kerikil yang dipadatkan.
Itu sebabnya mereka memilih rute pendek, yakni 55 kilometer, tetapi dapat melewati sejumlah titik yang menjadi kekuatan daya tarik Jatiluhur. Rute ini mungkin juga belum ideal, sebab melewati sejumlah titik dengan kondisi jalan yang masih makadam. Akan tetapi jalur jalan yang ada di Jatiluhur umumnya masih seperti itu.
Daya Tarik Jatiluhur
Pihak Jelajah Bike kemudian mengkaji kembali rute yang telah terpilih. Pertimbangan utama adalah start dan finish di Restoran Sambel Hejo Sambel Dadak (SHSD) Ciganea dekat pintu tol Jatiluhur. Panitia menargetkan finish paling lambat pukul 13.00 WIB, bersamaan dengan waktu makan siang di restotan yang menyajikan makanan khas Sunda tersebut. Jarak touring pun dipangkas menjadi 34 kilometer.
Daya tarik Jatiluhur memang luar biasa. Sewaktu pertama kali Jelajah Bike membuka pendaftaran Susur Jatiluhur pada pertengahan Januari 2025, animo para pesepeda langsung terasa. Padahal, penyebaran informasi kegiatan ini hanya di kalangan pesepeda yang pernah mengikuti touring sepeda yang dilakukan Jelajah Bike.

Berfoto bersama di depan Restotan SHSD Ciganea sebelum memulai perjalanan, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Satu demi satu mengontak panitia untuk mendaftarkan diri. Ada pula yang sebatas memesan, sebab masih perlu menyesuaikan dengan kegiatan lain dalam perusahaan, kantor atau keluarga. Mereka umumnya memiliki antusiasme tinggi untuk mengayuh sepeda di kawasan Jatiluhur. Pemesanan dilakukan lebih dini agar tetap mendapatkan peluang.
Panitia membatasi peserta hanya 60 orang. Pertimbangan utama yakni kondisi jalan makadam di sejumlah titik dan cukup banyak kelokan pendek di pinggir kawasan waduk sehingga dengan jumlah yang terbatas akan memudahkan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jumlah itu terpenuhi, bahkan menjelang hari pelaksanaan masih banyak yang ingin mendaftarkan diri, tetapi tidak terpenuhi.
Antusiasme terhadap Jatiluhur membuat sejumlah peserta memilih mendatangi pada sehari sebelumnya atau Jumat, 21 Februari 2025. Mereka ingin menikmati suasana di kawasan tersebut pada malam dan pagi hari dimana masih memilih alam yang bagus, panorama yang indah dengan udara yang bersih. “Saya dan om Hengky Dorias sejak awal sudah meniatkan untuk menginap semalam di Jatiluhur karena ingin menikmati suasana alamnya. Mencari suasana baru untuk menyegarkan diri. Jadi, sejak hari Jumat sore kami sudah di Purwakarta,” jelas Freddy Taasman dari Jakarta.
Momentum Reuni
Jumat sore, percakapan dalam group whatsapp Susur Jatiluhur mulai ramai. Mereka yang terlebih dahulu tiba di Jatiluhur mulai mengirimkan foto-foto sejumlah aktivitas sebagai persiapan mengikuti Susur Jatiluhur. Joannes Trie Prihandoko alias Hanie, peserta dari Tangerang Selatan, misalnya, mengirimkan foto saat dirinya baru turun dari kereta api di Stasiun Purwakarta pada Jumat malam.
Hengkie Benjamin alias Cincau juga mengirimkan foto sepeda yang sudah dinaikkan dalam mobil pribadi. Dia akan berangkat semobil dengan Dessy dan Jojo pada Sabtu dinihari. Rokhmat Prasetyo Nugroho selaku marshal kembali membagikan rute event dengan jarak 32 kilometer.
Sabtu (22/2/2025) sekitar pukul 03.00 WIB, sesama peserta dan panitia mulai saling menyapa di group whatsapp. Para peserta umunya sudah bangun tidur, dan mulai bersiap diri. Ada pula yang mulai bergerak dari rumah masing-masing. Maklum, peserta umumnya berdomisili di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Bandung. Perjalanan menuju ke Jatiluhur menggunakan mobil pribadi memakan waktu sekitar 1,5-2 jam. Tidak beda dengan para pesepeda di Jakarta atau Tangerang yang ingin bersepeda di Bogor pada akhir pekan.
Sekitar pukul 06.30 WIB sebagian besar peserta sudah berkumpul di SHSD Ciganea. Mereka umumnya sudah saling mengenal, tetapi dalam beberapa mulai jarang berjumpa sehingga momentum tersebut menjadi ajang reuni. Bernostalgia keseruan mengikuti even jelajah sebelumnya, seperti di Banyuwangi-Bali pada November 2024.

Sejumlah senior ini, Om Ben, Om Jo, Om Octo, Om Gunawan dan Om Djoko sudah cukup lama tidak saling jumpa. Susur Jatiluhur membuat mereka bertemu lagi. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Bahkan, om Benyamin Bunawijaya misalnya bernostalgia event Jelajah Lima Danau yang dilakukan pada tahun 2018 selama lima hari mulai dari Padang dan berakhir di Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Perjalanan ini melewati lima danau yakni Maninjau, Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Kerinci.
“Event Jelajah Lima Danau yang paling berkesan untuk saya hingga sekarang. Rutenya menarik melewati alam yang indah, ada perkebunan teh yang luas dan menawan di Solok Selatan, rumah gadang dimana-mana, dan udara sejuk. Coba bikin lagi Jelajah Lima Danau, tetapi cari waktu saat musim durian,” ujar om Benjamin dan mendapat dukungan dari Alexy Pasaribu, peserta dari Jakarta Utara.
Melihat PLTA
Sekitar pukul 07.00 WIB, semua peserta sudah berada di lokasi start. Panitia kembali memberikan gambaran garis besar rute perjalanan. Tidak lama kemudian, kami bergerak ke gerbang SHSD Ciganea untuk memulai mengayuh sepeda.
Mula-mula bergerak ke arah utara menuju kota Purwakarta. Pagi itu lalu lintas mulai padat, sebab jalan yang kami lewati termasuk jalur utama kendaraan menuju ke pintu jalan tol Jatiluhur. Saat yang sama para karyawan pun menuju ke tempat kerja. Namun, aktivitas itu tidak menghambat kayuhan kami. Semua berjalan lancar.
Sekitar dua kilometer, perjalanan kami menuju ke arah timur kemudian ke arah utara hingga mendekati Sadang. Di rute ini kami menelewati jalan beraspal dan sebagian berupa cor. Hingga di kilometer 10, tidak terlalu jauh dari pintu tol Sadang, kayuhan berbelok ke kiri kea rah barat menyusuri jalan kecil dengan beraspal baik.

Bersuka cita di water stastion (WS) I, kilometer 16. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Di jalur ini kami semakin jarang berpapasan dengan kendaraan umum. Beberapa kali ada sepeda motor yang lalu lalang, sebab ada banyak rumah warga yang berada di tepi kiri dan kanan jalan. Konturnya pun mendatar. Di beberapa titik ada badan jalan yang rusak, tapi sepeda lipat dan sepeda balap masih nyaman melewatinya.
Memasuki kilometer 18, kami belok ke kiri, arah selatan menuju ke Waduk Jatiluhur. Kami terus melaju ke depan. Di kilometer 20, kami tiba di salah satu pintu pembangkit Listrik tenaga air (PLTA) Djuanda. Sejumlah karyawan sedang bekerja di dalam gedung-gedung yang ada. Di halaman tampak banyak pohon rindang membuat suasana terasa cukup sejuk. Kami menyempatkan diri berfoto di lokasi itu.
Selepas dari tempat itu, kami melanjutkan kayuhan dengan melewati tanjakan yang memiliki kemiringan sekitar 10 derajat dalam jarak sekitar 1,5 kilometer. Udara yang segar sehingga mengayuh pun tidak melelahkan. Tampak salah satu titik bendungan Jatiluhur yang lumayan tigggi. Di balik bendungan terbangun pula lapisan tanah menyerupai bukit dengan rumput nan hijau.
Sejarah yang Menarik
Air yang tertampung di bendungan kemudian dialirkan melalui saluran khusus guna memutar baling-baling turbin. Turbin yang berputar menggerakkan poros di dalam generator guna mengubah energi mekanik menjadi listrik. Di Waduk Jatiluhur terpasang enam turbin dengan daya 187,5 megawatt (MW) yang memproduksi Listrik sekitar 2.700 kilowatt-jam (kWh) per hari. Waduk ini dikelola Perum Jasa Tirta II.
Berdasarkan catatan sejarah, Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan luas daerah aliran sungai mencapai 4.500 kilometer persegi. Menarik dari bendungan ini adalah perencanaan dilakukan sejak masa kolonial Belanda, peletakan batu pertama Pembangunan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967. Pembangunan menghabiskan dana sekitar 230 juta dollar AS.
Selain itu Waduk Jatiluhur juga mengairi jaringan irigasi dengan luas 242.000 hektar dan berfungsi pula untuk penyediaan air baku, budidaya, dan penanggulangan banjir. Waduk ini menjadi daerah tujuan wisata dengan tersedia sejumlah fasilitas seperti hotel, bungalow, restoran, playground, ruang pertemuan, dan sarana rekreasi dan olahraga keairan lainnya.

Mengumpulkan kenangan di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Sekitar satu kilometer di depannya berdiri gerbang utama PLTA Djuanda di sebelah kanan. Sedangkan di sisi kiri jalan raya adalah pintu masuk menuju Hotel Jatiluhur Valley & Resort, sebuah hotel bintang tiga dalam kawasan tersebut. Jalan raya yang ada cukup lebar dan beraspal mulus.
Keluar dari kawasan PLTA, kami masih melewati hutan dengan jalan yang bagus, lalu menurun menuju Waduk Jatiluhur. Di kilometer 23 ini, semua peserta beristirahat di salah satu warung seraya menikmati kelapa muda, mie rebus dan sate maranggi. Warung ini berada sekitar 10 meter dari bibir waduk. Di belakang warung tampak belasan unit perahu viber yang terparkir di sebuah dermaga mini. Fasilitas ini untuk para wisatawan yang ingin berlayar ke tengah waduk.
Jalan Makadam
Dari lokasi itu, kami mulai menyusuri tepi waduk sejauh kurang lebih dua kilometer. Di sepanjang Jalan Waduk Jatiluhur ini tampak cukup banyak warung dan restoran dengan menawarkan aneka macam menu. Hadir pula kawasan Bumi Perkemahan Jatiluhur, lokasi yang menjadi pusat aktivitas di alam terbuka.
Bahkan, ada pula area khusus untuk tempat parkir mobil campervan atau mobil kemping. Kabarnya, komunitas ini mulai berkembang di wilayah Jabodetabek. Setiap akhir pekan selalu ada beberapa orang yang datang menikmati waduk Jatiluhur dengan mobil campervan. Siang itu banyak warga yang datang berwisata.

Sempat menyaksikan kereta cepat Whoosh dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tanjakan di jalur ini lumayan berat. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Melewati kilometer 26, kami berbelok lagi ke kiri yakni arah timur dengan memasuki kawasan perkampungan. Awalnya langsung menghadapi tanjakan sekitar 75 meter. Pendek, tapi kemiringannya mendekati 15 derajat sehingga cukup ngehek juga.
Di jalur ini kami mulai melewati jalan makadam di beberapa titik. Jarak menuju lokasi finish di SHSD Ciganea tersisa sekitar delapan kilometer, tetapi sebagiannya dalam kondisi rusak. Kerusakan terbanyak pada jalan tanjakan dan turunan sehingga memaksa pesepeda harus berkosentrasi penuh. dan ekstra hati-hati dalam mengendalikan sepedanya.
Sekitar di kilometer 30, kami sempat melewati kolong jalur kereta cepat. Rombongan kami sempat sudah kali menyaksikan kereta whoosh melaju dengan sangat kencang dari arah Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tidak jauh dari lokasi itu ada pula jalur kereta api rute Selatan Jawa. Kami juga menyaksikan kereta Argo Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Lajunya jauh beda dibanding Whoosh.
Di sepanjang jalan yang kami lewati, ada banyak rumah penduduk dengan bangunan permanen. Jalan yang ada menjadi salah satu akses warga setempat dan wisatawan menuju ke Waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta atau sebaliknya.
Warga setempat mengaku sering menyampaikan kerusakan jalan yang ada kepada pemerintah daerah. Namun hingga kini tak ada realisasinya. “Kami sudah bosan dan lelah berkeluh kesah meminta perbaikan jalan, sebab sampai sekarang kondisinya seperti ini saja. Apakah ,” ujar salah satu warga di Jatiluhur.
Kuncinya Benahi Infrastruktur
Kami juga cukup kaget melihat kondisi jalan di wilayah penyangga Waduk Jatiluhur. Dengan posisinya yang begitu strategis dan melegenda, Jatiluhur tidak hanya bermanfaat melalui irigasi, PLTA dan budidaya perikanan, tetapi juga aktivitas lain seperti pariwisata. Sektor pariwisata akan berkembang optimal kalau ada dukungan infrastruktur, seperti jalan raya yang bagus di dalam kawasan dan wilayah penyangga.
Jojo, pesepeda asal Jakarta mengaku baru pertama kali bermain di dalam kawasan Waduk Jatiluhur dan langsung membuatnya jatuh hati. “Saya senang banget melihat banyak kawasan hijau dan sejuk dengan banyak pohon rindang. Tetapi infrastruktur jalan kayaknya kurang mendapatkan perhatian serius sehingga masih banyak jalan makadam,” kata Jojo, pesepeda asal Jakarta.

Tante Lia Partakusuma menyempatkan diri berfoto bersama anak-anak yang tinggal di kawasan penyangga Waduk Jatiluhur. Anak-anak ini sangat senang dan bahagia. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Purwakarta perlu memberi perhatian yang lebih serius pada perbaikan jalan yang ada, termasuk di wilayah penyangga. Kalau infratrukturnya bagus, kami meyakini Jatiluhur dapat berkembang lebih pesat melalui event-event besar olahraga dan musik, antara lain lari marathon, lari half marathon, balap sepeda, jambore sepeda, pentas musik jazz dan lainnya. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok dan Bandung, peminatnya bakal membludak.
Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan terakhir memasuki finish di SHSD Ciganea sekaligus makan siang. Kami menikmati suguhan makanan khas Sunda dari keluarga om Rahmad Koestoro alias Toro almarhum. Semasa hidupnya, om Toro kerap mengikuti event Jelajah Bike, antara lain Jelajah Komodo tahun 2020, Jelajah Rote tahun 2022, dan Jelajah Tana Toraja tahun 2023. Selesai acara, tim Jelajah Bike bersama beberapa peserta Susur Jatiluhur menyempatkan diri nyekar ke makam om Toro, sekitar satu kilometer dari SHSD Ciganea.
Jangan lewatkan!!
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya