Sport
JCS Ingin Seperti Tour de France

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Dunia balap sepeda di Indonesia bakal semakin semarak menyusul lahirnya event baru: Jelajah Cycling Series. Seperti namanya, event ini bakal dilakukan berseri dalam setahun dengan lokasi berbeda. Fokus utama tidak sebatas menggerakkan pariwisata, tetapi menjadi ajang bagi atlet Indonesia mengukir prestasi
Alasan lahirnya JCS
Ada sejumlah alasan yang mendorong penyelenggara yakni Jelajah Sport melahirkan JCS. Pertama, Indonesia memiliki wilayah yang luas dengan kekayaan melimpah baik tradisi budaya, keindahan alam dan keragaman masyarakatnya. Keunggulan dan keunikan ini perlu dipromosikan ke dunia internasional melalui ajang balap sepeda skala besar yang dilakukan kontinyu dengan standar Union Cyliste Internationale (UCI), induk organisasi balap sepeda dunia.

Dua pesepeda dari Klub Roojai, Thailand terus bersaing dalam JCS Minangkabau. Event ini diikuti 228 peserta dari tujuh negara. foto: dokumentasi Jelajah Sport.
Kedua, Di luar negeri, kita mengenal Tour de France di Perancis, Giro d’Italia di Italia dan lainnya. Itu adalah event balap sepeda jalan raya paling bergengsi di dunia yang selalu digelar setiap tahun, dan selalu menyedot perhatian masyarakat internasional.
Event-event itu telah lama berkembang, bahkan tidak semata-mata melahirkan atlet-atlet yang berprestasi gemilang di panggung internasional, dan merajai olimpiade. Tetapi ikut menjadi lokomotif ekonomi yang menggerakkan industri sepeda, industri pariwisata dan sektor lainnya.
Jelajah Sport pun ingin membawa JCS ke arah itu di Indonesia. Melalui penyelenggaraan yang berseri dan kontinyu setiap tahun sesuai standar UCI diharapkan dapat melahirkan atlet-atlet dari Indonesia yang mampu berprestasi terbaik di tingkat dunia. Ekonomi nasional pun ikut bergerak melalui kesemarakan dan kemeriahan JCS.
Ketiga, Adanya event yang berseri mendorong klub-klub sepeda di Indonesia berkembang lebih optimal dengan pengelolaan profesional. Persaingan antarklub pun semakin tinggi dan sehat. Klub pun termotivasi untuk menyiapkan atlet-atlet handal. Sejauh ini, Indonesia baru memiliki beberapa klub kontinental yakni Mula Cycling Team, KGB Racing Team, dan Nusantara Cycling Team. Melalui kompetisi yang rutin, klub kontinental asal Indonesia bisa bertambah banyak dan terus meningkatkan levelnya.
Penggerak ekonomi
Di negara-negara maju, olahraga telah menjadi salah satu industri yang diandalkan sebagai penggerak ekonomi. Kompetisi tertata apik dan berkesinambungan ditunjang pengelolaan yang profesional dengan kualitas prima. Konsistensi dan keberlanjutan tersebut berdampak terhadap perekonomian suatu daerah atau negara. Banyak tenaga kerja yang terserap.
Tidak sedikit sektor juga ikut bergerak melalui kompetisi olahraga. Sebut saja, perhotelan, transportasi, kuliner, pariwisata, usaha kecil dan menengah, pengelola kegiatan dan masih banyak lagi yang saling terkait. Perputaran uang pun berlipat ganda.
Di Eropa dan Amerika, sepak bola, basket, golf, balap sepeda, otomotif, tenis dan lainnya telah berkembang sangat baik. Kompetisi terjadwal dan dijalankan penuh disiplin. Klub maju pesat dengan terus memunculkan atlet handal. Inilah contoh pengelolaan industri olahraga yang benar dan unggul. Iklim yang baik ini selalu menggoda para investor untuk melipatgandakan investasi pada perusahaan penyelenggara event atau perusahaan pengelola klub.
Di Indonesia, perkembangan industri olahraga ibarat hidup enggan mati pun tidak mau. Hal ini dipicu oleh manajemen organisasi olahraga yang belum ditangani secara baik. Ada pula faktor lain seperti regulator dan operator yang kadang tidak sejalan. Akibatnya, kompetisi pun cenderung musiman, serta tidak dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan sehingga jarang lahir atlet yang berkualitas tinggi.
Minimnya kompetisi membuat banyak anak muda yang berbakat di bidang olahraga enggan mengembangkan talentanya dengan serius. Bahkan, tidak menjadikan atlet atau pemain sebagai pilihan hidup.
Belum lagi penghasilan yang diperoleh dari kompetisi pun sangat terbatas. Pendapatan tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk latihan, makanan dan lainnya. Hal ini pula memicu banyak orangtua belum merelakan anaknya menjadi atlet atau pemain profesional.

Peserta Jelajah IKN saat hendak keluar dari Kota Balikpapan menuju ke Sepaku. Jelajah IKN, salah satu event yang diminati para penggila sepeda. Foto: Dokumentasi Jelajah Bike
Khusus sepeda, dalam satu dekade terakhir minat masyarakat untuk bersepeda meningkat pesat di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik menyebutkan, pada tahun 2019, misalnya, produksi sepeda di Indonesia mencapai 8,1 juta unit, tahun 2020 sebesar 8,4 juta unit dan tahun 2021 mencapai 8,7 juta unit.
Bahkan, saat dilanda wabah Covid-19, industri sepeda mengalami anomali pertumbuhan. Permintaan melonjak tajam, sedangkan persediaan sangat terbatas. Bahkan, baru pertama kali terjadi dalam sejarah, pembelian sepeda dilakukan melalui inden.
Indonesia juga termasuk negara eksportir sepeda. Contohnya, tahun 2019, diekspor 1.637.917 unit setara 10,3 juta dollar AS. Jumlah ini meningkat dibanding tahun 2018 sebanyak 1.521.575 unit atau 9,5 juta dollar AS. Di sisi lain, Indonesia juga mengimpor sepeda, dimana tahun 2019 tercatat 887.766 unit dengan nilai 4,2 juta dollar AS.
Seiring semakin banyaknya kepemilikan sepeda, maka event perjalanan dan kompetisi bersepeda pun bertambah marak. Ada yang sehari, dua hari, tiga hari, bahkan lebih. Ada yang khusus sepeda balap, sepeda lipat dan gabungan semua jenis sepeda. Akan tetapi, tidak banyak event kompetisi yang berlisensi UCI.
Namun dalam konteks pariwisata, kesemarakkan event olahraga ini ikut menghidupkan ekonomi. Event-event itu menggerakkan orang dalam jumlah banyak mendatangi suatu daerah. Kehadiran mereka otomatis menghidupkan industri pariwisata.
Sebaliknya pariwisata melalui potensi keindahan alam, keberagaman budaya dan tradisi serta kreativitas masyarakat menjadi magnet besar untuk penyelenggaraan event olahraga di suatu wilayah. Negeri ini memiliki segala yang dibutuhkan bagi berkembangnya industri olahraga.

Arung jeram jadi salah satu permainan yang dipadukan dengan bersepeda. Event seperti ini diminati para pesepeda seperti dalam Susur Pangalengan pada pertengahan Februari 2023 yang dilakukan Jelajah Bike. Foto: dokumentasi jelajah bike
Kurang kompetisi
Harus diakui, olahraga sepeda di Indonesia belum memberikan prestasi yang besar di level internasional. Untuk Asian Games dan olimpiade, misalnya, Indonesia selalu berada jauh di belakang Malaysia dan Thailand. Jangankan meraih medali, mengirimkan atlet dalam kedua kompetisi itu pun, Indonesia kalah bersaing.
Selama ini, prestasi cukup baik hanya pada kategori downhill, BMX, sepeda gunung dan track. Beberapa kali atlet sempat meraih medali emas dalam SEA Games. Olimpiade 2024 di Paris, Indonesia besar kemungkinan mengirimkan atlet sepeda kategori track.
Balap sepeda track adalah jenis perlombaan sepeda yang dimainkan di dalam arena velodrome yang terdiri atas dua lintasan yakni lurus dan sedikit berbelok. Balap jenis ini dimungkinkan adanya penonton. Di Indonesia, ada Velodrome di Rawamangun, Jakarta Timur yang mampu menampung sekitar 2.000 penonton. Para penonton dipungut biaya.
Akan tetapi, khusus balap sepeda jalan raya (road race) masih sulit unjuk gigi. Salah satu penyebabnya yakni atlet Indonesia jarang mengikuti kompetisi internasional. Hal itu karena kompetisi-kompetisi itu umumnya dilakukan di Eropa dan Amerika. Biaya pengiriman atlet cukup besar sehingga tidak semua mendapatkan kesempatan.
Padahal, mengikuti kompetisi internasional secara rutin mutlak dibutuhkan seorang atlet profesional. Semakin sering berkompetisi dengan atlet-atlet dari negara lain, semakin baik untuk menempah diri dan mengukur kemampuan diri dan tim. Melihat kekurangannya, lalu menemukan solusi agar bisa meraih prestasi terbaik pada kompetisi berikutnya.
Prestasi terbaik sangat dibutuhkan untuk pengumpulan poin bagi individu, tim dan negara. Semakin banyak poin yang terkumpul, peluang atlet dan negaranya mengikuti kompetisi level tinggi, seperti olimpiade semakin besar.
Salah satu solusi, menurut Kepala Pelatih Timnas Sepeda Dadang Haris Poernomo, perlu perbanyak kompetisi berlisensi UCI di Indonesia. Kompetisi itu tidak musti dilakukan oleh federasi, tetapi juga pihak swasta, seperti Jelajah Sport.
Keuntungannya adalah banyak atlet Indonesia memiliki kesempatan untuk bertanding. Jam terbang semakin banyak. Mereka bisa belajar dan menguji kemampuan. Kalau menang otomatis menaikkan level kepercayaan diri dan meningkatkan poin bagi atlet yang bersangkutan, tim dan juga bagi Indonesia.

Para atlet peserta JCS Minangkabau sedang lomba kecepatan di tepi Danau Singkarak. Panorama alam menjadi salah satu daya tarik event olahraga. Foto: dokumentasi jelajah sport.
Dia mendorong ICF menjalin kerjasama dengan para penyelenggara event balap sepeda jalan raya di Indonesia untuk menggelar kompetisi yang berlisensi UCI. Dalam setahun dibikin beberapa seri.
“Kita membutuhkan event lomba balap sepeda jalan raya berseri dan berlisensi UCI di Indonesia. Keuntungan bagi kita adalah memberi peluang bagi para atlet nasional untuk mengikuti ajang ini. Biaya yang dihabiskan tidak banyak, tetapi pengalaman bertanding yang didapatkan sungguh besar,” kata Dadang.
Itu sebabnya, Dadang menyambut gembira kehadiran JCS. Apalagi salah satu misi JCS adalah menjadi ajang kompetisi bagi atlet Indonesia. “Jika ada event yang memberi ruang bagi para atlet nasional untuk berkompetisi, saya pasti mendukungnya,” ujarnya.
Tanah Minangkabau
Urusan menangani event sepeda sebetulnya bukan dunia baru bagi pengelola Jelajah Sport. Beberapa tahun terakhir, melalui bendera Jelajah Bike dilakukan perjalanan bersepeda jarak jauh ke sejumlah daerah. Sebut saja, Jelajah Bali Bike yang dilakukan setiap bulan Juni sejak tahun 2021.
Ada pula Jelajah Komodo pada November 2021. Jelajah Rote pada Agustus 2022 yang merayakan HUT ke-77 Kemerdekaan RI di Pulau Ndana, pulau terselatan Indonesia. Ada lagi Jelajah Toba Samosir pada Oktober 2022, Jelajah IKN pada Desember 2022, lalu Susur Borobudur pada Maret 2022 dan Susur Pangalengan pada Maret 2023. Tahun 2023 ini juga sudah direncanakan touring ke sejumlah daerah, antara lain Tanah Toraja pada pekan ketiga Agustus.
Tahun 2023 mereka memulai petualangan baru, yakni menyelenggarakan lomba balap sepeda jalan raya yang diberi nama Jelajah Cycling Series (JCS). Langkah itu dimulai di Sumatera Barat dengan nama JCS Minangkabau pada 4 Maret 2023.
Pilihan jatuh di Tanah Minangkabau didasarkan pada sejumlah pertimbangan. Salah satunya adalah masyarakat Minang sudah terbiasa dengan suasana lomba balap sepeda. Sebelum dilanda wabah Covid-19 sering digelar event serupa selama beberapa hari. Alasan lain adalah keindahan panorama dan kekuatan kultur setempat.
JCS Minangkabau diikuti 228 peserta dari tujuh negara, termasuk Indonesia. Atlet asing berasal dari China, Belanda, Perancis, Latvia, Laos dan Thailand. Sejumlah atlet dan mantan atlet nasional ikut dalam perlombaan ini. Event sehari tersebut mengusung tema bersepeda untuk semua (cycling for all) seperti yang digelorakan UCI selama ini.

Para pembalap sedang kejar-kejaran di tanjakan Sitinjau Lauik. Tanjakan ini memiliki kemiringan sekitar 23 derajat. Foto: dokumentasi jelajah sport
Ada delapan kategori yang dilombakan, yakni Men Elite 19 tahun ke atas, Junior (17-18 tahun), Open (19-29 tahun), Master A (30-39 tahun), Master B (40-49 tahun), Master C (50-59 tahun), Women Elite (19 tahun) dan Women Master (30 tahun ke atas). Kategori elit dikhususkan bagi para atlet profesional. Sedangkan, master untuk para penggila sepeda balap dan mantan atlet balap sepeda.
“Penyelenggaraan JCS Minangkabau sungguh menarik. Pilihan jalurnya keren dan variatif dengan panoramanya yang indah. Manajemen perjalanannya rapi. Jalur perlombaan dijaga dengan baik dan nyaman. Zero complain. Tidak ada insiden. Pokoknya peserta puas. Ini awal yang baik dan perlu dipertahankan,” kata Andri Prawata, peserta JCS Minangkabau kategori Master A.
JCS Surakarta
JCS seri berikutnya direncanakan di Surakarta atau Solo (bukan Semarang seperti disebutkan sebelumnya) pada Sabtu 9 September 2023. Selain delapan kategori seperti di Minangkabau, kemungkinan ditambah dua kategori lagi untuk dilombakan yakni kelompok usia 15-16 tahun (youth) yakni man youth dan women youth. Total hadiah pun otomatis lebih besar lagi.
Pilihan memasukan kelompok youth dalam JCS Surakarta didorong oleh semangat pembinaan atlet muda atau regenerasi atlet. Apalagi, selama ini, ada sejumlah klub di Indonesia serius membina anak-anak usia dini untuk menjadi pembalap sepeda. Minat anak muda cukup tinggi.
Semangat ini perlu diwadahi melalui kompetisi. Adanya kompetisi yang baik, berkualitas dan kontinyu menjadi ajang yang efektif untuk menempah diri sekaligus pengembangan bakat atlet muda. Dengan demikian, para atlet muda bisa lebih berani menjadikan dunia balap sepeda sebagai pilihan hidup. Pilihan mengembangkan prestasi dan layak diandalkan untuk merajut ekonomi masa depan bagi diri dan keluarga.
Perlu sinergi
Sebagai pemain baru dalam ajang kompetsisi balap sepeda, Jelajah Sport menyadari semua ini masih proses belajar. Belajar merancang dan menyiapkan penyelenggaraan event dengan lebih detail. Belajar mengenal lebih jauh dengan klub dan komunitas sepeda. Belajar
Belajar tentang regulasi balap sepeda seperti yang digariskan UCI. Belajar organisasi penyelenggara balap sepeda yang ideal. Belajar mengenali organisasi ICF (ISSI), komisioner, dan segala hal terkait dunia balap sepeda.
Manajemen Jelajah Sport meyakini JCS bakal mampu menyedot perhatian para pembalap sepeda dunia dan memaksa mereka untuk tidak melewatkan event-event yang ditawarkan. Keyakinan itu didasarkan pada: Pertama, Komitmen meningkatkan kualitas event dan pelayanan setiap tahun. Kedua, Komitmen memberikan hadiah yang besar bagi pemenang.

Para pemenang berfoto bersama di depan rumah adat Minangkabau di Istana Pagaruyung. Foto: dokumentasi jelajah sport.
Ketiga, Memilih wilayah dengan jalur yang menarik dan menantang. Di sini yang selalu dipertimbangkan adalah keindahan alam, keragaman budaya dan tradisi masyarakat yang menjadi keistimewaan Indonesia. Keempat, Komitmen menggunakan teknologi pencatatan waktu yang tepat dan cepat.
Saat ini, JCS fokus pada event sehari. Setelah memahami seluk beluknya, secara bertahap waktu kegiatan ditingkatkan. Jumlah seri diperbanyak. Ada seri yang tetap sehari, tetapi pada seri tertentu dilakukan selama beberapa hari.
Mengembangkan bisnis olahraga seperti event balap sepeda tidak terlepas dari kemitraan. Menggelar lomba yang berkualitas membutuhkan kerjasama atau kolaborasi dengan pelbagai pihak. Salah satunya adalah partisipasi sebagai sponsor. Tanpa dukungan dana yang besar dari sponsor, kompetisi balap sepeda berkualitas takkan terlaksana optimal.
Inilah pentingnya membangun sinergi. Semua bahu membahu dan bergotong royong memajukan balap sepeda sepeda di negeri ini melalui penyelenggaraan event Jelajah Cycling Series (JCS). JCS perlu mengayuh lebih jauh seraya menunjukkan kekuatan Indonesia.
JANNES EUDES WAWA
Pengelola Jelajah Sport
Baca juga:
Cyling
Tour d’ Entete: Flobamora Menggebrak Dunia

Oleh JANNES EUDES WAWA
Tidak seorang pun di Indonesia yang meragukan tentang keindahan panorama alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keunggulan wilayah ini tidak semata-mata biawak raksasa Komodo, danau tiga warna Kelimutu atau Pulau Padar yang menawan. Masih banyak obyek lain baik alam maupun keunikan tradisi masyarakat yang selalu menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namun menjual potensi alam perlu dengan kerja kreatif dan inovatif.
Selama 15 tahun terakhir, pariwisata di Nusa Tenggara Timur berkembang pesat. Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2010, misalnya, hanya 148.673 orang, tetapi pada, tahun 2024 mencapai 1,5 juta orang atau meningkat sekitar 900 persen.

Seekor Komodo sedang menguap di Pulau Komodo. Foto: Arsip Jelajah Sport
Kenaikan kunjungan yang sangat signifikan terjadi setelah Yayasan New7Wonders menyatakan Pulau Komodo dan Taman Nasional Komodo di Flores menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru pada tahun 2012. Keputusan tersebut melalui pemilihan (voting) dan klarifikasi yang melibatkan jutaan pemilih dari seluruh dunia.
Sejak itu, mata dan hati warga dunia langsung tertuju ke Komodo. Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah terobosan untuk membenahi Labuan Bajo sebagai pintu masuk Komodo baik infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan raya, penataan kota, pembangunan landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Komodo, pembenahan pelabuhan maupun kebijakan lain yang mendorong investasi swasta.
Bahkan, pemerintah pusat juga menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya kota di luar Bali dan Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara ke-42 tahun 2023. Kegiatan itu memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan ekonomi di Labuan Bajo pada khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Bahkan, adanya ASEAN Summit telah menguatkan posisi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Hasilnya bukan semata-mata meningkatkan kunjungan wisatawan, melainkan juga maraknya investasi yang cukup signifikan di Labuan Bajo. Investasi yang paling nyata adalah hadir hotel-hotel berbintang tiga, bintang empat, bahkan bintang lima di wilayah Flores barat tersebut. Penyediaan kapal phinisi untuk melayani wisatawan juga kian banyak.
Kerja Kreatif dan Langkah Inovatif
Gubernur Nusa Tenggara Timur Melkiades Laka Lena tidak mau terlena dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan itu. Bagi dia, potensi yang dimiliki NTT saat ini seharusnya mampu menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Namun demikian, keinginan tersebut membutuhkan kerja kreatif dan langkah-langkah inovatif.

Labuan Bajo di Manggarai Barat, Flores, menjelang senja. Panoramanya sangat menawan. Foto: Jannes Eudes Wawa
NTT tidak semata-mata Labuan Bajo. Masih banyak potensi tersebar di Flores, Sumba, Timor serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua (Flobamora) yang memiliki potensi yang nyaris tidak sama antara satu daerah dengan lainnya.
Ada tradisi masyarakat, bahasa, rumah adat dan sistem sosial yang berbeda. Belum lagi potensi alam pantai, pesona dasar laut, pegunungan dan hamparan sabana. Semua itu dapat menjadi kekuatan yang saling menopang dan saling melengkapi. Jika itu terjadi, maka akan sangat potensial dalam menjaring wisatawan mengunjungi NTT dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi.
Bagi Gubernur NTT, pariwisata tidak semata-mata menjual panorama alam, kekayaan budaya dan lain sejenisnya. Pariwisata sesungguhnya dapat berkembang melalui banyak aktivitas sebagai wadah untuk memasarkan dan mempromosikan antara lain even olahraga, festival dan lainnya sekaligus menjaring wisatawan. Wisata olahraga atau sport tourism adalah pilihan yang ideal. Kolaborasi antarsektor inilah yang perlu diberdayakan dan dihidupkan di NTT.

Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai. Letaknya di lambah pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jelang petang suhu dingin. Wisatawan asing paling banyak mengunjungi kampung ini. Foto: Jannes Eudes Wawa
Di tingkat dunia, banyak ajang olahraga yang terbukti memacu perkembangan sektor pariwisata. Penyelenggaraan even olahraga berskala internasional yang melibatkan banyak negara selalu menciptakan kehebohan sekaligus menyedot perhatian warga dunia. Secara bertahap aktivitas itu akan menarik wisatawan.
Potensi Wisata Tersebar Merata
Itu sebabnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menggagas penyelenggaraan even balap sepeda internasional di Nusa Tenggara Timur yang melewati tiga pulau besar sekaligus yakni Timor, Sumba dan Flores. Kegiatan bernama Tour de Entete ini berlangsung pada 10-21 September 2025, memulai dari Kota Kupang dan finis di Labuan Bajo. Momentum tersebut menjadi menjadi etalase megah bagi promosi pariwisata NTT. Jelajah Sport mendapatkan kepercayaan untuk menangani event ini.
Balap sepeda jalan raya bertaraf internasional selama 10 hari ini akan melintasi berbagai destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tour d’ Entete memadukan olahraga dan pariwisata (sport tourism), dengan harapan menarik partisipasi pembalap dari dalam dan luar negeri.

Bukit Tanarara di Sumba Timur. Indah dan menawan. Foto: Arsip Tour d’ Entete
Melalui rute spektakuler yang membentang dari Kota Kupang hingga Labuan Bajo, Tour d’ Entete akan menghadirkan narasi baru bahwa setiap jengkal tanah di NTT memiliki cerita, setiap tanjakan dan turunan adalah cerminan dari kekayaan geografis serta karakter masyarakatnya yang tangguh dan ramah. “Ini momentum emas untuk memperlihatkan bahwa potensi pariwisata di NTT tersebar merata di semua wilayah, tidak terpusat di satu kawasan semata,” kata Melkiandes Laka Lena.
Sport tourism selalu menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan suatu daerah, memperkenalkan daya tari wisata dan menarik wisatawan. Aktivitasnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor pariwisata, perhotelan, kuliner dan transportasi. Sport tourism juga menjadi ajang memperkenalkan budaya dan kearifan local kepada wisatawan.
1.537 Destinasi Wisata
Data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan hingga tahun 2024 terdapat 1.537 destinasi wisata di NTT yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Destinasi itu terbagi dalam tiga bagian yakni wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.
Dengan Tour d’ Entete, pemerintah setempat ingin menggabungkan keindahan alam dan kekayaan budaya NTT dengan semangat olahraga. Balap sepeda bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga menyuguhkan kegembiraan, memamerkan keindahan alam, atraksi visual, dan interaksi langsung dengan masyarakat. “Ini adalah cara kami merayakan NTT sambil memperkenalkannya ke panggung dunia,” jelas tambah Gubernur Melki Laka Lena.

Pantai Koka di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Pantai berpasir putih berbentuk hati. Potensi ini belum tergarap. Foto: Arsip Tour d’ Entete
Tour d’ Entete juga menjadi momentum strategis Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di NTT. Dengan rute yang melintasi berbagai wilayah, maka membutuhkan akses yang baik dan aman, maka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Infrastruktur berkualitas akan membuka peluang bagi sektor pariwisata berkembang pesat. Inilah salah satu manfaat yang bakal dinikmati masyarakat.
Jangan Lewatkan!!
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.
Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.
Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike
“Rolling” Lagi
Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.
Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike
Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.
Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram
Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.
Touring kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.
Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.
Kecerdikan Sultan
Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.
Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike
Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.
Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.
“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike
Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.
Menuju Yogyakarta
Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike
Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Bali Yang Sulit Terlewatkan

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Sudah berada di Banyuwangi tanpa menuju ke Bali yang ada di depan mata rasanya perjalanan ini kurang sempurna. Pulau Dewata adalah surganya wisatawan dunia. Setiap hari puluhan pesawat berbadan lebar dari segala penjuru dunia mengatarkan ribuan wisatawan asing mengunjungi Bali. Kami pun tidak mau melewatkan kesempatan ini: mengayuh sepeda masuk ke Bali.
Saya sebenarnya sudah sering menyeberangi Selat Bali dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk, Negara, Bali, atau sebaliknya. Semuanya menggunakan mobil. Baru pada Sabtu, 9 November 2024 dengan mengayuh sepeda. Tidak ada perbedaan yang mencolok, tetapi menaiki kapal fery dengan bersepeda terasa banget sensasinya. Saat mengayuh menuju kapal suasana hati terasa lebih bebas seluas bentangan alam raya yang di depan mata.

Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (9/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Sabtu pagi itu, kami melanjutkan perjalanan bersepeda hari kedua dalam Jelajah Banyuwangi-Bali. Tujuannya adalah Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali. Sesuai jadwal, kapal fery yang kami tumpangi akan mengangkat jangkarnya tepat pukul 07.00 WIB atau 08.00 Wita di Bali. Sebelum itu, kami perlu melakukan pelaporan (check in) tiket di gerbang masuk pelabuhan dan menunggu atrian pelayaran.
Itu sebabnya, sekitar pukul 06.00 WIB, kami sudah bersiap diri di depan Hotel Santika Banyuwangi. Tas pakaian dan tas sepeda (bike box) sudah berada dalam mobil panitia untuk diangkut menuju Lovina. Tidak lama kemudian, kami mulai bersepeda menuju ke Pelabuhan Ketapang.
Jarak dari Hotel Santika ke Pelabuhan Ketapang kurang lebih 13,5 kilometer. Kami hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit menyelesaikan rute pendek ini. Di Pelabuhan, langsung menuju ke gerbang untuk check in tiket, setelah itu petugas mengarahkan kami ke tempat tunggu sambil membawa sepeda masing-masing. Dia akan menyilakan naik kapal jika waktunya sudah tiba.
Suhu Panas
Suhu pagi itu sudah mulai panas. Mungkin karena Banyuwangi berada di tepi pantai sehingga suhu panasnya terasa menyengat. Hannar Yogia, pesepeda asal Bandung sempat bergurau, “Sekarang baru jam 06.40 (WIB), tetapi suhunya terasa seperti sudah di atas jam 09.00 (WIB)”.
Menjelang pukul 07.00 WIB, petugas menyuruh kami bergerak menuju kapal. Saat yang sama, mobil dan motor pun demikian. Kapal yang kami tumpangi itu mengangkut 12 unit mobil dan 20 unit mobil. Penumpang hanya sekitar 100 orang. Kapal fery yang melayani penyeberangan Ketapang-Gilimanuk berlangsung setiap saat. Lama pelayaran berkisar 40-60 menit. Kadang bisa lebih lama tergantung kondisi cuaca dan arus laut.

Sepeda saat dalam kapal fery Ketapang-Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Akan tetapi, kapal kami membutuhkan waktu sekitar 75 menit baru merapat di Pelabuhan Gilimanuk. Entah apa penyebabnya. Padahal, ada dua kapal yang berangkat dari Ketapang terlambat, malah tiba terlebih dahulu. Proses penurunan kendaraan bermotor dan penumpang dari kapal cukup singkat, sekitar 20 menit. Setelah berada di darat, kami perlu regrouping. Setelah semua peserta berkumpul barulah memulai mengayuh sepeda di Bali. Saat itu waktu sudah pukul 09.40 Wita atau terlambat sekitar 45 menit dari yang ditargetkan panitia.
Kami pun bergerak menuju persimpangan Gilimanuk. Pertigaan itu menghubungkan lintas selatan dan lintas utara. Kami memilih belok ke kiri melewati pesisir utara. Rute pantai utara ini menuju ke Pemuteran, Lovina, Buleleng, Singaraja hingga Amed. Jalur ini relatif sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Kondisi jalan beraspal mulus. Kendaraan mulai sedikit ramai setelah memasuki kawasan Lovina.

Saat meninggalkan kawasan Gilimanuk menuju Lovina, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Kendaraan dari Pulau Jawa yang menuju ke Denpasar, Kuta, Legian, Nusa Dua, Sanur dan lainnya atau sebaliknya melewati lintas Selatan. Mobil pribadi, truk gandeng, kendaraan besar dan sepeda motor cenderung melewati jalur ini sehingga ramai dan padat. Di jalur ini juga ada jalan berkelok, tanjakan dan turunan di sejumlah titik. Kondisi jalan beraspal mulus. Ada hamparan sawah dalam lahan-lahan terasering yang tertata rapih.
Jalan Lurus dan Datar
Perjalanan kami siang itu melewati pantai utara sungguh menarik, sebab jalannya lurus dan mendatar tetapi juga menantang. Tantangan terberat adalah menghadapi suhu udara yang semakin panas dan menyengat. Sengatan sinar matahari dengan suhu di atas 32 derajat celcius membuat rombongan yang semula menyatu dalam satu barisan mulai terpecah dalam beberapa kelompok sesuai kemampuan fisik masing-masing. Ada kelompok yang terus melaju kencang, terutama mereka yang menggunakan sepeda balap (road bike). Ada pula yang berhenti beberapa kali untuk istirahat sejenak agar dapat memulihkan fisik yang kelelahan. Kelompok ini menunggangi sepeda gunung dan sepeda lipat.
Mengayuh sepeda di jalan rata dan lurus tidak otomatis menyenangkan. Kadangkala jalan lurus yang terlalu panjang juga bisa membosankan. Kondisi ini perlu ditangani dengan baik sehingga semangat bersepeda tetap menyalah.

Berada dalam kapal fery dari Ketapang menuju Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Saya bersama Donkun, om Joko Kus Sulistyoko, Wahyudin alias Mangdin bersama Rokhmat P Nugroho selaku sweepper akhirnya menjadi kelompok terakhir. Selama perjalanan kami terus memantau penjualan buah durian. Informasi yang kami dapatkan dari beberapa warga di Pemuteran bahwa Bali mulai memasuki musim durian. Kabar itu menyemangati kami untuk segera menikmatinya.
Menjelang Lovina akhirnya impian kami terjawab. Di sisi kanan jalan, ada pedagang menjual buah durian. Jumlahnya terbatas, mungkin hanya belasan buah. Saat kami tiba, sudah ada empat orang pelintas juga berhenti dengan maksud yang sama yakni membeli buah durian. Mereka hanya membeli tiga buah. Sisanya 10 buah kami memborong semua. Ukurannya hanya 3 buah yang sedang, lainnya agak kecil. Tetapi dagingnya bagus. Warna kuning dan tebal. Kami merasa sungguh beruntung dapat menikmati durian pada hari itu.
Lumba-lumba Lovina
Tidak lama setelah itu hujan deras mengguyur Lovina dan sekitarnya. Kami terus mengayuh sepeda sambil menikmati guyuran air dari langit ini sebagai berkah dan rahmat. Sekitar pukul 16.00 Wita, kelompok terakhir ini memasuki Hotel New Sunari Lovina, tempat finis hari kedua dan menjadi lokasi penginapan peserta Jelajah Banyuwangi-Bali. Jarak dari Pelabuhan Gilimanuk hingga di hotel ini mencapai 79,2 kilometer.
Lovina termasuk salah satu tempat wisata favorit di Bali. Pantai yang bersih, sepi dan damai, lautnya memiliki terumbu karang yang indah. Terpenting lagi melalui pantai Lovina, wisatawan dapat menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba. Kawanan mamalia laut ini sangat cerdas dan hidup dengan bebas. Lumba-lumba di Pantai Lovina sudah mendapatkan perlindungan melalui peraturan pemerintah setempat sehingga tidak ada orang yang boleh menangkap dan menjualnya.

Sejumlah wisatawan menaiki kapal di Pantai Lovina untuk menuju ke tengah laut untuk menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba, Minggu (10/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Untuk menyaksikan atraksi lumba-lumba di tengah laut, wisatawan harus menyewa perahu khusus yang sudah disediakan pihak pengelola. Satu perahu menampung empat hingga lima orang, dengan biaya sekitar Rp 60.000 per orang. Perahu akan membawa ke area lautan yang biasanya banyak bermunculan lumba-lumba. Ikan ini muncul sekitar pukul 06.00 – 09:00 Wita. Wisatawan wajib datang sebelum waktu tersebut agar melihat momen spesial yang jarang ditemukan di pantai lainnya di Bali. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba di Pantai Lovina yakni selama musim kemarau, sekitar April hingga Oktober.
Menuju Kintamani
Keesokan harinya, Minggu (10/11/2024), kami melanjutkan touring sepeda menuju Ketewel, Kecamaten Sukawati, Kabupaten Gianyar. Perjalanan ini melewati kota Singaraja, Puncak Penulisan, Kintamani dan Desa Panglipuran. Posisi Penulisan dan Kintamani berada pada ketinggian sekitar 1.500-1.750 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Di masa awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Bali utara, khususnya Singaraja menjadi pusat pemerintahan dari Provinsi Sunda Kecil yang meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Kepulauan Alor, Rote dan Sabu. Ketika itu, Indonesia hanya terdiri atas delapan provinsi, yakni Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Sejak tahun 1958, terjadi pemekaran menjadi tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seperti yang ada saat ini.

Perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari penginapan, kami melewati jalan mendatar dengan ketinggian tidak lebih dari 200 meter di atas permukaan laut melewati Singaraja hingga di pertigaan Boengkoelan sekitar 20,3 kilometer. Perjalanan kemudian belok ke kanan, dan sekitar 50 meter di depan langsung menghadapi tanjakan. Kemiringan tanjakan ini mula-mula masih ringan, tetapi semakin maju tampak mulai berat. Apalagi posisi Puncak Penulisan berada pada ketinggian 1.745 mdpl.
Jalan yang kami lewati termasuk salah satu jalur pintas dari wilayah utara menuju ke wilayah selatan Bali. Jalannya berkelok dan beraspal mulus. Sepanjang perjalanan warga setempat menjual aneka buah, antara lain durian, mangga, pepaya, salak, apel, pisang, jeruk dan buah naga. Buah-buahan ini umumnya hasil produksi petani di Bali.
Menikmati Kabut
Sejumlah peserta beberapa kali berhenti. Selain untuk mengatur kekuatan fisik dan pernafasan, juga ingin menikmati buah durian yang umumnya matang pohon. Sekitar lima kilometer menjelang Puncak Penulisan suhu udara mulai dingin dan berkabut. Suasana ini sungguh menyenangkan bagi peserta dari wilayah Jabodetabek yang tiap hari menghadapi suhu udara yang panas.
Tanjakan menuju Puncak Penulisan mencapai sejauh 25 kilometer. Suhu udara yang adem membuat jarak yang lumayan jauh tidak menjadi penghalang bagi peserta mengayuh sepeda. “Lumayan berat tanjakan ini, tetapi suhu udaranya adem membuat saya tidak terlalu kelelahan. Malah membuat saya sangat menikmatinya,” kata Hengki Dorias, asal Jakarta.

Menjelang Puncak Penulisan tampak penjor di kiri dan kanan jalan. Inilah pemandangan khas Bali. Foto: Arsip Jelajah Bike
Sekitar pukul 13.30 Wita, semua peserta sudah melewati Puncak Penulisan dan tiba di Kintamani. Saat itu terjadi hujan yang lumayan deras. Kami berteduh sekaligus menikmati suasana dingin dan sejuk di salah satu kawasan tinggi yang terkenal memiliki keindahan alam yang menarik, seperti Gunung Batur dan Danau Batur. Ketinggian Kintamani sekitar 1.500 mdpl.
Panorama Kintamanijuga seakan menegaskan bahwa Bali sebagai daerah tujuan utama wisatawan dunia tidak semata-mata memiliki keindahan pantai dan kehijauan alam, pemandangan sawah tersering yang indah. Bali juga memiliki kawasan pegunungan berhawa sejuk dan berkabut. Selama bulan Agustus hingga Maret, kabut tebal menyelimuti Kintamani pada pagi hingga siang hari. Puncaknya pada November hingga Februari, kabut selalu lebih tebal lagi.
Daya Tarik Panglipuran
Dari Kintamani, perjalanan kami menuju Desa Penglipuran. Kali ini rutenya menurun sejauh kurang lebih 29 kilometer. Memang mengayuh sepeda ini seperti roda kehidupan. Ada saat kita harus melewati fase-fase yang berat seperti di jalan menanjang sebagai ujian kesabaran, keuletan dan ketelatenan. Setelah itu melewati jalan menurun dengan bahagia, namun harus selalu mawas diri, sebab lengah sedikit saja berpeluang terpeleset dan jatuh.
Desa Panglipuran di Kabupaten Bangli adalah salah satu desa adat dimana warganya masih melestarikan dan menjalankan budaya tradisional Bali. Arsitektur bangunan dan cara pengelolahan lahan mengikuti konsep tri hita kirana, yakni filosofi tentang keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia dan lingkungan.

Suasana di Desa Adat Panglipuran, Setiap hari selalu kedatangan wisatawan. Foto: M Yusri
Masyarakat setempat kemudian mengemas kekuatan tradisi itu menjadi kebutuhan pariwisata sehingga mampu menggaet wisatawan yang begitu banyak. Berkunjung ke Bali tanpa menyinggahi Desa Panglipuran seolah perjalanan tersebut tidak lengkap. Maraknya kunjungan wisatawan memberi keuntungan dan manfaat yang besar. Masyarakat meraup pendapatan yang besar dengan tetap melestarikan tradisi leluhur.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat pada tahun 2024, misalnya, wisatawan yang mengunjungi Desa Panglipuran sebanyak 1.023.143 orang, meliputi wisatawan asing 152.806 orang dan wisatawan domestik 870.337 orang. Khusus selama Desember 2024, jumlah wisatawan asing mencapai 5.298 orang dan wisatawan domestik 109.637 orang. Harga karcis untuk wisatawan domestic Rp 25.000 (dewasa) per orang dan Rp 15.000 (anak) per orang. Sementara wisatawan asing Rp 50.000 (dewasa) dan Rp 30.000 (anak),
Pengalaman Menarik
Dari Panglipuran kami melanjutkan perjalanan menuju finis di komplek Kompas Gramedia Bali di Jalan Ida Bagus Mantra, Ketewel, Sukawati, Kabupaten Gianyar. Rute ini masih melewati jalan menurun dengan pemandangan sawah yang apik dan hijau. Kadang terdengar suara gemercik air yang mengalir dalam selokan sawah. Suara tersebut sungguh menyenangkan dan menenangkan. Ada kenyamanan. Mungkin inilah membuat banyak orang seolah tidak pernah bosan mengunjungi Bali.

Sebagian peserta berfoto bersama penjual durian dalam perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Setelah berada di Jalan Ida Bagus Mantra, kami masih melewati jalan datar dengan berapa rolling. Arus lalu lintas pun mulai padat. Semangat peserta terus menggebu, sebab sesaat lagi mengakhiri petualangan selama tiga dari tersebut. Sekitar pukul 16.15 Wita, peserta terakhir memasuki finish. Perjalanan bersepeda yang dimulai dari Ijen, Banyuwangi pun berakhir. “Sebuah pengalaman baru, sebab selama ini saya belum pernah bersepeda di pesisir utara Bali. Ini kali pertama. Seru dan menarik,” kata Harry Wiguna, peserta asal Jakarta.
JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda
Baca juga:
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya