Perjalanan
Catatan Royke Lumowa (9): Jiwaku Bergetar di Laos

Catatan ROYKE LUMOWA (9)
Hari Ulang Tahun ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia, Selasa 17 Agustus 2023 ini sungguh istimewa untuk saya. Baru pertama kali saya merayakannya di luar negeri. Di Laos pula. Semakin seru lagi saya berada di Laos melalui bersepeda dari Jakarta dalam perjalanan menuju Paris. Ini momentum yang langka. Mungkin terjadi hanya sekali dalam hidup saya.
Pagi harinya, saya memperingati HUT RI ini dengan acara yang sangat sederhana. Saya gowes dulu sejauh 17 kilometer dari hotel. Di titik itu, saya berhenti sejenak kemudian menyanyikan lagu Indonesia Raya, dan mengakhirinya dengan memekikkan yel: Merdeka sebanyak tiga kali.
Baru kali ini saya merayakan HUT RI seperti ini. Bertahun-tahun sejak sekolah hingga berdinas sebagai polisi, peringatan kemerdekaan RI saya lalui dengan kemeriahan, penuh suka cita dan hadir banyak orang.

Memasang bendera merah putih di tempat parkir mobil saat berada di Laos. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Tahun ini saya melakukan seorang diri. Di tepi Sungai Mekong pula. Sungguh terharu dan menggetarkan jiwa! Saya tetap menjadikan momentum ini untuk memompa sekaligus membakar semangat sehingga terus laju mengayuh sepeda hingga di Paris sesuai rencana.
Setelah itu, saya melanjutkan mengayuh sepeda menuju Golden Triangle sejauh 60 kilometer. Di sana, ada titik dimana Sungai Mekong yang mengalir dari utara membelok ke timur. Lengkungan itu berada di barat laut Laos, timur Myanmar dan utara Thailand. Di titik itulah menjadi kawasan perbatasan Thailand, Laos dan Myanmar. Aliran Sungai Mekong yang memisahkan wilayah ketiga negara ini.
Segitigas emas
Sungai Mekong berhulu di Tibet. Dari sana, airnya mengalir melewati Yunan (China) terus menuju ke Myanmar, Laos, Thailand, Kamboja dan Vietnam dengan panjang kurang lebih 4.350 kilometer. Termasuk salah satu Sungai terpanjang di dunia. Sungai Mekong juga memiliki wilayah jangkauan seluas 795.000 kilometer persegi.

Sungai Mekong yang menjadi pembatas wilayah Laos dan Thailand. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Di masa lampau merupakan segitiga emas perdagangan opium sehingga orang menyebutnya golden triangle. Konon kabarnya kawasan pegunungan di wilayah itu merupakan penghasil opium terbesar di dunia, sekitar 75 persen. Buah opium menjadi bahan baku pembuatan morfin dan heroin.
Di sana, ada museum opium. Ada pula tugu perbatasan ketiga negara serta patung Budha raksasa. Hal itu menjadi daya tarik bagi wisatawan. Pengunjung terbanyak berasal dari China.
Saat ini, di Golden Triangle Laos dibangun kota baru yang lebih modern. Ada banyak hotel berbintang dan apartemen. Investor terbanyak juga dari China. Pembangunan kota masih terus berlangsung.
Meski demikian, posisi golden triangle ini tergolong wilayah pelosok Laos. Itu sebabnya, kondisi jalan raya menuju wilayah tersebut cukup minim. Di mana-mana masih dijumpai kerusakan jalan. Masih ada jalan tanah sehingga saat hujan menjadi becek dan saat musim panas sangat berdebu. Di kiri dan kanan jalan pun belum dilengkapi saluran air sehingga memperparah keadaan tersebut.
Dalam perjalanan dari Golden Triangle menuju penginapan, saya menghadapi hujan cukup lebat. Saya memilih tetap gowes meski menghadapi kondisi jalan yang agak becek.

Bersepeda di tengah hujan saat perjalanan di utara Thailand menuju perbatasan dengan Laos. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Sistem kanan
Saya memasuki wilayah Laos pada Selasa, 15 Agustus 2023 pagi. Hari itu, sejak pukul 04.30, saya bersepeda dari kota Chun, dan tiba di pintu perbatasan Chiang Khong (Thailand)- Huasai (Laos) kurang lebih pukul 10.00.
Sebelum memasuki area border, saya dan kru sempat menyanyikan lagu Indonesia Raya dan mendengarkan lagu kebangsaan Thailand via telepon genggam. Ini sebagai tanda kami resmi akan meninggalkan Thailand, dan melanjutkan petualangan ke negara berikutnya, yakni Laos.
Proses pelaporan di imigrasi dan bea cukai Chiang Khong berjalan lancar. Petugas kemudian membukakan pintu batas negara pun untuk kami. Keluar dari Laos langsung menghadapi jembatan Sungai Mekong yang membelah garis perbatasan wilayah Thailand dan Laos.
Lebar Sungai Mekong di perbatasan Thailand dan Laos ini tergolong cukup pendek: hanya sekitar 15 meter. Selepas sungai, kami langsung berada dalam border Laos, yakni kawasan Huasai untuk melapor diri: dilakukan cap paspor di Imigrasi, lalu cap dokumen untuk mobil pengiring pada Bea dan Cukai setempat. Prosesnya berjalan lancar dan tidak memakan waktu lama sehingga sekitar pukul 11.15 sudah keluar dari border Laos. Laos menjadi negara kelima yang saya singgahi.

Laos menerapkan sistem lalu lintas di kanan, sama seperti di Eropa. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Begitu memasuki wilayah Laos, petugas langsung mengarahkan kami melewati jalur sebelah kanan. Hal itu terjadi karena lalu lintas di Laos menerapkan sistem kanan, berbeda dengan Indonesia yang menggunakan sistem kiri. Sistem lalu lintas di Laos sama seperti di Eropa. Jadi, selama di Laos bisa menjadi kesempatan belajar untuk menyiapkan diri menghadapi sistem lalu lintas di Eropa.
Kami inap pada salah satu penginapan yang letaknya tidak lebih dari satu kilometer dari border, tetapi masih dalam kota Huay Xai. Total perjalanan hari itu sekitar 115 kilometer, tetapi saya memutuskan gowes hanya sampai di kilometer 80.
Selanjutnya loading, sebab pukul 14.00 saya harus menghadiri acara keluarga di rumah saya di Jakarta melalui virtual. Puji Tuhan semuanya berjalan lancar dan aman. Waktu di Laos sama dengan waktu Indonesia bagian barat dan Thailand.
Masalah sampah
Suasana lalu lintas di Huasai ini cukup mengagetkan juga. Di banyak titik terdapat kerusakan jalan. Sampah banyak berserakan di tepi jalan. Para pengendara sering melawan arus. Hal seperti ini sama sekali tidak tampak selama perjalanan dari Singapura, Malaysia hingga Thailand.
Maka begitu menyaksikan kenyataan ini di Laos sungguh mengagetkan juga, sebab jauh di bawah ekspektasi saya. Ada perbedaan yang sangat mencolok di wilayah Laos dan Thailand. Di wilayah Thailand, meski jauh dari perkotaan, tapi daerah-daerah itu tertata rapi dan bersih. Masyarakatnya bersahabaja dan memiliki disiplin tinggi dalam berlalu lintas.
Rabu, 16 Agustus 2023 yang lalu saya memanfaatkan kesempatan ini untuk pemulihan fisik. Saya istirahat total di penginapan. Hanya tidur dan makan.
Penginapan di Huasai ini cukup bagus. Tarifnya sekitar Rp 500.000 per malam jika dalam kurs rupiah. Jika dibandingkan dengan fasilitas kamar, maka harga ini sangat murah. Di Indonesia, fasilitas kamar seperti ini mungkin harganya lebih mahal.
Tanjakan di utara Thailand
Perjalanan dari Bangkok menuju ke utara Thailand memang menarik. Misalnya, dari Noen Sawan menuju Hat Kruat pada Sabtu, 12 Agustus 2023 sejauh 164 kilometer. Ruas jalan yang ada lebar. Setiap jalur selalu memiliki tiga lajur utama dan bahu jalan. Jalan sejauh 164 kilometer itu pun beraspal mulus.
Bahkan, di setiap kawasan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) tersedia café dan restoran, mirip seperti rest area jalan tol di Indonesia. Saya pun berhenti beberapa kali untuk istirahat sejenak dan makan, sebab di jalur ini jarang tersedia warung di tepi jalan.
Sekitar pukul 16.00, saya sudah masuk penginapan di Hat Kruat. Waktu tiba lebih cepat, sebab saya memulai bersepeda sejak pukul 04.30 seperti pada hari-hari sebelumnya. Hat Kruat berada di Distrik Mueang Uttaradit, Provinsi Uttaradit.
Hari berikutnya, yakni Minggu, 13 Agustus 2023 dalam rute Hat Kruat menuju Song, Provinsi Phray sejauh 123 kilometer, saya beberapa kali melewati tanjakan dengan total ketinggian (elevation gain) mencapai 654 meter. Kondisi jalan pun beraspal mulus. Rambu lalu lintas pun terpasang dimana-mana.
Masyarakat Thailand tergolong sangat disiplin dan patuh terhadap peraturan lalu lintas. Itu sebabnya jarang terjadi kecelakaan lalu lintas. Antara pelanggaran dan kecelakaan lalu lintas memiliki korelasi yang erat. Setiap kecelakaan umumnya didahului dengan pelanggaran. Maka, kalau tidak ada pelanggaran otomatis takkan terjadi kecelakaan lalu lintas.

Hamparan sawah di utara Thailand. Wilayah ini termasuk salah satu sentra produksi padi di negera itu. Foto: dokumentasi Royke Lumowa.
Yang menarik di pagi itu adalah saya menikmati pemandangan persawahan yang luas dan indah. Ada para petani sedang menuju sawah. Ada pula yang sedang bekerja. Tanaman padi tampak hijau dan subur. Suasana ini mirip seperti di Bali atau Jawa Tengah.
Tidak lama kemudian tampak ada rambu lalu lintas yang mengingatkan akan adanya tanjakan. Benar saja, tidak jauh dari situ mulai ada tanjakan. Jaraknya sekitar satu kilometer dengan kemiringan sekitar 10 derajat.
Memang tidak berat jika dibandingkan dengan banyak tanjakan di Indonesia, seperti arah Kintamani di Bali, atau ke puncak Bogor. Tetapi, selama bersepeda dari Singapura, lalu Malaysia hingga selatan Thailand, saya tidak pernah menghadapi tanjakan sehingga kondisi ini perlu dihadapi dengan bersemangat tinggi.
Penataan kontur jalan
Saya sungguh menikmati perjalanan ini. Saat melewati tanjakan itu, saya menikmati suhu udara yang sangat sejuk dan segar. Tampak pemandangan perbukitan dan keindahan alam khas dataran tinggi yang menyegarkan mata.
Meski jaraknya sudah cukup jauh dari Bangkok, tetapi penataan jalan tetap bagus. Pemerintah setempat selalu memapas jalan tanjakan agar kemiringannya tidak tinggi. Memangkas tebing dan meluruskan jalan yang berlekuk, dan jurang membangun jembatan. Singkatnya, kondisi jalan dibuat sedemikian rupa agar nyaman bagi para pengendara sehingga terhindar dari kecelakaan lalu lintas.

Berada pada ketinggian dalam perjalanan di wilayah utara Thailand. Udaranya segar dan sejuk. Foto: dokumentasi Royke Lumowa.
Siang itu, saya kesulitan mendapatkan warung di tepi jalan. Yang ada tetapi lokasinya agak jauh. Sementara saya mulai lapar. Apalagi saya memulai gowes pada pukul 04.30 demi efisiensi tenaga sehingga tidak terkuras habis akibat paparan panas mentari di siang hari.
Menjelang tiba di Song, kami menemukan sebuah restoran eropa yang berada di tengah sawah. Kami makan di situ. Pemiliknya adalah suami-istri yang pernah bersekolah kuliner di Swiss. Dalam hamparan cukup luas itu, mereka memilihara sapi Australia dalam kandang.
Daging yang disajikan dalam restoran ini bersumber dari sapi hasil pelihara. Pasangan ini juga menjadi tukang masak sekaligus pelayan. Makanannya enak dan lezat. Cocok sekali dengan lidah orang Indonesia.
Tiba di Song masih siang. Kami akhirnya memutuskan mengunjungi rumah milik salah seorang pesepeda asal Song bernama Fo yang saya jumpai saat menjajal jalur sepeda (Sky Line) Suvarnabhuni di Bangkok. Saat itu, kami berkenalan, dan Fo memberikan alamat rumahnya di Song, dan mengharapkan saya mengunjungi rumah yang dihuni ibunya.
Kebetulan 12 Agustus merupakan hari libur nasional di Thailand. Tanggal itu adalah hari ulang tahun permaisuri raja Thailand sehingga pemerintah menetapkan sebagai hari ibu, yang mana menjadi sebagai hari libur nasional. Fo memutuskan mudik saat liburan tersebut sehingga meminta saya mengunjungi rumahnya saat berada di Song.
Sore itu, saya dan kru pun mengunjungi rumah ibunda Fo di Desa Bhan Nun Thai. Begitu tiba di rumah, Fo sudah ada bersama ibunya. Mereka menerima kami dengan sangat ramah, dan bersahaja. Mereka menaruh rasa hormat, sebab saya memenuhi janji untuk mengunjungi rumah sang ibunda.

Sempat mengunjungi pasar tradisional di utara Thailand. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Fo sempat mengajak saya mengunjungi sebuah bendungan di desa itu bernama Nam Mai. Bendungan tertata bagus dan indah. Airnya bersih. Air dari bendungan itu juga dialirkan ke permukiman, perkantoran dan lain sebagainya, selain untuk persawahan. Wisatawan selalu mengunjungi bendungan ini,
Song sebetulnya kota kecil. Tidak banyak kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tapi tersedia lampu lalu lintas. Warga setempat pun sangat patuh terhadap peraturan lalu lintas. Jika lampu merah, pengendara kendaraan bermotor pun berhenti. Kondisi ini jauh berbeda dengan di Indonesia.
Tunggu jadwal masuk China
Hari berikutnya, Senin 14 Agustus 2023, saya mengayuh sepeda dari Song menuju Chun, Phayau sejauh 124 kilometer. Rute hari ini cukup berat, sebab melewati tanjakan yang lebih banyak lagi. Total ketinggian mencapai 1.208 meter atau dua kali lipat dibanding sehari sebelumnya.
Saya memutuskan berangkat lebih pagi juga, yakni pukul 04.30. Sepanjang perjalanan menghadapi hujan cukup lama. Saya terus mengayuh, terus melaju. Jalan naik dan turun yang terus-menerus tidak menjadi penghalang. Beberapa kali menghadapi tanjakan yang langsung diikuti turunan panjang sehingga tidak banyak menguras tenaga. Malah membuat waktu tempuh lebih cepat. Saya tiba di Chun sekitar pukul 14.00.
Kali ini saya mendapatkan penginapan yang kurang begitu nyaman. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya dimana penginapan sederhana, tetapi suasana di dalamnya terasa nyaman.
Di penginapan itu, saya melihat dua ekor anjing yang lucu. Sebagai penyuka anjing, saya senang sekali dan sempat bermain dengan kedua ekor anjing itu.
Malam hari saat menjelang tengah malam, salah satu di antaranya menggonggong keras sekali. Posisinya tidak jauh dari kamar saya. Terasa sangat mengganggu.
Akhirnya saya pun keluar kamar, dan mengingatkan anjing itu berhenti menggonggong. Ternyata dia patuh juga. Dalam hati saya berkelakar, jangan-jangan anjing itu mengerti juga bahwa yang memintanya berhenti menggonggong adalah orang Manado. Dia khawatir juga kalau bandel, hahahaha ….

Melewati sebuah bangunan yang unik dan menarik di Laos selatan. Foto: dokumentasi Royke Lumowa
Saya masih bertahan cukup lama di Laos sebelum masuk ke China. Selama beberapa hari ini saya bakal bersepeda ke sejumlah tempat. Tetapi tidak mengunjungi Kota Vientiane, ibu kota negara Laos, sebab jarak dari Huasai sekitar 650 kilometer.
Saya akan masuk China melalui border Boten di utara Laos, lalu menuju wilayah Mohan, Yunnan, China. Jarak dari Huasai menuju Boten sekitar 221 kilometer atau gowes selama dua hari. Sesuai jadwal, saya baru diizinkan masuk wilayah China pada 22 Agustus 2023 pukul 09.00 waktu setempat. (bersambung)
Editor: JANNES EUDES WAWA
Jangan Lewatkan!!!
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.
Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.
Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike
“Rolling” Lagi
Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.
Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike
Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.
Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram
Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.
Touring kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.
Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.
Kecerdikan Sultan
Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.
Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike
Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.
Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.
“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike
Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.
Menuju Yogyakarta
Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike
Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.
Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu, Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.
Naik dan Turun
Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.
Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.
Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.
“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.
Padi Menguning
Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike
Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.
Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.
I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.
“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.
Candi Gedong Songo
Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.
Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa. Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa
Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.
Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840 dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.
Tujuan Wisata
Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.
Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike
Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.
“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.
Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.
Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.
Terapit Dua Gunung
Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.
Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.
Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.
Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Nama Jatiluhur sudah lama melegenda. Pemicu utama yakni adanya waduk terbesar di Indonesia yang memiliki kapasitas tampungan air sekitar 2,4 miliar meter kubik dengan genangan seluas 82 kilometer persegi. Di sana juga ada pembangkit listrik tenaga air yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 187,5 megawatt (MW). Popularitas Jatiluhur itu selalu memunculkan rasa penasaran setiap orang untuk mengunjungi dan menjelajahi wilayah ini.
Rasa penasaran tersebut akhirnya terbayar melalui event Susur Jatiluhur pada Sabtu, 22 Februari 2025. Jelajah Bike selaku penyelenggara menawarkan rute dengan jarak sejauh 34 kilometer atau hanya sebagian kecil dari keseluruhan waduk, namun melewati beberapa titik strategis bendungan, seperti pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Djuanda.

Pangi Syarwi atau Ipang bersama pesepeda lainnya berfoto di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur
“Saya sudah cukup lama penasaran dengan waduk Jatiluhur. Namanya melegenda. Sejak masih sekolah dasar (SD) di Sumatera Barat, waduk Jatiluhur selalu menjadi materi pembelajaran. Ketika berada di Jakarta, selalu terbesit keinginan mengunjungi Jatiluhur, tetapi selalu gagal. Event Susur Jatiluhur ini saya jadikan sebagai momentum yang ideal,” ujar Pangi Syarwi alias Ipang, pengamat politik yang gemar bersepeda jarak jauh.
Semula panitia ingin memilih rute yang dapat mengitari seluruh area waduk agar para pesepeda dapat merasakan sensasi dari kemegahan Jatiluhur. Melalui google maap tampak ada jalur jalan yang terhubung. Namun setelah didalami di lapangan ternyata jalan yang ada umumnya masih makadam, yakni jalan yang terbuat dari batu pecah atau kerikil yang dipadatkan.
Itu sebabnya mereka memilih rute pendek, yakni 55 kilometer, tetapi dapat melewati sejumlah titik yang menjadi kekuatan daya tarik Jatiluhur. Rute ini mungkin juga belum ideal, sebab melewati sejumlah titik dengan kondisi jalan yang masih makadam. Akan tetapi jalur jalan yang ada di Jatiluhur umumnya masih seperti itu.
Daya Tarik Jatiluhur
Pihak Jelajah Bike kemudian mengkaji kembali rute yang telah terpilih. Pertimbangan utama adalah start dan finish di Restoran Sambel Hejo Sambel Dadak (SHSD) Ciganea dekat pintu tol Jatiluhur. Panitia menargetkan finish paling lambat pukul 13.00 WIB, bersamaan dengan waktu makan siang di restotan yang menyajikan makanan khas Sunda tersebut. Jarak touring pun dipangkas menjadi 34 kilometer.
Daya tarik Jatiluhur memang luar biasa. Sewaktu pertama kali Jelajah Bike membuka pendaftaran Susur Jatiluhur pada pertengahan Januari 2025, animo para pesepeda langsung terasa. Padahal, penyebaran informasi kegiatan ini hanya di kalangan pesepeda yang pernah mengikuti touring sepeda yang dilakukan Jelajah Bike.

Berfoto bersama di depan Restotan SHSD Ciganea sebelum memulai perjalanan, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Satu demi satu mengontak panitia untuk mendaftarkan diri. Ada pula yang sebatas memesan, sebab masih perlu menyesuaikan dengan kegiatan lain dalam perusahaan, kantor atau keluarga. Mereka umumnya memiliki antusiasme tinggi untuk mengayuh sepeda di kawasan Jatiluhur. Pemesanan dilakukan lebih dini agar tetap mendapatkan peluang.
Panitia membatasi peserta hanya 60 orang. Pertimbangan utama yakni kondisi jalan makadam di sejumlah titik dan cukup banyak kelokan pendek di pinggir kawasan waduk sehingga dengan jumlah yang terbatas akan memudahkan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jumlah itu terpenuhi, bahkan menjelang hari pelaksanaan masih banyak yang ingin mendaftarkan diri, tetapi tidak terpenuhi.
Antusiasme terhadap Jatiluhur membuat sejumlah peserta memilih mendatangi pada sehari sebelumnya atau Jumat, 21 Februari 2025. Mereka ingin menikmati suasana di kawasan tersebut pada malam dan pagi hari dimana masih memilih alam yang bagus, panorama yang indah dengan udara yang bersih. “Saya dan om Hengky Dorias sejak awal sudah meniatkan untuk menginap semalam di Jatiluhur karena ingin menikmati suasana alamnya. Mencari suasana baru untuk menyegarkan diri. Jadi, sejak hari Jumat sore kami sudah di Purwakarta,” jelas Freddy Taasman dari Jakarta.
Momentum Reuni
Jumat sore, percakapan dalam group whatsapp Susur Jatiluhur mulai ramai. Mereka yang terlebih dahulu tiba di Jatiluhur mulai mengirimkan foto-foto sejumlah aktivitas sebagai persiapan mengikuti Susur Jatiluhur. Joannes Trie Prihandoko alias Hanie, peserta dari Tangerang Selatan, misalnya, mengirimkan foto saat dirinya baru turun dari kereta api di Stasiun Purwakarta pada Jumat malam.
Hengkie Benjamin alias Cincau juga mengirimkan foto sepeda yang sudah dinaikkan dalam mobil pribadi. Dia akan berangkat semobil dengan Dessy dan Jojo pada Sabtu dinihari. Rokhmat Prasetyo Nugroho selaku marshal kembali membagikan rute event dengan jarak 32 kilometer.
Sabtu (22/2/2025) sekitar pukul 03.00 WIB, sesama peserta dan panitia mulai saling menyapa di group whatsapp. Para peserta umunya sudah bangun tidur, dan mulai bersiap diri. Ada pula yang mulai bergerak dari rumah masing-masing. Maklum, peserta umumnya berdomisili di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Bandung. Perjalanan menuju ke Jatiluhur menggunakan mobil pribadi memakan waktu sekitar 1,5-2 jam. Tidak beda dengan para pesepeda di Jakarta atau Tangerang yang ingin bersepeda di Bogor pada akhir pekan.
Sekitar pukul 06.30 WIB sebagian besar peserta sudah berkumpul di SHSD Ciganea. Mereka umumnya sudah saling mengenal, tetapi dalam beberapa mulai jarang berjumpa sehingga momentum tersebut menjadi ajang reuni. Bernostalgia keseruan mengikuti even jelajah sebelumnya, seperti di Banyuwangi-Bali pada November 2024.

Sejumlah senior ini, Om Ben, Om Jo, Om Octo, Om Gunawan dan Om Djoko sudah cukup lama tidak saling jumpa. Susur Jatiluhur membuat mereka bertemu lagi. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Bahkan, om Benyamin Bunawijaya misalnya bernostalgia event Jelajah Lima Danau yang dilakukan pada tahun 2018 selama lima hari mulai dari Padang dan berakhir di Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Perjalanan ini melewati lima danau yakni Maninjau, Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Kerinci.
“Event Jelajah Lima Danau yang paling berkesan untuk saya hingga sekarang. Rutenya menarik melewati alam yang indah, ada perkebunan teh yang luas dan menawan di Solok Selatan, rumah gadang dimana-mana, dan udara sejuk. Coba bikin lagi Jelajah Lima Danau, tetapi cari waktu saat musim durian,” ujar om Benjamin dan mendapat dukungan dari Alexy Pasaribu, peserta dari Jakarta Utara.
Melihat PLTA
Sekitar pukul 07.00 WIB, semua peserta sudah berada di lokasi start. Panitia kembali memberikan gambaran garis besar rute perjalanan. Tidak lama kemudian, kami bergerak ke gerbang SHSD Ciganea untuk memulai mengayuh sepeda.
Mula-mula bergerak ke arah utara menuju kota Purwakarta. Pagi itu lalu lintas mulai padat, sebab jalan yang kami lewati termasuk jalur utama kendaraan menuju ke pintu jalan tol Jatiluhur. Saat yang sama para karyawan pun menuju ke tempat kerja. Namun, aktivitas itu tidak menghambat kayuhan kami. Semua berjalan lancar.
Sekitar dua kilometer, perjalanan kami menuju ke arah timur kemudian ke arah utara hingga mendekati Sadang. Di rute ini kami menelewati jalan beraspal dan sebagian berupa cor. Hingga di kilometer 10, tidak terlalu jauh dari pintu tol Sadang, kayuhan berbelok ke kiri kea rah barat menyusuri jalan kecil dengan beraspal baik.

Bersuka cita di water stastion (WS) I, kilometer 16. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Di jalur ini kami semakin jarang berpapasan dengan kendaraan umum. Beberapa kali ada sepeda motor yang lalu lalang, sebab ada banyak rumah warga yang berada di tepi kiri dan kanan jalan. Konturnya pun mendatar. Di beberapa titik ada badan jalan yang rusak, tapi sepeda lipat dan sepeda balap masih nyaman melewatinya.
Memasuki kilometer 18, kami belok ke kiri, arah selatan menuju ke Waduk Jatiluhur. Kami terus melaju ke depan. Di kilometer 20, kami tiba di salah satu pintu pembangkit Listrik tenaga air (PLTA) Djuanda. Sejumlah karyawan sedang bekerja di dalam gedung-gedung yang ada. Di halaman tampak banyak pohon rindang membuat suasana terasa cukup sejuk. Kami menyempatkan diri berfoto di lokasi itu.
Selepas dari tempat itu, kami melanjutkan kayuhan dengan melewati tanjakan yang memiliki kemiringan sekitar 10 derajat dalam jarak sekitar 1,5 kilometer. Udara yang segar sehingga mengayuh pun tidak melelahkan. Tampak salah satu titik bendungan Jatiluhur yang lumayan tigggi. Di balik bendungan terbangun pula lapisan tanah menyerupai bukit dengan rumput nan hijau.
Sejarah yang Menarik
Air yang tertampung di bendungan kemudian dialirkan melalui saluran khusus guna memutar baling-baling turbin. Turbin yang berputar menggerakkan poros di dalam generator guna mengubah energi mekanik menjadi listrik. Di Waduk Jatiluhur terpasang enam turbin dengan daya 187,5 megawatt (MW) yang memproduksi Listrik sekitar 2.700 kilowatt-jam (kWh) per hari. Waduk ini dikelola Perum Jasa Tirta II.
Berdasarkan catatan sejarah, Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan luas daerah aliran sungai mencapai 4.500 kilometer persegi. Menarik dari bendungan ini adalah perencanaan dilakukan sejak masa kolonial Belanda, peletakan batu pertama Pembangunan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967. Pembangunan menghabiskan dana sekitar 230 juta dollar AS.
Selain itu Waduk Jatiluhur juga mengairi jaringan irigasi dengan luas 242.000 hektar dan berfungsi pula untuk penyediaan air baku, budidaya, dan penanggulangan banjir. Waduk ini menjadi daerah tujuan wisata dengan tersedia sejumlah fasilitas seperti hotel, bungalow, restoran, playground, ruang pertemuan, dan sarana rekreasi dan olahraga keairan lainnya.

Mengumpulkan kenangan di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Sekitar satu kilometer di depannya berdiri gerbang utama PLTA Djuanda di sebelah kanan. Sedangkan di sisi kiri jalan raya adalah pintu masuk menuju Hotel Jatiluhur Valley & Resort, sebuah hotel bintang tiga dalam kawasan tersebut. Jalan raya yang ada cukup lebar dan beraspal mulus.
Keluar dari kawasan PLTA, kami masih melewati hutan dengan jalan yang bagus, lalu menurun menuju Waduk Jatiluhur. Di kilometer 23 ini, semua peserta beristirahat di salah satu warung seraya menikmati kelapa muda, mie rebus dan sate maranggi. Warung ini berada sekitar 10 meter dari bibir waduk. Di belakang warung tampak belasan unit perahu viber yang terparkir di sebuah dermaga mini. Fasilitas ini untuk para wisatawan yang ingin berlayar ke tengah waduk.
Jalan Makadam
Dari lokasi itu, kami mulai menyusuri tepi waduk sejauh kurang lebih dua kilometer. Di sepanjang Jalan Waduk Jatiluhur ini tampak cukup banyak warung dan restoran dengan menawarkan aneka macam menu. Hadir pula kawasan Bumi Perkemahan Jatiluhur, lokasi yang menjadi pusat aktivitas di alam terbuka.
Bahkan, ada pula area khusus untuk tempat parkir mobil campervan atau mobil kemping. Kabarnya, komunitas ini mulai berkembang di wilayah Jabodetabek. Setiap akhir pekan selalu ada beberapa orang yang datang menikmati waduk Jatiluhur dengan mobil campervan. Siang itu banyak warga yang datang berwisata.

Sempat menyaksikan kereta cepat Whoosh dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tanjakan di jalur ini lumayan berat. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Melewati kilometer 26, kami berbelok lagi ke kiri yakni arah timur dengan memasuki kawasan perkampungan. Awalnya langsung menghadapi tanjakan sekitar 75 meter. Pendek, tapi kemiringannya mendekati 15 derajat sehingga cukup ngehek juga.
Di jalur ini kami mulai melewati jalan makadam di beberapa titik. Jarak menuju lokasi finish di SHSD Ciganea tersisa sekitar delapan kilometer, tetapi sebagiannya dalam kondisi rusak. Kerusakan terbanyak pada jalan tanjakan dan turunan sehingga memaksa pesepeda harus berkosentrasi penuh. dan ekstra hati-hati dalam mengendalikan sepedanya.
Sekitar di kilometer 30, kami sempat melewati kolong jalur kereta cepat. Rombongan kami sempat sudah kali menyaksikan kereta whoosh melaju dengan sangat kencang dari arah Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tidak jauh dari lokasi itu ada pula jalur kereta api rute Selatan Jawa. Kami juga menyaksikan kereta Argo Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Lajunya jauh beda dibanding Whoosh.
Di sepanjang jalan yang kami lewati, ada banyak rumah penduduk dengan bangunan permanen. Jalan yang ada menjadi salah satu akses warga setempat dan wisatawan menuju ke Waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta atau sebaliknya.
Warga setempat mengaku sering menyampaikan kerusakan jalan yang ada kepada pemerintah daerah. Namun hingga kini tak ada realisasinya. “Kami sudah bosan dan lelah berkeluh kesah meminta perbaikan jalan, sebab sampai sekarang kondisinya seperti ini saja. Apakah ,” ujar salah satu warga di Jatiluhur.
Kuncinya Benahi Infrastruktur
Kami juga cukup kaget melihat kondisi jalan di wilayah penyangga Waduk Jatiluhur. Dengan posisinya yang begitu strategis dan melegenda, Jatiluhur tidak hanya bermanfaat melalui irigasi, PLTA dan budidaya perikanan, tetapi juga aktivitas lain seperti pariwisata. Sektor pariwisata akan berkembang optimal kalau ada dukungan infrastruktur, seperti jalan raya yang bagus di dalam kawasan dan wilayah penyangga.
Jojo, pesepeda asal Jakarta mengaku baru pertama kali bermain di dalam kawasan Waduk Jatiluhur dan langsung membuatnya jatuh hati. “Saya senang banget melihat banyak kawasan hijau dan sejuk dengan banyak pohon rindang. Tetapi infrastruktur jalan kayaknya kurang mendapatkan perhatian serius sehingga masih banyak jalan makadam,” kata Jojo, pesepeda asal Jakarta.

Tante Lia Partakusuma menyempatkan diri berfoto bersama anak-anak yang tinggal di kawasan penyangga Waduk Jatiluhur. Anak-anak ini sangat senang dan bahagia. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Purwakarta perlu memberi perhatian yang lebih serius pada perbaikan jalan yang ada, termasuk di wilayah penyangga. Kalau infratrukturnya bagus, kami meyakini Jatiluhur dapat berkembang lebih pesat melalui event-event besar olahraga dan musik, antara lain lari marathon, lari half marathon, balap sepeda, jambore sepeda, pentas musik jazz dan lainnya. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok dan Bandung, peminatnya bakal membludak.
Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan terakhir memasuki finish di SHSD Ciganea sekaligus makan siang. Kami menikmati suguhan makanan khas Sunda dari keluarga om Rahmad Koestoro alias Toro almarhum. Semasa hidupnya, om Toro kerap mengikuti event Jelajah Bike, antara lain Jelajah Komodo tahun 2020, Jelajah Rote tahun 2022, dan Jelajah Tana Toraja tahun 2023. Selesai acara, tim Jelajah Bike bersama beberapa peserta Susur Jatiluhur menyempatkan diri nyekar ke makam om Toro, sekitar satu kilometer dari SHSD Ciganea.
Jangan lewatkan!!
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya