Bisnis
Sport Jantung di Perairan Terselatan Indonesia


Peserta Jelajah Rote menarik bersama warga setempat di Baa, ibukota Kabupaten Rote Ndao, Selasa (16/8/2022). Foto: Aditia P Warman
Oleh: JANNES EUDES WAWA
Perairan selatan selalu memiliki ombak tinggi. Ndana, sebagai pulau terselatan Indonesia juga terkenal memiliki gulungan ombak yang panjang, bulat dan menantang sehingga selalu diincar para peselancar dunia. Itu sebabnya berlayar di perairan Ndana memerlukan nyali dan keberanian yang besar.
Selasa, 16 Agustus 2022 pukul 05.30 Wita, suasana di Hotel New Ricky, Baa, mulai ramai. Di halaman depan sudah terpasang panggung yang dilengkapi backdrop bertuliskan Jelajah Rote Bike disertai logo sponsor yakni Livin Bank Mandiri, Milk Life dan Kopi Gadjah. Di depan panggung terbangun balon besar menjadi titik pelepasan peserta touring sepeda tersebut menuju Ndana. Musik pun mulai dihidupkan dengan diiringi lagu-lagu daerah setempat, dan sekali-kali diselingi lagu-lagu kebangsaan Indonesia.
Di dalam hotel, satu demi satu peserta keluar dari kamar masing-masing menuju loby sambil membawa tas pakaian untuk diserahkan kepada panitia. Mereka juga langsung sarapan pagi. Raut wajah tampak begitu bersemangat. Seolah tidak sabar lagi ingin segera berada di Pulau Ndana, lokasi yang menjadi puncak perjalanan Jelajah Rote Bike, yakni merayakan hari ulang tahun (HUT) ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia bersama pasukan marinir penjaga perbatasan Indonesia-Autralia.
Sesuai arahan panitia, tas yang dibawah ke Ndana yang berukuran kecil yang berisi hanya beberapa potong pakaian. Pertimbangannya, pelayaran ke Ndana menggunakan perahu nelayan sehingga tas pakaian harus simpel dan ringan.
Untuk tas pakaian yang besar, panitia menitipkan di Hotel New Rikcy, sebab pada 17 Agustus 2022 malam, peserta akan menginap kembali di hotel tersebut, sebelum pulang ke Kupang. Hotel ini termasuk yang terbesar di Baa.
Menari bersama warga
Sekitar pukul 06.30 Wita, semua sudah berkumpul di depan hotel dekat lokasi pelepasan. Mereka membawa sepeda masing-masing seraya berfoto di depan panggung yang disiapkan. Warga setempat pun mulai berdatangan untuk menyaksikan pelepasan peserta touring sepeda.
Iringan musik dengan lagu-lagu Rote pun terus menggema. Tidak lama kemudian peserta Jelajah Rote Bike dan warga pun menari bersama. Mereka membentuk lingkaran dan menari tarian Kebelai. Tarian tradisional Rote ini merupakan tarian pergaulan yang dilakukan secara massal. Tarian ini selalu menonjolkan kebersamaan dan persatuan, dimana para penari menyatukan rasa dan saling mendukung. Mereka menari dalam lingkaran kecil dan besar.
Lagu yang diperdengarkan begitu hidup dengan irama musik yang menggelorakan semangat. Warga dan peserta Jelajah Rote Bike menyatu dalam semangat yang sama. Terhanyut dalam tarian. Tanpa disadari kurang lebih 40 menit dihabiskan untuk menari bersama. “Seru banget bisa menari bersama warga,” kata Engkun Kurnia dari Bandung.
Sekitar 15 menit menjelang pukul 08.00 Wita, gowes pun dimulai. Hari itu, perjalanan mula-mula menuju Pantai Namberala dengan jarak kurang lebih 42 kilometer. Dari Nemberala, kayuhan dilanjutkan ke Pantai Boa, sekitar 10 kilometer. Di sana, peserta akan menaiki perahu motor menuju Ndana.
Rute dari Baa ke Nemberala hanya sedikit tanjakan, dan lebih banyak landai serta menurun. Kondisi jalan relatif beraspal mulus. Di beberapa titik ada kerusakan jalan, berupa aspal terkelupas. Namun tidak menghambat laju sepeda.

Benderah merah putih dipasang di kiri dan kanan jalan. Pemasangan itu dalam rangka menyambut HUT ke-77 Kemerdekaan RI. Foto: Aditia P Warman.
Pukul 10.00 Wita, sebagian peserta sudah masuk Nemberala. Saat itu di wilayah setempat tampak begitu semarak bendera merah putih dan umbul-umbul yang terpasang di kiri dan kanan jalan raya, rumah warga dan perkantoran.
Kesemarakan itu karena sore harinya ada kedatangan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Dia akan memimpin upacara peringatan HUT Kemerdekaan RI pada Rabu, 17 Agustus 2022 di desa terselatan Indonesia, yakni Desa Nemberala.
Sesuai rencana, kami makan siang di Hotel Anugerah. Nemberala. Hotel ini berada pesis di tepi pantai. Dari pantai dengan hamparan pasir putih itu, tampak sejumlah wisatawan asing lalu lalang sambil memikul papan selancar. Papan selancar umumnya telah disediakan hotel. Bule-bule itu ada yang mengaku baru beberapa hari berada di Nemberala. Ada pula yang sudah lebih dari 10 hari berselancar.
Gulungan ombak terbaik berada di tengah laut, sehingga para peselancar terlebih dahulu menaiki perahu milik warga setempat untuk diantarkan ke titik selancar yang diinginkan . “Bule-bule mulai berdatangan sejak April. Memang jumlahnya belum banyak. Mungkin baru 20-an persen. Tetapi, sudah lumayan untuk kami. Usaha kami mulai bergerak lagi setelah lebih dari dua tahun mati suri akibat serangan wabah Covid-19,” jelas Bertha, pengelola Hotel Anugerah.
Hadapi gelombang tinggi
Sehabis makan siang, kami mengayuh lagi menuju Pantai Boa, sekitar lima kilometer arah selatan. Kawasan Pantai Boa dan Pulau Ndana termasuk lokasi selancar paling diminati wisatawan asing, pemburu gulungan ombak nan menawan.
Tidak mengherankan dari Pantai Nemberala, Pantai Boa hingga Pantai Oeseli sejauh 15 kilometer tampak puluhan villa dan cottage. Sebagian besar penginapan itu milik warga asing. Jalur ini juga memiliki banyak pantai indah.
Kami tiba di Pantai Boa sekitar pukul 14.15 Wita. Panitia memilih Pantai Boa, sebab jarak dari lokasi itu ke Ndana lebih dekat, yakni hanya 3 mil dibanding dari Pantai Nemberala sekitar 4-5 mil. Sepeda disimpan dalam sebuah rumah di tepi pantai. Peserta Jelajah Rote lalu satu demi satu menaiki perahu yang telah disiapkan.

Berlayar dari Pantai Boa menuju Pulau Ndana. Ombak yang tinggi tidak menghalangi semangat peserta Jelajah Rote untuk menuju Ndana. Foto: Aditia P Warman
Panitia menyewa tiga perahu, tetapi siang itu satu perahu mendadak batal sehingga yang beroperasi ke Pulau Ndana hanya dua unit perahu. Kapasitas angkut perahu nelayan itu berkisar 20-30 orang. Perahu yang ada tergolong besar dan aman untuk ukuran warga setempat. Perahu itu pun setiap hari digunakan untuk penangkapan ikan.
Tengah hari merupakan waktunya pasang naik. Kondisi laut di Pantai Boa saat itu pun demikian sehingga memaksa penumpang yang hendak naik perahu harus melewati air laut dengan kedalaman 60-90 sentimeter. Bahkan, untuk naik ke perahu pun harus dibantu orang lain yang ada di atas perahu maupun di luar perahu, sebab di lokasi itu tidak tersedia tempat khusus untuk penumpang naik dan turun.
Sebagai pesisir selatan, gelombang laut di perairan tersebut cukup tinggi: berkisar dua hingga tiga meter. Bahkan, pada keesokan harinya saat pelayaran dari Ndana ke Pantai Boa, gelombang laut lebih tinggi lagi. Semakin ke tengah laut, ayunan gelombang pun bertamah besar. Saat gelombang turun, perahu yang ada nyaris tidak terlihat.
Saat memulai pelayaran dari Ndana setelah setelah merayakan HUT Kemerdekaan RI, salah satu kapal sempat mengalami gangguan mesin dan kebocoran pada lambung. Padahal, pagi harinya kapal yang sama mengangkut 15 orang panitia dan rombongan media dari Pantai Nemberala ke Ndana. Pelayaran pagi itu sangat lancar.

Peserta tiba di Pulau Ndana saat laut surut. Hal ini membuat perahu tidak bisa merapat ke darat, dan melepas jangkar pada jarak sekitar 100 meter dari bibir pantai. Peserta pun harus berjalan menuju daratan. Foto: Aditia P Warman
Siang itu, operator perahu tersebut mencoba memperbaiki mesin, tetapi tidak berhasil. Para penumpang yang ada mulai panik. Panitia kemudian memerintahkan perahu lainnya yang telah menurunkan penumpangnya di Pantai Boa untuk melakukan evakuasi penumpang dari perahu yang rusak. Evakuasi berjalan lancar, dan penumpang pun didaratkan di Pantai Boa dengan selamat.
“Sebagai orang yang tidak hidup di tepi pantai, menghadapi ombak yang tinggi ini nyali ciut juga. Bikin sport jantung. Tetapi setelah melewati dengan baik, lancar dan bisa mendarat kembali dengan selamat, rasanya luar biasa dan menyenangkan. Ada pengalaman yang amat berkesan. Kita bisa lebih mengenal sesama saudara kita dengan segala kesulitan dan tantangannya. Inilah jelajah,” ujar Yanuar Pribadi, pesepeda asal Jakarta.
JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda
Tulisan terkait:
Bisnis
Kompetisi IBL 2024, Penetrasi Pasar Pelita Air

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Kompetisi bola bakset profesional di Indonesia memasuki babak baru. Mulai 2024 ini, pertandingan mulai menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Semua klub memiliki kesempatan yang sama menjadi tuan rumah dan tamu. Beban biaya operasional klub bakal membengkak, tetapi keuntungannya pun tidak sedikit.
Sistem kompetisi ini merupakan sebuah terobosan baru bagi Indonesia Basketball League (IBL). Ada keyakinan, industri bola basket nasional bakal jauh lebih berkembang dan maju.
Tantangan dan peluang
Akan tetapi, ada sejumlah tantangan dan peluang. Pertama, tantangan yang utama yakni semua klub peserta akan mengalami peningkatan biaya akomodasi. Dalam setiap laga tandang, klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya yang berjumlah sekitar 25 orang.
Biaya akomodasi untuk perjalanan lumayan besar. Para pengelola klub memprediksi mencapai 30 persen dari total kebutuhan biaya selama musim kompesisi tahun 2024.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia 2024. Tahun ini mulai menerapkan sistem kandang dan tandang. Foto: arsip
Kedua, sistem kandang dan tandang juga berpeluang melahirkan kebanggaan lokal di kalangan masyarakat setempat. Hal ini memudahkan klub memperkuat relasi dengan para pendukung.
Semakin banyak pendukung berpeluang meningkatkan jumlah penonton. Dengan demikian, potensi pendapatan klub dari pertandingan juga membesar. Bagi IBL, penonton yang membludak membuat industri bola basket nasional berkembang lebih optimal.
Ketiga, klub dan manajemen IBL berpeluang menambah jumlah perusahaan sponsor dan nilai sponsorship. Apabila potensi ini tertangani optimal, maka menambah pendapatan klub dan IBL. Potensi ini menjadi kekuatan yang dapat menarik investor melakukan investasi dalam industri bola basket.
Ada14 klub peserta IBL tahun 2024. Klub-klub itu berkandang di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan sejumlah kota lainnya. Letak kota-kota ini sangat jauh dan umumnya hanya dapat dijangkau melalui penerbangan.
Titik temu kepentingan
Di sinilah adanya titik temu kepentingan antara IBL dan Pelita Air. IBL membutuhkan dukungan perusahaan penerbangan untuk mengangkut pemain, pelatih dan official lainnya guna mengikuti laga tandang. Dukungan itu dapat meringankan beban biaya akomodasi dari setiap klub.
Sementara manajemen Pelita Air melihat basket sebagai pasar potensial. Bola basket selalu indentik dengan kaum muda. Dimana-mana, setiap ada pertandingan bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Ada yang masih sekolah atau kuliah, tetapi banyak pula yang sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.
Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.
Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.
Garap penggemar
Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air
Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, bola basket juga selalu erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air.
Lebih dari itu, Pelita Air sepertinya tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.
Kehadiran Pelita Air telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.
Yang terpenting lagi adalah pemilik dan pengelola event perlu loyal kepada patner atau mitranya. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan yang saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang perlu diterapkan dalam IBL.

Pesawat menjadi salah satu kebutuhan vital bagi klub peserta IBL 2024. Hal ini karena ada sistem kompetisi kandang dan tandang. Foto: Jannes Eudes Wawa
Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda. Akan tetapi, manajemennya masih terbatas dan minimnya dukungan sponsor. Salah satunya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Padahal, industri olahraga selalu mampu menjadi lokomotif yang handal dalam menarik sektor lain untuk menggerakkan ekonomi. Jika semakin banyak terselenggara even olahraga, peluang ekonomi nasional semakin besar dan nyata. ***
Bisnis
Basket, Pelita Air dan Generasi Milenial

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Industri penerbangan dan industri olahraga selalu bersinggungan. Dalam olahraga, kompetisi adalah ruh industri. Melalui kompetisi yang rutin dengan manajemen profesional, industri olahraga mendapatkan energi besar. Kompetisi selalu melibatkan klub dan individu. Di balik mereka ada pendukung, penggemar, dan penonton. Inilah pasar bagi maskapai.
Bola basket termasuk salah satu cabang olahraga yang cukup populer, terlebih di kalangan anak muda. Setiap kali ada pertandingan, para penonton umumnya kaum muda terpelajar. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia.
Hal ini tidak terlepas dari begitu membuminya olahraga tersebut. Lapangan basket tidak membutuhkan area yang luas sehingga selalu terbangun di setiap sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Itu sebabnya, sejak usia dini, para peminat bola basket mulai tertempah. Belum lagi kompetisi bola basket di kalangan pelajar dan mahasiswa selalu rutin terlaksana. Sebut saja Liga Mahasiswa Bola Basket yang melibatkan sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia yang kian meriah. Pemain asing mulai terlibat. Foto: Arsip
Ada pula Red Bull Basketball Championship (RBBC) yang merupakan kompetisi bola basket antar-pelajar SMA dan sederajat. Kompetisi ini pernah terlaksana di 10 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan.
Di luar itu, klub bola basket juga terus tumbuh dan berkembang. Bahkan, sejak tahun 1982 telah ada kompetisi antarklub bernama Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama). Meski level amatir, kompetisi ini bergulir selama 20 tahun hingga berhenti pada tahun 2010.
Di saat yang sama yakni sejak tahun 2003, lahir kompetisi profesional Indonesia Basketball League (IBL) dengan peserta adalah klub-klub papan atas. Dalam perjalanannya, IBL juga mengalami pasang surut.
Biaya akomodasi naik
Meski tertatih-tatih, IBL terus berjalan. Bahkan, sejak tahun 2017, IBL membolehkan adanya pemain asing dalam setiap klub. Kebijakan ini membuat kompetisi IBL bertambah hidup. Persaingan antarklub untuk menjadi yang terbaik pun meningkat.
Setapak demi setapak, penonton IBL mulai bertumbuh. Tiket yang tersedia dalam setiap pertandingan di kota-kota penyelenggara pada tahun 2020, misalnya, selalu habis terjual. Setiap klub juga semakin giat memperkuat hubungan dengan para penggemar.
Dalam musim kompetisi 2024, manajemen IBL melakukan terobosan baru. Untuk pertama kalinya menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Sistem kompetisi ini, menurut Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah, menguras banyak tenaga dan biaya dari semua klub peserta.
Penerapan sistem kompetisi ini memiliki sejumlah tantangan dan peluang. Salah satunya yakni klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya sekitar 25 orang untuk mengikuti laga tandang di berbagai kota.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air
Perjalanan ini membutuhkan transportasi udara, penginapan, konsumsi dan lainnya. Biayanya tidak sedikit. Apalagi perjalanan menjelang akhir pekan sehingga harga tiket pesawat lebih mahal. Beban biaya akomodasi ini mencapai sekitar 30 persen dari total kebutuhan finansial selama musim kompetisi 2024.
Itu sebabnya, IBL membutuhkan dukungan maskapai untuk mengangkut tim yang ingin bertanding laga tandang. Kehadiran maskapai tersebut dapat mengurangi beban klub dan memastikan kompetisi bakal berjalan lancar. Maklum, 14 klub peserta IBL tahun 2024 tersebar di banyak kota, seperti Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan lainnya.
Pasar generasi milenial
Pelita Air melihat peluang tersebut. Dimana-mana, setiap ada kompetisi bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Banyak di antara mereka sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.
Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.
Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.
Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.
“Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, kami menilai bola basket juga erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air” kata Direktur Utama Pelita Air Dendy Kurniawan.
Bagi Dendy, Pelita Air tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.
Perkuat sinergi
Di mata Junas Miradiarsyah, kehadiran Pelita Air telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.

Kompetisi Bola Basket Indonesia (IBL) 2024 yang kian semarak. Tahun ini mulai menerapakan sistem kandang dan tandang. Foto: Arsip
“Kami harus lebih loyal kepada patner. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang kami terapkan dalam IBL.” Jelas Junas.
Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda.
Akan tetapi, minimnya dukungan sponsor sehingga event olahraga tidak berjalan optimal. Padahal, industri olahraga terbukti menjadi lokomotif yang mampu menggerakkan semua sektor ekonomi.
Bisnis
Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Belakangan ini masyarakat kembali mengeluhkan harga tiket pesawat penerbangan domestik yang mahal. Bahkan, untuk rute tertentu harganya lebih mahal dibanding tiket penerbangan internasional. Keluhan ini sudah berkali-kali terungkap, tetapi solusinya selalu nihil. Yang ada malah harga tiket melambung lagi.
Sebagai negara kepulauan, transportasi udara merupakan pilihan paling efektif di Indonesia. Coba kita bayangkan, jarak dari Sabang ke Merauke, atau Jakarta-Makassar, atau Jakarta-Balikpapan, Jakarta-Bali, atau Jakarta-Labuan Bajo pergi pulang.
Kalau mengikuti jalur jalan darat dan laut, maka perjalanan menuju ke rute-rute itu membutuhkan waktu selama beberapa pekan untuk sekali jalan. Sebaliknya menggunakan pesawat berbadan lebar hanya membutuhkan waktu penerbangan selama beberapa jam.

Para kru Pelita Air Service yang tampil lebih elegan setelah menjadi penerbangan niaga berjadwal, Foto: Arsip Pelita Air
Menggunakan jasa penerbangan dapat memangkas waktu perjalanan yang signifikan. Penghematan waktu otomatis membuat penanganan urusan pun menjadi lebih efisien serta cepat tuntas.
Masa perang tarif
Era reformasi yang lahir pada tahun 1998 telah memberi kesempatan yang luas bagi swasta membangun perusahaan penerbangan. Maka, sejak itu, maskapai nasional pun lahir bagai cendawan tumbuh di musim hujan.
Ada puluhan perusahaan penerbangan yang beroperasi. Ada yang mengandalkan tiga pesawat, dan ada yang memiliki lima unit pesawat atau lebih. Untuk merebut penumpang, maskapai-maskapai baru berani memberlakukan tarif sangat murah.
Bayangkan, pada tahun 2002, misalnya, harga tiket pesawat rute Jakarta-Surabaya yang biasanya rata-rata Rp 760.000, tetapi maskapai Indonesia Airlines (IA) menawarkan tarif Rp 390.000. Pelita Air lebih murah lagi, yakni Rp 333.000. Harga ini setara tiket kereta api dengan rute yang sama.
Rute Jakarta-Batam yang biasanya Rp 850.000 per penumpang, tetapi Lion Air dan Jatayu Air hanya Rp 499.000. Pelita Air rute Surabaya-Makassar seharga Rp 333.000. Entah seperti apa penghitungannya, tetapi perusahaan penerbangan berlomba-lomba melakukan perang tarif, (Kompas 20/5/2002).

Bali menjadi tujuan utama wisatwan domestik dan mancanegara. Jumlah wisatawan domestik bakal meningkat pesat jika ada penurunan harga tiket pesawat. Foto: Jannes Eudes Wawa
Dampak positifnya yakni penggunaan pesawat tidak lagi sebatas masyarakat kelas menengah ke atas melainkan semua lapisan sosial. Siapa pun bisa terbang. Penerbangan pun menjadi urat nadi utama transportasi nasional. Kapal penumpang, kereta api dan angkutan bus kelimpungan menghadapi agresitivitas bisnis penerbangan komersial berjadwal.
Dampak Covid-19
Seiring perjalanan waktu, satu demi satu perusahaan penerbangan pun rontok. Mereka tidak sanggup lagi menghadapi persaingan yang ketat. Perang tarif tiket merupakan salah satu pemicunya, sebab bisnis penerbangan tergolong risiko tinggi dan padat modal, tetapi potensi keuntungan yang minim.
Maskapai yang tetap eksis hingga saat ini hanya Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia dan Citilink), Air Asia, Sriwijaya Group (Sriwijaya dan NAM) serta Lion Group (Lion, Batik dan Wings). Terakhir datang lagi Pelita Air, anak perusahaan Pertamina. Maskapai ini sejak April 2022 bertranformasi menjadi penerbangan komersial berjadwal.
Perusahaan-perusahaan ini telah teruji di lapangan sehingga selalu menemukan cara untuk mengatasi persoalan bisnis. Meski demikian, bukan berarti urusan bisnis sudah tuntas.
Hingga kini sebagian besar biaya pengeluaran, seperti sewa pesawat, biaya bahan bakar, suku cadang untuk perawatan dan lainnya dalam bentuk mata uang asing (dollar AS dan euro). Akan tetapi, pendapatan melalui mata uang lokal (rupiah).

Penerbangan domestik menjadi kekuatan utama bisnis penerbangan di Indonesia. Akan tetapi, nilai tukar rupiah yang masih melemah dapat menjadi kendala serius bagi pengelola bisnis ini. Foto: Jannes Eudes Wawa
Perbedaan nilai tukar pun masih signifikan. Saat ini satu euro setara Rp 17.123 dan satu dollar AS setara kurang lebih Rp 15.821. Para ahli ekonomi memprediksi gunjangan terhadap nilai rupiah ini masih berlanjut hingga paruh kedua tahun 2024 sebagai dampak dinamika global dan domestik.
Khusus di dalam negeri, dimana situasi politik yang kian panas. Kalau nilai rupiah terus melemah otomatis memicu mahalnya harga avtur, sewa pesawat, harga suku cadang, asuransi dan lainnya.
Keluhan masyarakat
Meski demikian, masyarakat terus mengeluhkan tarif tiket pesawat yang mahal. Keluhan tersebut wajar, sebab serangan wabah covid-19 selama tahun 2020-2022 telah menimbulkan krisis ekonomi sangat parah.
Banyak warga kehilangan pekerjaan. Tidak sedikit perusahaan gulung tikar. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan begitu masif hingga kini. Aktivitas industri pun belum stabil. Krisis itu membuat pendapatan masyarakat pun merosot, tetapi beban biaya keluarga terus meningkat.
Sebaliknya dari pihak maskapai beranggapan harga tiket saat ini masih normal. Harga yang ada masih berada di antara tarif batas bawah dan tarif batas sebagaimana keputusan Menteri Perhubungan Nomor 16 tahun 2019.
Misalnya, Jakarta-Banda Aceh berkisar Rp 780.000-Rp 2.228.000, Jakarta- Medan Rp 630.000-Rp 1.799.000, Jakarta-Semarang Rp 279.000-Rp 796.000, Jakarta-Surabaya Rp 408.1.167.000, dan Jakarta-Solo Rp 317.000-Rp 906.000.
Ada jalan
Argumentasi masing-masing pihak sangat rasional. Perdebatan ini bakal sulit mendapatkan titik temu. Padahal, perlu solusi agar tidak terjadi krisis baru sebagai dampak dari menurunkan mobilitas masyarakat melalui angkutan udara.
Timbul pertanyaan, masih adakah celah yang memungkinkan penurunan harga tiket pesawat? Jawabannya: Ada. Akan tetapi, kewenangan tersebut sudah di luar aspek bisnis. Di sini, bola itu ada pada pemerintah.

Indonesia memiliki banyak sekali alam yang indah. Potensi ini hanya dapat berkembang kalau didukung dengan transportasi udara yang memadai dan tarif tiket yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Foto: Jannes Eudes Wawa
Faktanya demikian. Pertama, penjualan avtur penerbangan domestik dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 0,3 persen, di samping ada pungutan lain. Padahal, penerbangan internasional terbebas dari PPN dan PPh. Kedua, adanya PPN 10 persen yang melekat dalam setiap tarif tiket yang diberlakukan kepada konsumen.
Maka, terkait desakan penurunan tarif tiket pesawat domestik, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah. Pertama, menghapus PPN dari pembelian tiket dan avtur pesawat.
Kedua, meniadakan PPN dari pembelian tiket pesawat. Ketiga, memberikan insentif keringanan PPN lebih dari lima persen.
Memang, sangat dilematis, sebab ketiga pilihan ini akan mengurangi penerimaan pendapatan negara. Padahal, pemerintah terus berupaya menggenjot kenaikan penerimaan negara melalui pajak.
INACA memprakirakan, jumlah penumpang domestik tahun 2023, sekitar 70,8 juta orang. Jumlah ini masih rendah dibanding tahun 2019 atau sebelum Covid-19 mencapai 79,5 juta penumpang. Sementara tahun 2022 hanya 56,4 juta penumpang.
Berbagi beban
Pemberian insentif karena kondisi ekonomi tidak stabil. Dalam situasi seperti ini pemerintah, pelaku industri penerbangan dan masyarakat perlu saling berbagi beban. Maka, insentif ibarat melepas umpan ikan teri untuk mendapatkan ikan kakap. Inilah cara terbaik dan efektif untuk menurunkan biaya yang cukup signifikan dari tarif tiket pesawat.
Pajak sesungguhnya adalah cerminan dari berputarnya kegiatan ekonomi. Insentif adalah bagian dari umpan. Dengan harga tiket murah otomatis semakin banyak masyarakat terbang menggunakan pesawat. Jumlah penumpang domestik pasti meningkat pesat.

Negeri di atas awan di Lolai, Tana Toraja selalu menjadi incaran wisatawan. Di sana, mereka menyaksikan matahari terbit dengan panorama yang indah. Foto: Jannes Eudes Wawa
Sektor pariwisata menggeliat. Dampak ikutannya sangat besar. Semua sektor ekonomi ikut bergerak serentak. Akhirnya PPN yang hilang dari tiket tergantikan melalui bagian lain, seperti belanja UMKN, penginapan dan lainnya.
Seperti kata Siswono Yudo Husodo, praktisi ekonomi, “Kita harus mendorong ekonomi berputar lebih cepat agar penerimaan pajak meningkat seperti diharapkan. Kita perlu belajar dari sejarah empirik perekonomian banyak negara dimana untuk mempercepat perputaran ekonomi, tarif pajak justru diturunkan, tetapi penerimaan negara justru meningkat”. (Kompas, 31/1/2024)
Kita menunggu keberanian dan keikhlasan pemerintah. Semoga!
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya