Sport
Jelajah IKN, Menengok Kota Masa Depan Pesepeda

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Nusantara, kota masa depan Indonesia kini menjadi magnet baru setelah Presiden Joko Widodo memutuskan memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam, Kalimantan Timur. Magnet itu kian besar lagi pasca persetujuan DPR dan di lapangan mulai menunjukkan aktivitas pembangunan. Artinya, rencana ini tidak main-main. Tidak sekedar wacana.
Kota Nusantara dirancang menjadi kota pintar yang berbasis pada hutan dan alam. Sekitar 70 persen wilayah IKN bakal berupa hutan yang ditanami berbagai jenis pohon khas Kalimantan. Hanya 30 persen menjadi kawasan perkantoran, permukiman, perkantoran, kawasan bisnis, dan fasilitas umum, seperti jalan raya, stasiun dan lainnya.
Sumber energi pun hanya berasal dari energi terbarukan. Kota ini bakal bebas polusi, sebab mobil dan motor pengguna bahan bakar minyak dilarang beroperasi. Yang lalu lalang di jalan hanya kendaraan listrik dan sepeda, serta pejalan kaki. Artinya, inilah kota masa depan bagi para pesepeda. Kota besar di Indonesia yang nyaman untuk bersepeda.
Itu sebabnya, berkali-kali Presiden Joko Widodo menegaskan, pemindahan ibu kota negara merupakan upaya membangun budaya kerja baru. Budaya kerja produktif dan sehat. Selain itu juga menghadirkan pembangunan yang Indonesia sentris, selalu menunjung tinggi keadilan dan pemerataan ekonomi.
Indonesia Sentris
Saat memaparkan tentang proyek Ibu Kota Nusantara (IKN) di depan kalangan investor di Djakarta Theater, Selasa (18/10/2022), Jokowi memulai menyapa dengan menegaskan: “Selamat Datang di Masa Depan Indonesia”.
Dalam acara yang juga dihadiri mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair ini, Presiden Joko Widodo menegaskan kembali, “Pemindahan ibu kota negara bukan sekedar memindahkan gedung kementerian. Bukan itu! Bukan juga hanya pindah istana Presiden. Bukan itu! Bukan pula memindahkan Gedung wakil presiden ke Nusantara, juga bukan itu. Bukan fisiknya yang ingin kita pindahkan. Yang ingin kita bangun adalah budaya kerja baru. Mindset baru. Dan IKN sebagai basis ekonomi baru”.
“Indonesia sebagai negara besar harus berani melangkah. Harus berani memiliki agenda besar. Dan ini adalah untuk kemajuan negara kita. Kemajuan bangsa kita. Jika kita tidak berani transformasi dari sekarang sampai kapan pun kita akan sulit menjadi negara maju,” tegas Jokowi.
Jokowi juga meminta kalangan pebisnis agar tidak perlu ragu terhadap kebelangsungan IKN. Alasannya, pemindahan ibu kota negara tersebut telah mendapat persetujuan DPR dan disahkan dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 2022. Jadi, jangan ragu. Tunggu apa lagi.

Tugu Titik Nol Nusantara menjadi magnet bagi setiap orang yang mengunjungi IKN. Foto: Jannes Eudes Wawa
Di Kota Nusantara ingin dihadirkan pembangunan yang Indonesia sentris. Mengapa? Karena negeri ini bukan hanya Pulau Jawa, melainkan memiliki 17.000 pulau. Selama ini, ekonomi Indonesia terlalu Jawa sentris. Sekitar 58 persen produk domestik bruto (PDB) ekonomi terpusat di Jawa. Bahkan, 56 persen penduduk Indonesia juga bermukim di Pulau Jawa. Betapa Pulau Jawa sangat terbebani dengan jumlah persoalan yang sangat banyak.
Maka, sudah waktunya perlu adanya kesetaraan pembangunan. Perlu pemerataan pembangunan. Hal itu ingin dihadirkan dan diwujudkan di Kota Nusantara.
Presiden Joko Widodo juga menginginkan Nusantara menjadi kota pintar masa depan yang berbasis hutan dan alam. Sebanyak 70 persen area dari wilayah Kota Nusantara berupa hutan yang ditanami pohon-pohon endemic khas Kalimantan. Kelak Kalimantan kembali menjadi hutan hujan tropis. Inilah kelebihan Kota Nusantara. Kelebihan ini tidak dimiliki kota lain di dunia.
Namun Jokowi juga mengakui, Kota Nusantara tidak bisa sepenuhnya dibiayai pemerintah. Pembangunan kota baru ini perlu dilakukan bersama melibatkan pemerintah dan swasta. Alasannya, kemampuan pemerintah hanya kebagian 20 persen. Sisanya 80 persen diharapkan investasi swasta. Itu sebabnya, pemerintah memberikan keleluasaan bagi para investor menanamkan modalnya di kawasan IKN.
“Investasi terbuka lebar mau investasi di mana. Mau di kawasan inti, ya harga beda. Di finansial center, di kawasan care center, di kawasan education center, housing area dan tourism area silahkan. Saya sampaikan ini kesempatan pertama dan emas yang tidak akan terulang lagi,” kata Jokowi.
Gebrakan Presiden Joko Widodo ini memang membanggakan. Ini adalah terobosan terbesar yang dilakukan pemerintah saat ini.
Selalu tertunda
Gagasan pemindahan ibu kota negara sebetulnya sudah berkembang sejak masa Presiden Soekarno. Konon, dalam sebuah kesempatan Presiden Soekarno berkunjung ke Jepang. Di sana, para pemimpin Jepang bercerita bahwa saat masih menjajah Indonesia, mereka pernah punya niat untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Kalimantan. Alasannya, Jakarta termasuk wilayah rawan gempa, sedangkan Kalimantan merupakan pulau bebas gempa. Pertimbangan gempa juga menjadi alasan pemerintah Jepang memindahkan ibukota negara dari Kyoto ke Tokyo.
Sekembalinya dari Jepang, Presiden Soekarno kemudian meminta dihitung titik tengah Indonesia yang ada di Kalimantan. Ditemukanlah lokasi yang dinamai Palangkaraya. Di titik itu adalah kampung ke-17 dari muara Sungai Kahayan, lalu Kalimantan Tengah menjadi provinsi ke-17. Bung Karno disebut-sebut sebagai pribadi yang cukup fanatik dengan angka 17. Itu sebabnya, Kota Palangkaraya didisain sendiri oleh Bung Karno. Namun, gagasan pemindahan ibu kota negara tidak terwujud.
Saat Soeharto berkuasa juga sempat digulirkan pemindahan ibu kota negara dari Jakarta ke Jonggol di Kabupaten Bogor. Rencana ini pun tidak tereksekusi hingga Soeharto turun dari jabatan.
Ketika Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pun sempat terhembus kabar tentang rencana pemindahan ibu kota negara. Ada yang mengusulkan di Subang. Ada pula ke daerah lain. Tetapi tidak jauh dari Jakarta. Issu ini juga tidak ditindaklanjuti.
Ketika Jokowi memasuki masa jabatan kedua, barulah gagasan pemindahan ibu kota negara dikerjakan dengan serius. Termasuk pembuatan Undang-Undang yang disetujui DPR. Bahkan, kini telah ditentukan lokasinya, mulai ada pembangunan fisik di lapangan, telah ada badan yang khusus mengelola Kota Nusantara dipimpin Bambang Susantono dan Dhony Rahajoe.

Sejumlah ruas jalan mulai dibangun di kawasan IKN. Jalur ini menghubungkan dengan Tugu Titik Nol Nusantara dan lokasi untuk pembangunan Istana Presiden. Foto: Jannes Eudes Wawa
Kumpulkan kenangan
Meski demikian, di kalangan masyarakat masih diliput rasa penasaran. Bahkan, ada pula yang meragukan kebijakan ini tetap berjalan pasca Pemilu 2024 atau setelah Jokowi tidak lagi menjadi presiden. Keraguan ini tentu akan berdampak pada semangat investasi di IKN.
Keraguan itu hanya bisa dijawab melalui dua hal. Pertama, kunjungan langsung ke lapangan untuk melihat dari dekat persiapan dan realisasi pembangunan fisik. Kedua, mendengarkan penjelasan dari pejabat yang berwenang di lokasi IKN. Hal ini sebagai upaya menumbuhkan optimisme dan kepercayaan.
Jelajah Bike, perusahaan penyelenggara event olahraga, terpanggil untuk terlibat melakukan sosialisasi dan kampanye IKN. Salah satunya yakni menggelar touring sepeda ke IKN dimulai dari Balikpapan pada 10-11 Desember 2022. Event ini akan melibatkan para pesepeda dari berbagai kota di Indonesia.
Dari Balikpapan, peserta akan singgah di hutan wisata Bukit Bangkirai di Kabupaten Kutai Kertenagara. Hutan seluas 500 hektar itu merupakan hutan hujan tropis. Di situ, ada banyak pohon bangkirai yang usianya lebih dari 150 tahun yang masih berdiri tegak.
Di atas pohon bangkirai dibangun lima unit jembatan gantung yang menghubungkan tajuk pohon satu dengan tajuk pohon bangkirai lainnya. Tinggi jembatan sekitar 30 meter dengan panjang titian 64 meter. Jembatan tajuk ini dibangun sejak tahun 1998. Kawasan hutan wisata ini menjadi bagian dari wilayah IKN.

Penulis sedang berada di atas jembatan gantung di Hutan Wisata Bukit Bangkirai. Foto: dokumen penulis
Melalui touring bernama JELAJAH IKN tersebut para pesepeda akan diajak melihat langsung perkembangan IKN. Di sana, mereka bisa mengukur keseriusan pemerintah dalam merealisasikan program tersebut.
Para pesepeda juga dapat melihat langsung kesiapan di lapangan untuk menjadikan IKN Nusantara sebagai kota masa depan yang modern dan patut dibanggakan masyarakat Indonesia.
Manfaat yang bisa diperoleh adalah menumbuhkan optimisme, kebanggaan, dan kepercayaan. Dari sana, mereka bisa membantu pemerintah menyosialisasikan kepada masyarakat tentang keseriusan membangun ibu kota baru di Kota Nusantara, Kalimantan Timur. Pewartaaan itu dilakukan melalui lisan, publikasi media massa serta media sosial.
Membuka peluang bagi masuknya investasi swasta di IKN dan sekitarnya, termasuk di Balikpapan. Hal ini dimungkinkan, sebab 65 persen pesepeda yang mengikuti event-event touring sepeda yang dilakukan Jelajah Bike dari kalangan menengah ke atas. Ini akan bisa menjawab harapan Presiden Joko Widodo yakni 80 persen investasi di IKN dari swasta.
Touring sepeda juga telah menjadi bagian dari pengumpulan kenangan hidup. Mengunjungi IKN saat ini yang wajahnya baru tertata dengan adanya monumen Titik Nol Nusantara tentu sangat menarik. Kita hadir kota ini masih berupa hutan belukar.
Mulai tahun 2023, wajah IKN pun bakal berubah sangat cepat seiring pembangunan yang masih di kawasan itu. Ketika kota ini telah menjadi wujud seperti diimpikan, lalu kita pun mendatangi lagi, maka saat itu kita memiliki cerita dan kenangan yang lebih lengkap tentang IKN. Kenangan ini menjadi warisan tidak ternilai bagi generasi kita di masa depan.
Pelaksana Tugas Bupati Penajam Paser Utara Hamdam menyambut gembira adanya event touring sepeda ke IKN dari Balikpapan. Perjalanan ini tergolong unik, sebab orang dari luar Kaltim ingin berwisata ke IKN dengan bersepeda. Pilihan ini searah dengan konsep yang ingin dikembangkan di IKN. Bukan tidak mungkin perjalanan ini juga bagian dari survei potensi bisnis.
“Kami senang sekali dan mendukung penuh rencana kegiatan ini. Semakin banyak orang datang mengunjungi IKN, terutama dari kalangan swasta akan semakin bagus. Mereka pasti bukan sekedar jalan-jalan, tetapi juga melakukan survey bisnis. IKN adalah daerah baru dengan masa depan yang luar biasa. Jadi, layak untuk investasi,” kata Hamdam.
JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda
Cyling
Tour d’ Entete: Flobamora Menggebrak Dunia

Oleh JANNES EUDES WAWA
Tidak seorang pun di Indonesia yang meragukan tentang keindahan panorama alam di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Keunggulan wilayah ini tidak semata-mata biawak raksasa Komodo, danau tiga warna Kelimutu atau Pulau Padar yang menawan. Masih banyak obyek lain baik alam maupun keunikan tradisi masyarakat yang selalu menjadi daya tarik yang besar bagi wisatawan nusantara dan mancanegara. Namun menjual potensi alam perlu dengan kerja kreatif dan inovatif.
Selama 15 tahun terakhir, pariwisata di Nusa Tenggara Timur berkembang pesat. Jumlah kunjungan wisatawan pada tahun 2010, misalnya, hanya 148.673 orang, tetapi pada, tahun 2024 mencapai 1,5 juta orang atau meningkat sekitar 900 persen.

Seekor Komodo sedang menguap di Pulau Komodo. Foto: Arsip Jelajah Sport
Kenaikan kunjungan yang sangat signifikan terjadi setelah Yayasan New7Wonders menyatakan Pulau Komodo dan Taman Nasional Komodo di Flores menjadi salah satu dari tujuh keajaiban dunia baru pada tahun 2012. Keputusan tersebut melalui pemilihan (voting) dan klarifikasi yang melibatkan jutaan pemilih dari seluruh dunia.
Sejak itu, mata dan hati warga dunia langsung tertuju ke Komodo. Pemerintah pusat pun tidak tinggal diam. Mereka melakukan sejumlah terobosan untuk membenahi Labuan Bajo sebagai pintu masuk Komodo baik infrastruktur dasar, seperti perbaikan jalan raya, penataan kota, pembangunan landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Komodo, pembenahan pelabuhan maupun kebijakan lain yang mendorong investasi swasta.
Bahkan, pemerintah pusat juga menjadikan Labuan Bajo sebagai satu-satunya kota di luar Bali dan Jakarta sebagai tempat penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi negara-negara Asia Tenggara ke-42 tahun 2023. Kegiatan itu memberikan dampak yang besar bagi pariwisata dan ekonomi di Labuan Bajo pada khususnya dan Provinsi Nusa Tenggara Timur pada umumnya. Bahkan, adanya ASEAN Summit telah menguatkan posisi Labuan Bajo sebagai destinasi wisata kelas dunia.
Hasilnya bukan semata-mata meningkatkan kunjungan wisatawan, melainkan juga maraknya investasi yang cukup signifikan di Labuan Bajo. Investasi yang paling nyata adalah hadir hotel-hotel berbintang tiga, bintang empat, bahkan bintang lima di wilayah Flores barat tersebut. Penyediaan kapal phinisi untuk melayani wisatawan juga kian banyak.
Kerja Kreatif dan Langkah Inovatif
Gubernur Nusa Tenggara Timur Melkiades Laka Lena tidak mau terlena dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan itu. Bagi dia, potensi yang dimiliki NTT saat ini seharusnya mampu menarik wisatawan yang lebih banyak lagi. Namun demikian, keinginan tersebut membutuhkan kerja kreatif dan langkah-langkah inovatif.

Labuan Bajo di Manggarai Barat, Flores, menjelang senja. Panoramanya sangat menawan. Foto: Jannes Eudes Wawa
NTT tidak semata-mata Labuan Bajo. Masih banyak potensi tersebar di Flores, Sumba, Timor serta pulau-pulau kecil lainnya yang berada di wilayah Alor, Lembata, Rote Ndao dan Sabu Raijua (Flobamora) yang memiliki potensi yang nyaris tidak sama antara satu daerah dengan lainnya.
Ada tradisi masyarakat, bahasa, rumah adat dan sistem sosial yang berbeda. Belum lagi potensi alam pantai, pesona dasar laut, pegunungan dan hamparan sabana. Semua itu dapat menjadi kekuatan yang saling menopang dan saling melengkapi. Jika itu terjadi, maka akan sangat potensial dalam menjaring wisatawan mengunjungi NTT dalam jumlah yang jauh lebih banyak lagi.
Bagi Gubernur NTT, pariwisata tidak semata-mata menjual panorama alam, kekayaan budaya dan lain sejenisnya. Pariwisata sesungguhnya dapat berkembang melalui banyak aktivitas sebagai wadah untuk memasarkan dan mempromosikan antara lain even olahraga, festival dan lainnya sekaligus menjaring wisatawan. Wisata olahraga atau sport tourism adalah pilihan yang ideal. Kolaborasi antarsektor inilah yang perlu diberdayakan dan dihidupkan di NTT.

Kampung Adat Waerebo di Kabupaten Manggarai. Letaknya di lambah pada ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut. Jelang petang suhu dingin. Wisatawan asing paling banyak mengunjungi kampung ini. Foto: Jannes Eudes Wawa
Di tingkat dunia, banyak ajang olahraga yang terbukti memacu perkembangan sektor pariwisata. Penyelenggaraan even olahraga berskala internasional yang melibatkan banyak negara selalu menciptakan kehebohan sekaligus menyedot perhatian warga dunia. Secara bertahap aktivitas itu akan menarik wisatawan.
Potensi Wisata Tersebar Merata
Itu sebabnya, Gubernur NTT Melkiades Laka Lena menggagas penyelenggaraan even balap sepeda internasional di Nusa Tenggara Timur yang melewati tiga pulau besar sekaligus yakni Timor, Sumba dan Flores. Kegiatan bernama Tour de Entete ini berlangsung pada 10-21 September 2025, memulai dari Kota Kupang dan finis di Labuan Bajo. Momentum tersebut menjadi menjadi etalase megah bagi promosi pariwisata NTT. Jelajah Sport mendapatkan kepercayaan untuk menangani event ini.
Balap sepeda jalan raya bertaraf internasional selama 10 hari ini akan melintasi berbagai destinasi dengan kekayaan alam dan budaya yang luar biasa. Tour d’ Entete memadukan olahraga dan pariwisata (sport tourism), dengan harapan menarik partisipasi pembalap dari dalam dan luar negeri.

Bukit Tanarara di Sumba Timur. Indah dan menawan. Foto: Arsip Tour d’ Entete
Melalui rute spektakuler yang membentang dari Kota Kupang hingga Labuan Bajo, Tour d’ Entete akan menghadirkan narasi baru bahwa setiap jengkal tanah di NTT memiliki cerita, setiap tanjakan dan turunan adalah cerminan dari kekayaan geografis serta karakter masyarakatnya yang tangguh dan ramah. “Ini momentum emas untuk memperlihatkan bahwa potensi pariwisata di NTT tersebar merata di semua wilayah, tidak terpusat di satu kawasan semata,” kata Melkiandes Laka Lena.
Sport tourism selalu menjadi cara yang efektif untuk mempromosikan suatu daerah, memperkenalkan daya tari wisata dan menarik wisatawan. Aktivitasnya akan memberikan dampak positif bagi perekonomian daerah, terutama sektor pariwisata, perhotelan, kuliner dan transportasi. Sport tourism juga menjadi ajang memperkenalkan budaya dan kearifan local kepada wisatawan.
1.537 Destinasi Wisata
Data Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi Nusa Tenggara Timur menyebutkan hingga tahun 2024 terdapat 1.537 destinasi wisata di NTT yang tersebar di 22 kabupaten/kota. Destinasi itu terbagi dalam tiga bagian yakni wisata alam, wisata budaya dan wisata minat khusus.
Dengan Tour d’ Entete, pemerintah setempat ingin menggabungkan keindahan alam dan kekayaan budaya NTT dengan semangat olahraga. Balap sepeda bukan hanya tentang kompetisi, tetapi juga menyuguhkan kegembiraan, memamerkan keindahan alam, atraksi visual, dan interaksi langsung dengan masyarakat. “Ini adalah cara kami merayakan NTT sambil memperkenalkannya ke panggung dunia,” jelas tambah Gubernur Melki Laka Lena.

Pantai Koka di Kecamatan Paga, Kabupaten Sikka. Pantai berpasir putih berbentuk hati. Potensi ini belum tergarap. Foto: Arsip Tour d’ Entete
Tour d’ Entete juga menjadi momentum strategis Pemerintah Provinsi NTT untuk mendorong perhatian pemerintah pusat terhadap kondisi infrastruktur jalan dan jembatan di NTT. Dengan rute yang melintasi berbagai wilayah, maka membutuhkan akses yang baik dan aman, maka membutuhkan dukungan penuh dari pemerintah pusat. Infrastruktur berkualitas akan membuka peluang bagi sektor pariwisata berkembang pesat. Inilah salah satu manfaat yang bakal dinikmati masyarakat.
Jangan Lewatkan!!
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.
Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.
Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike
“Rolling” Lagi
Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.
Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike
Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.
Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram
Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.
Touring kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.
Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.
Kecerdikan Sultan
Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.
Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike
Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.
Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.
“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike
Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.
Menuju Yogyakarta
Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike
Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Bali Yang Sulit Terlewatkan

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Sudah berada di Banyuwangi tanpa menuju ke Bali yang ada di depan mata rasanya perjalanan ini kurang sempurna. Pulau Dewata adalah surganya wisatawan dunia. Setiap hari puluhan pesawat berbadan lebar dari segala penjuru dunia mengatarkan ribuan wisatawan asing mengunjungi Bali. Kami pun tidak mau melewatkan kesempatan ini: mengayuh sepeda masuk ke Bali.
Saya sebenarnya sudah sering menyeberangi Selat Bali dari Pelabuhan Ketapang Banyuwangi ke Pelabuhan Gilimanuk, Negara, Bali, atau sebaliknya. Semuanya menggunakan mobil. Baru pada Sabtu, 9 November 2024 dengan mengayuh sepeda. Tidak ada perbedaan yang mencolok, tetapi menaiki kapal fery dengan bersepeda terasa banget sensasinya. Saat mengayuh menuju kapal suasana hati terasa lebih bebas seluas bentangan alam raya yang di depan mata.

Pelabuhan Penyeberangan Ketapang, Kabupaten Banyuwangi, Sabtu (9/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Sabtu pagi itu, kami melanjutkan perjalanan bersepeda hari kedua dalam Jelajah Banyuwangi-Bali. Tujuannya adalah Lovina, Kabupaten Buleleng, Bali. Sesuai jadwal, kapal fery yang kami tumpangi akan mengangkat jangkarnya tepat pukul 07.00 WIB atau 08.00 Wita di Bali. Sebelum itu, kami perlu melakukan pelaporan (check in) tiket di gerbang masuk pelabuhan dan menunggu atrian pelayaran.
Itu sebabnya, sekitar pukul 06.00 WIB, kami sudah bersiap diri di depan Hotel Santika Banyuwangi. Tas pakaian dan tas sepeda (bike box) sudah berada dalam mobil panitia untuk diangkut menuju Lovina. Tidak lama kemudian, kami mulai bersepeda menuju ke Pelabuhan Ketapang.
Jarak dari Hotel Santika ke Pelabuhan Ketapang kurang lebih 13,5 kilometer. Kami hanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit menyelesaikan rute pendek ini. Di Pelabuhan, langsung menuju ke gerbang untuk check in tiket, setelah itu petugas mengarahkan kami ke tempat tunggu sambil membawa sepeda masing-masing. Dia akan menyilakan naik kapal jika waktunya sudah tiba.
Suhu Panas
Suhu pagi itu sudah mulai panas. Mungkin karena Banyuwangi berada di tepi pantai sehingga suhu panasnya terasa menyengat. Hannar Yogia, pesepeda asal Bandung sempat bergurau, “Sekarang baru jam 06.40 (WIB), tetapi suhunya terasa seperti sudah di atas jam 09.00 (WIB)”.
Menjelang pukul 07.00 WIB, petugas menyuruh kami bergerak menuju kapal. Saat yang sama, mobil dan motor pun demikian. Kapal yang kami tumpangi itu mengangkut 12 unit mobil dan 20 unit mobil. Penumpang hanya sekitar 100 orang. Kapal fery yang melayani penyeberangan Ketapang-Gilimanuk berlangsung setiap saat. Lama pelayaran berkisar 40-60 menit. Kadang bisa lebih lama tergantung kondisi cuaca dan arus laut.

Sepeda saat dalam kapal fery Ketapang-Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Akan tetapi, kapal kami membutuhkan waktu sekitar 75 menit baru merapat di Pelabuhan Gilimanuk. Entah apa penyebabnya. Padahal, ada dua kapal yang berangkat dari Ketapang terlambat, malah tiba terlebih dahulu. Proses penurunan kendaraan bermotor dan penumpang dari kapal cukup singkat, sekitar 20 menit. Setelah berada di darat, kami perlu regrouping. Setelah semua peserta berkumpul barulah memulai mengayuh sepeda di Bali. Saat itu waktu sudah pukul 09.40 Wita atau terlambat sekitar 45 menit dari yang ditargetkan panitia.
Kami pun bergerak menuju persimpangan Gilimanuk. Pertigaan itu menghubungkan lintas selatan dan lintas utara. Kami memilih belok ke kiri melewati pesisir utara. Rute pantai utara ini menuju ke Pemuteran, Lovina, Buleleng, Singaraja hingga Amed. Jalur ini relatif sepi dari lalu lintas kendaraan bermotor. Kondisi jalan beraspal mulus. Kendaraan mulai sedikit ramai setelah memasuki kawasan Lovina.

Saat meninggalkan kawasan Gilimanuk menuju Lovina, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Kendaraan dari Pulau Jawa yang menuju ke Denpasar, Kuta, Legian, Nusa Dua, Sanur dan lainnya atau sebaliknya melewati lintas Selatan. Mobil pribadi, truk gandeng, kendaraan besar dan sepeda motor cenderung melewati jalur ini sehingga ramai dan padat. Di jalur ini juga ada jalan berkelok, tanjakan dan turunan di sejumlah titik. Kondisi jalan beraspal mulus. Ada hamparan sawah dalam lahan-lahan terasering yang tertata rapih.
Jalan Lurus dan Datar
Perjalanan kami siang itu melewati pantai utara sungguh menarik, sebab jalannya lurus dan mendatar tetapi juga menantang. Tantangan terberat adalah menghadapi suhu udara yang semakin panas dan menyengat. Sengatan sinar matahari dengan suhu di atas 32 derajat celcius membuat rombongan yang semula menyatu dalam satu barisan mulai terpecah dalam beberapa kelompok sesuai kemampuan fisik masing-masing. Ada kelompok yang terus melaju kencang, terutama mereka yang menggunakan sepeda balap (road bike). Ada pula yang berhenti beberapa kali untuk istirahat sejenak agar dapat memulihkan fisik yang kelelahan. Kelompok ini menunggangi sepeda gunung dan sepeda lipat.
Mengayuh sepeda di jalan rata dan lurus tidak otomatis menyenangkan. Kadangkala jalan lurus yang terlalu panjang juga bisa membosankan. Kondisi ini perlu ditangani dengan baik sehingga semangat bersepeda tetap menyalah.

Berada dalam kapal fery dari Ketapang menuju Gilimanuk, Sabtu (9/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Saya bersama Donkun, om Joko Kus Sulistyoko, Wahyudin alias Mangdin bersama Rokhmat P Nugroho selaku sweepper akhirnya menjadi kelompok terakhir. Selama perjalanan kami terus memantau penjualan buah durian. Informasi yang kami dapatkan dari beberapa warga di Pemuteran bahwa Bali mulai memasuki musim durian. Kabar itu menyemangati kami untuk segera menikmatinya.
Menjelang Lovina akhirnya impian kami terjawab. Di sisi kanan jalan, ada pedagang menjual buah durian. Jumlahnya terbatas, mungkin hanya belasan buah. Saat kami tiba, sudah ada empat orang pelintas juga berhenti dengan maksud yang sama yakni membeli buah durian. Mereka hanya membeli tiga buah. Sisanya 10 buah kami memborong semua. Ukurannya hanya 3 buah yang sedang, lainnya agak kecil. Tetapi dagingnya bagus. Warna kuning dan tebal. Kami merasa sungguh beruntung dapat menikmati durian pada hari itu.
Lumba-lumba Lovina
Tidak lama setelah itu hujan deras mengguyur Lovina dan sekitarnya. Kami terus mengayuh sepeda sambil menikmati guyuran air dari langit ini sebagai berkah dan rahmat. Sekitar pukul 16.00 Wita, kelompok terakhir ini memasuki Hotel New Sunari Lovina, tempat finis hari kedua dan menjadi lokasi penginapan peserta Jelajah Banyuwangi-Bali. Jarak dari Pelabuhan Gilimanuk hingga di hotel ini mencapai 79,2 kilometer.
Lovina termasuk salah satu tempat wisata favorit di Bali. Pantai yang bersih, sepi dan damai, lautnya memiliki terumbu karang yang indah. Terpenting lagi melalui pantai Lovina, wisatawan dapat menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba. Kawanan mamalia laut ini sangat cerdas dan hidup dengan bebas. Lumba-lumba di Pantai Lovina sudah mendapatkan perlindungan melalui peraturan pemerintah setempat sehingga tidak ada orang yang boleh menangkap dan menjualnya.

Sejumlah wisatawan menaiki kapal di Pantai Lovina untuk menuju ke tengah laut untuk menyaksikan atraksi ikan lumba-lumba, Minggu (10/11/2024) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Untuk menyaksikan atraksi lumba-lumba di tengah laut, wisatawan harus menyewa perahu khusus yang sudah disediakan pihak pengelola. Satu perahu menampung empat hingga lima orang, dengan biaya sekitar Rp 60.000 per orang. Perahu akan membawa ke area lautan yang biasanya banyak bermunculan lumba-lumba. Ikan ini muncul sekitar pukul 06.00 – 09:00 Wita. Wisatawan wajib datang sebelum waktu tersebut agar melihat momen spesial yang jarang ditemukan di pantai lainnya di Bali. Waktu terbaik untuk melihat lumba-lumba di Pantai Lovina yakni selama musim kemarau, sekitar April hingga Oktober.
Menuju Kintamani
Keesokan harinya, Minggu (10/11/2024), kami melanjutkan touring sepeda menuju Ketewel, Kecamaten Sukawati, Kabupaten Gianyar. Perjalanan ini melewati kota Singaraja, Puncak Penulisan, Kintamani dan Desa Panglipuran. Posisi Penulisan dan Kintamani berada pada ketinggian sekitar 1.500-1.750 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Di masa awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Bali utara, khususnya Singaraja menjadi pusat pemerintahan dari Provinsi Sunda Kecil yang meliputi Pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, Timor, Kepulauan Alor, Rote dan Sabu. Ketika itu, Indonesia hanya terdiri atas delapan provinsi, yakni Sumatera, Borneo, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi, Maluku dan Sunda Kecil. Sejak tahun 1958, terjadi pemekaran menjadi tiga provinsi yakni Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur seperti yang ada saat ini.

Perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari penginapan, kami melewati jalan mendatar dengan ketinggian tidak lebih dari 200 meter di atas permukaan laut melewati Singaraja hingga di pertigaan Boengkoelan sekitar 20,3 kilometer. Perjalanan kemudian belok ke kanan, dan sekitar 50 meter di depan langsung menghadapi tanjakan. Kemiringan tanjakan ini mula-mula masih ringan, tetapi semakin maju tampak mulai berat. Apalagi posisi Puncak Penulisan berada pada ketinggian 1.745 mdpl.
Jalan yang kami lewati termasuk salah satu jalur pintas dari wilayah utara menuju ke wilayah selatan Bali. Jalannya berkelok dan beraspal mulus. Sepanjang perjalanan warga setempat menjual aneka buah, antara lain durian, mangga, pepaya, salak, apel, pisang, jeruk dan buah naga. Buah-buahan ini umumnya hasil produksi petani di Bali.
Menikmati Kabut
Sejumlah peserta beberapa kali berhenti. Selain untuk mengatur kekuatan fisik dan pernafasan, juga ingin menikmati buah durian yang umumnya matang pohon. Sekitar lima kilometer menjelang Puncak Penulisan suhu udara mulai dingin dan berkabut. Suasana ini sungguh menyenangkan bagi peserta dari wilayah Jabodetabek yang tiap hari menghadapi suhu udara yang panas.
Tanjakan menuju Puncak Penulisan mencapai sejauh 25 kilometer. Suhu udara yang adem membuat jarak yang lumayan jauh tidak menjadi penghalang bagi peserta mengayuh sepeda. “Lumayan berat tanjakan ini, tetapi suhu udaranya adem membuat saya tidak terlalu kelelahan. Malah membuat saya sangat menikmatinya,” kata Hengki Dorias, asal Jakarta.

Menjelang Puncak Penulisan tampak penjor di kiri dan kanan jalan. Inilah pemandangan khas Bali. Foto: Arsip Jelajah Bike
Sekitar pukul 13.30 Wita, semua peserta sudah melewati Puncak Penulisan dan tiba di Kintamani. Saat itu terjadi hujan yang lumayan deras. Kami berteduh sekaligus menikmati suasana dingin dan sejuk di salah satu kawasan tinggi yang terkenal memiliki keindahan alam yang menarik, seperti Gunung Batur dan Danau Batur. Ketinggian Kintamani sekitar 1.500 mdpl.
Panorama Kintamanijuga seakan menegaskan bahwa Bali sebagai daerah tujuan utama wisatawan dunia tidak semata-mata memiliki keindahan pantai dan kehijauan alam, pemandangan sawah tersering yang indah. Bali juga memiliki kawasan pegunungan berhawa sejuk dan berkabut. Selama bulan Agustus hingga Maret, kabut tebal menyelimuti Kintamani pada pagi hingga siang hari. Puncaknya pada November hingga Februari, kabut selalu lebih tebal lagi.
Daya Tarik Panglipuran
Dari Kintamani, perjalanan kami menuju Desa Penglipuran. Kali ini rutenya menurun sejauh kurang lebih 29 kilometer. Memang mengayuh sepeda ini seperti roda kehidupan. Ada saat kita harus melewati fase-fase yang berat seperti di jalan menanjang sebagai ujian kesabaran, keuletan dan ketelatenan. Setelah itu melewati jalan menurun dengan bahagia, namun harus selalu mawas diri, sebab lengah sedikit saja berpeluang terpeleset dan jatuh.
Desa Panglipuran di Kabupaten Bangli adalah salah satu desa adat dimana warganya masih melestarikan dan menjalankan budaya tradisional Bali. Arsitektur bangunan dan cara pengelolahan lahan mengikuti konsep tri hita kirana, yakni filosofi tentang keseimbangan hubungan antara Tuhan, manusia dan lingkungan.

Suasana di Desa Adat Panglipuran, Setiap hari selalu kedatangan wisatawan. Foto: M Yusri
Masyarakat setempat kemudian mengemas kekuatan tradisi itu menjadi kebutuhan pariwisata sehingga mampu menggaet wisatawan yang begitu banyak. Berkunjung ke Bali tanpa menyinggahi Desa Panglipuran seolah perjalanan tersebut tidak lengkap. Maraknya kunjungan wisatawan memberi keuntungan dan manfaat yang besar. Masyarakat meraup pendapatan yang besar dengan tetap melestarikan tradisi leluhur.
Badan Pusat Statistik Provinsi Bali mencatat pada tahun 2024, misalnya, wisatawan yang mengunjungi Desa Panglipuran sebanyak 1.023.143 orang, meliputi wisatawan asing 152.806 orang dan wisatawan domestik 870.337 orang. Khusus selama Desember 2024, jumlah wisatawan asing mencapai 5.298 orang dan wisatawan domestik 109.637 orang. Harga karcis untuk wisatawan domestic Rp 25.000 (dewasa) per orang dan Rp 15.000 (anak) per orang. Sementara wisatawan asing Rp 50.000 (dewasa) dan Rp 30.000 (anak),
Pengalaman Menarik
Dari Panglipuran kami melanjutkan perjalanan menuju finis di komplek Kompas Gramedia Bali di Jalan Ida Bagus Mantra, Ketewel, Sukawati, Kabupaten Gianyar. Rute ini masih melewati jalan menurun dengan pemandangan sawah yang apik dan hijau. Kadang terdengar suara gemercik air yang mengalir dalam selokan sawah. Suara tersebut sungguh menyenangkan dan menenangkan. Ada kenyamanan. Mungkin inilah membuat banyak orang seolah tidak pernah bosan mengunjungi Bali.

Sebagian peserta berfoto bersama penjual durian dalam perjalanan dari Lovina menuju Kintamani, Minggu (10/11/2024). Foto: Arsip Jelajah Bike
Setelah berada di Jalan Ida Bagus Mantra, kami masih melewati jalan datar dengan berapa rolling. Arus lalu lintas pun mulai padat. Semangat peserta terus menggebu, sebab sesaat lagi mengakhiri petualangan selama tiga dari tersebut. Sekitar pukul 16.15 Wita, peserta terakhir memasuki finish. Perjalanan bersepeda yang dimulai dari Ijen, Banyuwangi pun berakhir. “Sebuah pengalaman baru, sebab selama ini saya belum pernah bersepeda di pesisir utara Bali. Ini kali pertama. Seru dan menarik,” kata Harry Wiguna, peserta asal Jakarta.
JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda
Baca juga:
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya