Connect with us

Perjalanan

Susur Pangalengan: Gowes, Kemah, Arung Jeram

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Oleh: JANNES EUDES WAWA

Pangalengan di wilayah selatan Bandung telah menjelma menjadi surga bagi wisatawan yang ingin menikmati alam terbuka. Udaranya dingin dan sejuk didukung perkebunan teh, kopi dan hutan pinus serta sungai-sungai kecil membuat kawasan tersebut berkembang usaha glamping dan arung jeram. Setiap akhir pekan, ribuan orang menyerbu Pangalengan.

Sabtu dan Minggu, 18-19 Februari 2023, sekitar 130 pesepeda juga datang ke Pangalengan ingin menikmati sesuatu yang berbeda. Melalui event Susur Pangelangan, Jelajah Bike selaku penyelenggara menawarkan tiga aktivitas yang seru dalam satu momentum; bersepeda (cycling), berkemah (camping) dan arung jeram (rafting).

Peserta Susur Pangalengan begitu berbahagia saat bermain arung jeram di Sungai Palayangan, Pangalengan. Foto: dokumentasi jelajah bike

Ke-130 pesepeda itu mayoritas dari Jakarta, disusul Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Bandung, Pontianak, Palembang, dan Surabaya. Sehari sebelumnya, mereka sudah berada di Bandung. Bahkan, beberapa di antaranya bersepeda dari Jakarta ke Bandung melalui jalur puncak Bogor.

Sabtu (18/2/2023) sekitar pukul 07.15 WIB, kami mulai bersepeda dari kantor Pemasaran Kota Baru Parahyangan di Padalarang, Kabupaten Bandung Barat pada Sabtu (18/2/2023) pagi. Lokasi ini berada tidak jauh dari pintu gerbang perumahan mewah seluas 1.250 hektar tersebut.

Gowes dari area depan menuju ke bagian belakang menyusuri jalan utama. Di kiri dan kanan jalan utama ada hotel bintang lima: Mason Pine. Ada pula kawasan niaga yang di dalamnya berupa restoran, kantor operasional sejumlah bank, rumah sakit, sekolah dan lainnya. Bahkan, beropeasi pula pusat perbelanjaan Ikea. Tidak jauh dari Ikea, ada Water Park yang sebentar lagi beroperasi penuh.

Menurut Joseph Ijong, GM Marketing Kota Baru Parahayangan (KBP), kawasan yang kini berdiri Ikea diproyeksikan menjadi pusat bisnis. Sejumlah pusat perbelanjaan skala besar lainnya juga sedang dipersiapkan untuk dibangun di area tersebut. “Disain besarnya sudah disiapkan. Investor pun cukup banyak yang meminati,” jelasnya.

KBP memang kini berkembang menjadi satu-satunya perumahan di Bandung Raya yang telah menjadi skala kota. Penghuninya sudah mencapai 3.200 kepala keluarga. Fasilitas yang disediakan pun cukup lengkap, antara lain pendidikan, kesehatan, ruang terbuka hijau, ruang usaha, pusat perbelanjaan, fasilitas olahraga, restoran, dan lainnya.

Di KBP juga ada sebuah lapangan golf yang luas dengan 18 hole. Lapangan ini dirancang oleh konsultan terkemuka JMP Bob Moore dari Amerika Serikat dimana menjadi salah satu lapangan golf terbaik di Indonesia. Lapangan ini tidak hanya untuk penghuni, melainkan juga masyarakat umum.

Kini KBP juga memfasilitasi pembangunan stasiun kereta cepat Jakarta-Bandung-Jakarta di Padalarang.  Jarak dari kantor pemasaran KBP hingga stasiun kereta cepat sekitar 3 kilometer atau waktu tempuh tidak lebih dari 15 menit. Langkah ini sebagai upaya memfasilitasi penghuninya agar lebih mudah dan cepat dalam bermobilisasi, termasuk menuju Jakarta. Apalagi waktu tempu kereta cepat dari Padalarang hingga stasiun akhir di Halim, Jakarta sekitar 40 menit.

Kami terus bersepeda menuju ke belakang. Jarak dari tempat pelepasan sudah lebih dari lima kilometer. Di kiri dan kanan tampak sedang dibangun ratusan unit rumah tipe 95/120 berlantai dua. Harga yang ditawarkan sekitar Rp 2 miliar. Rumah-rumah itu umumnya sudah dipesan pembeli. Sementara lahan kosong pun masih cukup banyak dalam kawasan KBP.

Lewati jembatan Alfian

Tidak jauh dari situ, gowes pun memasuki salah satu titik area Waduk Saguling. Dari lokasi itu, kami menaiki perahu kecil menuju bunker Pusat Pendidikan dan Latihan Pasukan Khusus (Pusdiklatsus) Kopassus Batujajar. Jarak penyeberangan sekitar 500 meter. Di area ini terdapat cukup banyak keramba budidaya ikan milik warga setempat.

Dari bunker, kami melanjutkan bersepeda melewati area persawahan yang indah menuju wilayah Cihampelas Batujajar, lalu melaju hingga jembatan Alfian. Jembatan ini terbuat dari kayu yang sederhana oleh warga. Pada sejumlah titik, bagian bawahnya disusun drum.

Jembatan dengan panjang 520 meter itu tergolong sederhana, tetapi menjadi salah satu keunikan di Sungai Citarum. Perannya pun besar karena menghubungkan Kecamatan Batujajar dan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Bahkan, bisa memangkas waktu perjalanan lebih dari 20 menit.

Jembatan Alfian yang berada di perbatasan Batujajar dan Kecamatan Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat. Gowes melewati jembatan ini cukup seru dan menarik. Foto: dokumentasi jelajah bike.

Jembatan ini hanya boleh dilewati kendaraan roda dua, sepeda dan pejalan kaki. Pada titik di kedua ujung ditempatkan sejumlah warga sebagai pengaman. Mereka juga bertugas memungut biaya untuk setiap sepeda motor, sepeda dan orang yang ingin melintasi jembatan. Khusus sepeda motor dikenakan tarif Rp 3.000 per unit dalam sekali jalan.

Selepas jembatan Alfian, kami memasuki jalan raya utama yang menghubungkan Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung. Perjalanan menuju Soreang, ibukota Kabupaten Bandung cukup lancar, meski banyak juga kendaraan bermotor yang lalu lalang.

Namun setelah melewati Soreang arah ke Ciwidey arus lalu lintas semakin padat dan macet. Begitu banyak sepeda motor dan mobil yang bergerak menuju Ciwidey, Kawah Putih dan sejumlah obyek wisata lainnya. Maklum, hari itu bukan hanya akhir pekan, tetapi juga hari libur nasional: Hari raya Isra Miraj.

Demi keselamatan perjalanan, kami memilih gowes di sisi kiri jalan raya. Beberapa kali kami juga harus menghadapi penyempitan jalur akibat dominasi kendaraan bermotor.

Sekitar pukul 10.30 WIB, langit di wilayah Kabupaten Bandung semakin pekat. Tidak lama kemudian turun hujan yang cukup deras. Hujan ini membuat gowes di jalan yang terus menanjak tersebut terasa semakin berat.

Beberapa peserta sempat memilih berteduh sesaat, tetapi setelah itu melanjutkan gowes lagi di tengah derasnya hujan. “Mengayuh sepeda saat hujan deras apalagi di jalan menanjak cukup memberatkan. Akan tetapi, pengayuh terhindar dari dehidrasi. Kuncinya selalu hati-hati, sebab ada potensi daya tahan tubuh merosot akibat kedinginan,” jelas Sonny Nilfianto, pesepeda senior asal Jakarta.

Dari Pasir Jambu, kami bergerak ke kiri. Tanjakan masih berlanjut dengan kemiringan yang terus bertambah. Namun, arus kendaraan bermotor mulai berkurang. Semakin ke depan, suasana udara pegunungan semakin terasa.

Kami pun memasuki kawasan perkebunan teh Gembung. Hujan yang baru selesai membuat udara terasa segar, sejuk dan mulai dingin. Meski demikian, semangat kami untuk mengayuh terus membesar, apalagi melewati perkebunan teh yang begitu indah diselingi hutan lindung dataran tinggi membuat kelelahan berubah menjadi kebahagiaan.

Perkebunan teh Gambung di kaki Gunung Tilu memiliki luas 600 hektar, termasuk salah satu yang tertua di Indonesia. Dibangun sejak jaman penjajahan Belanda. Di situ dilengkapi dengan pusat penelitian teh dan kina yang berdiri sejak tahun 1973, termasuk terbesar di Asia Tenggara.

Bersepeda melewati Perkebunan Teh di Gamboeng. Hamparan perkebunan ini sangat luas. Ini menjadi daya tarik dan keunikan melewati jalur tersebut. Foto: dokumentasi jelajah bike

Selama ini daun teh terbaik khas Gambung diolah menjadi teh hijau, hitam dan teh putih yang disajikan dalam beraman produk bermutu yang teridiri atas beberapa varian rasa dan kemasan. Itu antara lain kemasan kaleng dan celup.

Perkebunan teh Gambung juga berkembang wisata edukasi, seperti pemetikan teh dan pengolahan teh. Bahkan, dalam beberapa waktu terakhir, dikembangkan wisata agro, dimana mulai disediakan tempat berkemah di tengah perkebunan teh. Glamping dibangun di sejumlah titik. Tidak sedikit wisatawan baik individu, kelompok maupun keluarga yang menikmati wisata di alam terbuka tersebut.

Selepas perkebunan teh, kami melanjutkan kayuhan melewati perkebunan kopi. Tanaman kopi yang ada merupakan milik warga setempat, sedangkan lahan milik Perhutani. Setiap warga diberikan lahan seluas dua hektar untuk menanam kopi. Kebijakan ini sebagai bagian dari program hutan kemasyarakatan yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat melalui pemanfaatan sumber daya hutan yang optimal, adil dan berkelanjutan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.

Tanjakan yang kami lalui sudah mencapai ketinggian sekitar 1.684 meter di atas permukaan laut (mdpl). Akan tetapi belum tuntas juga. Kami terus mengayuh. Perlahan-lahan terus bergerak maju hingga mencapai lokasi bernama warung batas yang merupakan titik tertinggi perjalanan kami. Lokasi yang berada di tengah hutan yang dipenuhi tanaman kopi tersebut berdiri sebuah warung yang menjadi batas wilayah Gambung dan Pangalengan.

Warung ini juga dijadikan tempat istirahat bagi para pelintas, termasuk pesepeda. Pengayuh sepeda merasakan kepuasan yang luar biasa saat mengayuh hingga di warung ini. Tanjakan panjang sudah dituntaskan.

Selanjutnya, kami mengayuh turun hingga di Palayangan Asri RiverSide yang menjadi salah satu titik kemping peserta Susur Pangalengan. Lokasi ini berada pada ketinggian 1.369 mdpl.

Menikmati Pangalengan

Sore itu jalan raya di kawasan tersebut dipadati ratusan pengunjung. Berjalan kaki pun tidak leluasa. Para pengunjung itu ada yang baru tiba dan ingin masuk glamping-glamping yang ada. Ada pula baru selesai bermain arung jeram. Sebagian kelompok wisatawan baru mau berangkat ke Situ Cileunca untuk memulai rafting.

Memang, belakangan eforia masyarakat perkotaan untuk menikmati alam terbuka melalui camping dan rafting begitu tinggi. Pangalengan menjadi salah satu lokasi yang didatangi. Umumnya mereka datang berkelompok.

Menikmati glamping di tepi Sungai Palayangan. Foto: Jannes Eudes Wawa

Tidak sedikit pula orangtua mengajak anak-anaknya untuk menikmati alam bebas di tepi Sungai Palayangan. Bahkan, semakin banyak perusahaan melakukan program outbond untuk para karyawannya di Pangalengan. Salah satunya mengikuti arung jeram.

Rombongan Susur Pangalengan setelah bersepeda selama kurang lebih sembilan jam lebih memilih mandi dan beristirahat di glamping masing-masing yang berada persis di tepi sungai. Bunyi gemercik aliran air yang cukup keras membuat suasana alam begitu kental.  Malam itu mereka menikmati aneka hidangan, antara lain domba dan kambing panggang diselingi hiburan musik.

Akan tetapi, saat malam semakin larut, sebagian peserta yang belum terbiasa merasa sedikit terganggu dengan bunyi gemercik air. Namun, ada pula yang sangat menikmati keadaan alam ini. Merasa kembali ke alam terbuka.

Minggu (19/2/2023) pukul 06.30, peserta arung jeram Susur Pangalengan mulai diantar ke Situ Cileunca. Selang 45 menit kemudian, para peminat berkumpul. Usai pengarahan dari pengelola, rafting pun dimulai.

Mula-mula perahu karet yang ditumpangi peserta didayung menuju pintu air Situ Cileunca. Dari situ, peserta turun, lalu berjalan kaki menyeberangi bukit batas pintu air yang ada. Perahu karet pun digotong dua petugas menuju pintu keluar air untuk memulai rafting.

Persis di pintu keluar air dari Situ Cileunca terhubung langsung dengan Sungai Palayangan yang menjadi jalur arung jeram. Pagi itu, di titik start rafting telah berkumpul ratusan orang yang ingin menikmati tantangan bermain air sungai.

Persiapan sebelum memulai arung jeram di Situ Cileunca, Pangalengan, Minggu (19/2/2023). Foto: Jannes Eudes Wawa

Satu demi satu perahu karet yang ditumpangi peserta dilepas dengan perbedaan waktu tidak lebih dari satu menit. Setiap perahu karet berisi 4-5 orang dan didampingi seorang pemandu.

Baru sekitar dua meter dari titik pelepasan langsung menghadapi riam. Ketinggian ria mini sekitar 1,5 meter, tetapi dengan lebar sungai sekitar 4 meter dan alur yang cenderung menyempit membuat daya dorong air cukup tinggi.

Mungkin karena alur yang sempit itu juga yang membuat peserta rafting tidak dibekali alat dayung. Pengendali perjalanan hanya dilakukan pemandu perahu. Peserta semata-mata menikmati permainan uji nyali dalam sungai. Pemandu perahu adalah warga setempat yang sudah terlatih.

Jalur arung jeram di Sungai Palayangan ini sejauh 5 kilometer. Sepanjang rute ini melewati sekitar lima titik riam dengan ketinggian bervariasi berkisar 1 hingga 1,5 meter. Meski tidak begitu tinggi, tetapi hujan yan turun cukup deras sepanjang hari pada sehari sebelumnya membuat daya dorong air lumayan deras.

Di antara kelima riam itu ada dua titik yang berkategori jeram, yakni jeram domba dan jeram kecapi. Di lokasi tersebut menghasilkan turbelensi perahu cukup kuat dan memiliki riak berbusa dari air sungai. Melewati jeram-jeram ini membuat jantung berdebar juga, namun sangat seru.

“Waahh asyik banget main arung jeram. Riam dan jeram tidak terlalu berat, tetapi sangat seru dan menantang. Bikin jantung berdebar, tetapi begitu membahagiakan. Keren abis deh,” kata Qurniawansyah, pesepeda asal Palembang.

Kami menghabiskan waktu selama kurang lebih 1,5 jam bermain arung jeram dengan sekali istirahat. Di lokasi istirahat disediakan kelapa muda dan buah melon serta semangka. Di lokasi itu ada beberapa warung kecil yang berada persis di tepi sungai.

Di sepanjang jalur rafting, kami menyaksikan deretan ratusan glamping di tapi sungai. Ada yang areanya masih sederhana. Ada pula yang tertata rapi dengan arsitektur yang menarik. Pagi itu, glamping-glamping nyaris tidak ada yang kosong.

Arung jeram jadi salah satu permainan yang sangat disukai peserta. Mengikuti permainan ini menjadi model healing yang paling pas. Foto: dokumentasi jelajah bike.

Kris, pengelola Palayangan Asri RiverSide menyebutkan permintaan penggunaan glamping di Pangalengan terus meningkat. Bahkan, pada pertengahan pekan pun glamping yang tersedia selalu terisi penuh. Permintaan membludak terjadi pada akhir pekan dan saat liburan.

Bahkan, peminat terbesar adalah keluarga. Orangtua mengajak anak-anaknya beriwisata di alam terbuka sekaligus kemping dengan fasilitas lengkap. “Kecenderungan itu yang coba ditangkap para pemain wisata outdoor dengan menawarkan fasilitas yang lebih lengkap dan permainan yang bervariasi, seperti rafting,” jelas Kris.

Saat ini, rafting di Sungai Palayangan dilayani sekitar 400 perahu karet. Setiap perahu dapat dioperasikan tiga hingga empat kali per hari. Pada akhir pekan atau saat liburan, frekuensinya bisa lebih dari lima kali. Efeknya pendapatan pemandu perahu juga bertambah.

“Perputaran uang dari usaha glamping dan rafting di Pangalengan ini cukup besar. Uang itu dinikmati merata oleh seluruh kelompok masyarakat,” ungkap Kris seraya mengungkapkan masih banyak kekurangan dalam pengelolaan pariwisata alam terbuka di Pangalengan.

Salah satu persoalan yakni tempat parkir kendaraan yang masih sangat terbatas. Selain itu, penataan lokasi kemping dan penyediaan fasilitas yang dibutuhkan pengunjung. “Kami perlu belajar lagi banyak hal terkait pengelolaan pariwisata alam terbuka, baik manajemen pengelolaan kemping, penataan lokasi, sumber daya manusia, pengelolaan keuangan dan lainnya,” ujarnya.

Peserta Susur Pangalengan saat berada di tepi Waduk Saguling. Mereka baru selesai menyeberang dari Kota Baru Parahyangan (KBP). Foto: dokumentasi jelajah bike.

Minggu (19/2/2023) sekitar pukul 11.00 WIB, kami pun meninggalkan Pangalengan menuju Padalarang. Perjalanan pulang ini tetap mengayuh sepeda melewati Banjaran dan Soreang. Jalur ini lebih banyak menurun, namun hari itu arus lalu lintas cukup padat. Sekitar pukul 14.00 sebagian peserta sudah tiba di Kota Baru Parahyangan, lalu kembali ke kota asal masing-masing.

Share ini

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.

Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa

Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.

Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike

“Rolling” Lagi

Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.

Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike

Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.

Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram

Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal  dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike

Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.

Touring  kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.

Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.

Kecerdikan Sultan

Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.

Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike

Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.

Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.

“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike

Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.

Menuju Yogyakarta

Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike

Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).

 

Tulisan Sebelumnya:

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.

Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu,  Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.

Naik dan Turun

Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.

Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike

Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.

Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.

“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.

Padi Menguning

Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike

Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.

Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.

I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.

“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike

Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.

Candi Gedong Songo

Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.

Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa.  Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa

Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.

Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840  dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.

Tujuan Wisata

Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.

Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike

Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.

“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.

Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.

Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.

Terapit Dua Gunung

Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan  kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.

Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.

Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.

Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)

 

Tulisan Sebelumnya:

Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

 

 

 

Share ini
Continue Reading

Cyling

Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Nama Jatiluhur sudah lama melegenda. Pemicu utama yakni adanya waduk terbesar di Indonesia yang memiliki kapasitas tampungan air sekitar 2,4 miliar meter kubik dengan genangan seluas 82 kilometer persegi. Di sana juga ada pembangkit listrik tenaga air yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 187,5 megawatt (MW). Popularitas Jatiluhur itu selalu memunculkan rasa penasaran setiap orang untuk mengunjungi dan menjelajahi wilayah ini.

Rasa penasaran tersebut akhirnya terbayar melalui event Susur Jatiluhur pada Sabtu, 22 Februari 2025. Jelajah Bike selaku penyelenggara menawarkan rute dengan jarak sejauh 34 kilometer atau hanya sebagian kecil dari keseluruhan waduk, namun melewati beberapa titik strategis bendungan, seperti pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Djuanda.

Pangi Syarwi atau Ipang bersama pesepeda lainnya berfoto di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur

“Saya sudah cukup lama penasaran dengan waduk Jatiluhur. Namanya melegenda. Sejak masih sekolah dasar (SD) di Sumatera Barat, waduk Jatiluhur selalu menjadi materi pembelajaran. Ketika berada di Jakarta, selalu terbesit keinginan mengunjungi Jatiluhur, tetapi selalu gagal. Event Susur Jatiluhur ini saya jadikan sebagai momentum yang ideal,” ujar Pangi Syarwi alias Ipang, pengamat politik yang gemar bersepeda jarak jauh.

Semula panitia ingin memilih rute yang dapat mengitari seluruh area waduk agar para pesepeda dapat merasakan sensasi dari kemegahan Jatiluhur. Melalui google maap tampak ada jalur jalan yang terhubung. Namun setelah didalami di lapangan ternyata jalan yang ada umumnya masih makadam, yakni jalan yang terbuat dari batu pecah atau kerikil yang dipadatkan.

Itu sebabnya mereka memilih rute pendek, yakni 55 kilometer, tetapi dapat melewati sejumlah titik yang menjadi kekuatan daya tarik Jatiluhur. Rute ini mungkin juga belum ideal, sebab melewati sejumlah titik dengan kondisi jalan yang masih makadam. Akan tetapi jalur jalan yang ada di Jatiluhur umumnya masih seperti itu.

Daya Tarik Jatiluhur

Pihak Jelajah Bike kemudian mengkaji kembali rute yang telah terpilih. Pertimbangan utama adalah start dan finish di Restoran Sambel Hejo Sambel Dadak (SHSD) Ciganea dekat pintu tol Jatiluhur. Panitia menargetkan finish paling lambat pukul 13.00 WIB, bersamaan dengan waktu makan siang di restotan yang menyajikan makanan khas Sunda tersebut. Jarak touring pun dipangkas menjadi 34 kilometer.

Daya tarik Jatiluhur memang luar biasa. Sewaktu pertama kali Jelajah Bike membuka pendaftaran Susur Jatiluhur pada pertengahan Januari 2025, animo para pesepeda langsung terasa. Padahal, penyebaran informasi kegiatan ini hanya di kalangan pesepeda yang pernah mengikuti touring sepeda yang dilakukan Jelajah Bike.

Berfoto bersama di depan Restotan SHSD Ciganea sebelum memulai perjalanan, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Satu demi satu mengontak panitia untuk mendaftarkan diri. Ada pula yang sebatas memesan, sebab masih perlu menyesuaikan dengan kegiatan lain dalam perusahaan, kantor atau keluarga. Mereka umumnya memiliki antusiasme tinggi untuk mengayuh sepeda di kawasan Jatiluhur. Pemesanan dilakukan lebih dini agar tetap mendapatkan peluang.

Panitia membatasi peserta hanya 60 orang. Pertimbangan utama yakni kondisi jalan makadam di sejumlah titik dan cukup banyak kelokan pendek di pinggir kawasan waduk sehingga dengan jumlah yang terbatas akan memudahkan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jumlah itu terpenuhi, bahkan menjelang hari pelaksanaan masih banyak yang ingin mendaftarkan diri, tetapi tidak terpenuhi.

Antusiasme terhadap Jatiluhur membuat sejumlah peserta memilih mendatangi pada sehari sebelumnya atau Jumat, 21 Februari 2025. Mereka ingin menikmati suasana di kawasan tersebut pada malam dan pagi hari dimana masih memilih alam yang bagus, panorama yang indah dengan udara yang bersih. “Saya dan om Hengky Dorias sejak awal sudah meniatkan untuk menginap semalam di Jatiluhur karena ingin menikmati suasana alamnya. Mencari suasana baru untuk menyegarkan diri. Jadi, sejak hari Jumat sore kami sudah di Purwakarta,” jelas Freddy Taasman dari Jakarta.

Momentum Reuni

Jumat sore, percakapan dalam group whatsapp Susur Jatiluhur mulai ramai. Mereka yang terlebih dahulu tiba di Jatiluhur mulai mengirimkan foto-foto sejumlah aktivitas sebagai persiapan mengikuti Susur Jatiluhur. Joannes Trie Prihandoko alias Hanie, peserta dari Tangerang Selatan, misalnya, mengirimkan foto saat dirinya baru turun dari kereta api di Stasiun Purwakarta pada Jumat malam.

Hengkie Benjamin alias Cincau juga mengirimkan foto sepeda yang sudah dinaikkan dalam mobil pribadi. Dia akan berangkat semobil dengan Dessy dan Jojo pada Sabtu dinihari. Rokhmat Prasetyo Nugroho selaku marshal kembali membagikan rute event dengan jarak 32 kilometer.

Sabtu (22/2/2025) sekitar pukul 03.00 WIB, sesama peserta dan panitia mulai saling menyapa di group whatsapp. Para peserta umunya sudah bangun tidur, dan mulai bersiap diri. Ada pula yang mulai bergerak dari rumah masing-masing. Maklum, peserta umumnya berdomisili di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Bandung. Perjalanan menuju ke Jatiluhur menggunakan mobil pribadi memakan waktu sekitar 1,5-2 jam. Tidak beda dengan para pesepeda di Jakarta atau Tangerang yang ingin bersepeda di Bogor pada akhir pekan.

Sekitar pukul 06.30 WIB sebagian besar peserta sudah berkumpul di SHSD Ciganea. Mereka umumnya sudah saling mengenal, tetapi dalam beberapa mulai jarang berjumpa sehingga momentum tersebut menjadi ajang reuni. Bernostalgia keseruan mengikuti even jelajah sebelumnya, seperti di Banyuwangi-Bali pada November 2024.

Sejumlah senior ini, Om Ben, Om Jo, Om Octo, Om Gunawan dan Om Djoko sudah cukup lama tidak saling jumpa. Susur Jatiluhur membuat mereka bertemu lagi. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Bahkan, om Benyamin Bunawijaya misalnya bernostalgia event Jelajah Lima Danau yang dilakukan pada tahun 2018 selama lima hari mulai dari Padang dan berakhir di Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Perjalanan ini melewati lima danau yakni Maninjau, Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Kerinci.

Event Jelajah Lima Danau yang paling berkesan untuk saya hingga sekarang. Rutenya menarik melewati alam yang indah, ada perkebunan teh yang luas dan menawan di Solok Selatan, rumah gadang dimana-mana, dan udara sejuk. Coba bikin lagi Jelajah Lima Danau, tetapi cari waktu saat musim durian,” ujar om Benjamin dan mendapat dukungan dari Alexy Pasaribu, peserta dari Jakarta Utara.

Melihat PLTA

Sekitar pukul 07.00 WIB, semua peserta sudah berada di lokasi start. Panitia kembali memberikan gambaran garis besar rute perjalanan. Tidak lama kemudian, kami bergerak ke gerbang SHSD Ciganea untuk memulai mengayuh sepeda.

Mula-mula bergerak ke arah utara menuju kota Purwakarta. Pagi itu lalu lintas mulai padat, sebab jalan yang kami lewati termasuk jalur utama kendaraan menuju ke pintu jalan tol Jatiluhur. Saat yang sama para karyawan pun menuju ke tempat kerja. Namun, aktivitas itu tidak menghambat kayuhan kami. Semua berjalan lancar.

Sekitar dua kilometer, perjalanan kami menuju ke arah timur kemudian ke arah utara hingga mendekati Sadang. Di rute ini kami menelewati jalan beraspal dan sebagian berupa cor. Hingga di kilometer 10, tidak terlalu jauh dari pintu tol Sadang, kayuhan berbelok ke kiri kea rah barat menyusuri jalan kecil dengan beraspal baik.

Bersuka cita di water stastion (WS) I, kilometer 16. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Di jalur ini kami semakin jarang berpapasan dengan kendaraan umum. Beberapa kali ada sepeda motor yang lalu lalang, sebab ada banyak rumah warga yang berada di tepi kiri dan kanan jalan. Konturnya pun mendatar. Di beberapa titik ada badan jalan yang rusak, tapi sepeda lipat dan sepeda balap masih nyaman melewatinya.

Memasuki kilometer 18, kami belok ke kiri, arah selatan menuju ke Waduk Jatiluhur. Kami terus melaju ke depan. Di kilometer 20, kami tiba di salah satu pintu pembangkit Listrik tenaga air (PLTA) Djuanda. Sejumlah karyawan sedang bekerja di dalam gedung-gedung yang ada. Di halaman tampak banyak pohon rindang membuat suasana terasa cukup sejuk. Kami menyempatkan diri berfoto di lokasi itu.

Selepas dari tempat itu, kami melanjutkan kayuhan dengan melewati tanjakan yang memiliki kemiringan sekitar 10 derajat dalam jarak sekitar 1,5 kilometer. Udara yang segar sehingga mengayuh pun tidak melelahkan. Tampak salah satu titik bendungan Jatiluhur yang lumayan tigggi. Di balik bendungan terbangun pula lapisan tanah menyerupai bukit dengan rumput nan hijau.

Sejarah yang Menarik

Air yang tertampung di bendungan kemudian dialirkan melalui saluran khusus guna memutar baling-baling turbin. Turbin yang berputar menggerakkan poros di dalam generator guna mengubah energi mekanik menjadi listrik. Di Waduk Jatiluhur terpasang enam turbin dengan daya 187,5 megawatt (MW) yang memproduksi Listrik sekitar 2.700 kilowatt-jam (kWh) per hari. Waduk ini dikelola Perum Jasa Tirta II.

Berdasarkan catatan sejarah,  Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan luas daerah aliran sungai mencapai 4.500 kilometer persegi. Menarik dari bendungan ini adalah perencanaan dilakukan sejak masa kolonial Belanda, peletakan batu pertama Pembangunan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967. Pembangunan  menghabiskan dana sekitar 230 juta dollar AS.

Selain itu Waduk Jatiluhur juga mengairi jaringan irigasi dengan luas 242.000 hektar dan berfungsi pula untuk penyediaan air baku, budidaya, dan penanggulangan banjir. Waduk ini menjadi daerah tujuan wisata dengan tersedia sejumlah fasilitas seperti hotel, bungalow, restoran, playground, ruang pertemuan, dan sarana rekreasi dan olahraga keairan lainnya.

Mengumpulkan kenangan di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur.  Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Sekitar satu kilometer di depannya berdiri gerbang utama PLTA Djuanda di sebelah kanan. Sedangkan di sisi kiri jalan raya adalah pintu masuk menuju Hotel Jatiluhur Valley & Resort, sebuah hotel bintang tiga dalam kawasan tersebut. Jalan raya yang ada cukup lebar dan beraspal mulus.

Keluar dari kawasan PLTA, kami masih melewati hutan dengan jalan yang bagus, lalu menurun menuju Waduk Jatiluhur. Di kilometer 23 ini, semua peserta beristirahat di salah satu warung seraya menikmati kelapa muda, mie rebus dan sate maranggi. Warung ini berada sekitar 10 meter dari bibir waduk. Di belakang warung tampak belasan unit perahu viber yang terparkir di sebuah dermaga mini. Fasilitas ini untuk para wisatawan yang ingin berlayar ke tengah waduk.

Jalan Makadam

Dari lokasi itu, kami mulai menyusuri tepi waduk sejauh kurang lebih dua kilometer. Di sepanjang Jalan Waduk Jatiluhur ini tampak cukup banyak warung dan restoran dengan menawarkan aneka macam menu. Hadir pula kawasan Bumi Perkemahan Jatiluhur, lokasi yang menjadi pusat aktivitas di alam terbuka.

Bahkan, ada pula area khusus untuk tempat parkir mobil campervan atau mobil kemping. Kabarnya, komunitas ini mulai berkembang di wilayah Jabodetabek. Setiap akhir pekan selalu ada beberapa orang yang datang menikmati waduk Jatiluhur dengan mobil campervan. Siang itu banyak warga yang datang berwisata.

Sempat menyaksikan kereta cepat Whoosh dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tanjakan di jalur ini lumayan berat. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Melewati kilometer 26, kami berbelok lagi ke kiri yakni arah timur dengan memasuki kawasan perkampungan. Awalnya langsung menghadapi tanjakan sekitar 75 meter. Pendek, tapi kemiringannya mendekati 15 derajat sehingga cukup ngehek juga.

Di jalur ini kami mulai melewati jalan makadam di beberapa titik. Jarak menuju lokasi finish di SHSD Ciganea tersisa sekitar delapan kilometer, tetapi sebagiannya dalam kondisi rusak. Kerusakan terbanyak pada jalan tanjakan dan turunan sehingga memaksa pesepeda harus berkosentrasi penuh.  dan ekstra hati-hati dalam mengendalikan sepedanya.

Sekitar di kilometer 30, kami sempat melewati kolong jalur kereta cepat. Rombongan kami sempat sudah kali menyaksikan kereta whoosh melaju dengan sangat kencang dari arah Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tidak jauh dari lokasi itu ada pula jalur kereta api rute Selatan Jawa. Kami juga menyaksikan kereta Argo Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Lajunya jauh beda dibanding Whoosh.

Di sepanjang jalan yang kami lewati, ada banyak rumah penduduk dengan bangunan permanen. Jalan yang ada menjadi salah satu akses warga setempat dan wisatawan menuju ke Waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta atau sebaliknya.

Warga setempat mengaku sering menyampaikan kerusakan jalan yang ada kepada pemerintah daerah. Namun hingga kini tak ada realisasinya. “Kami sudah bosan dan lelah berkeluh kesah meminta perbaikan jalan, sebab sampai sekarang kondisinya seperti ini saja. Apakah ,” ujar salah satu warga di Jatiluhur.

Kuncinya Benahi Infrastruktur

Kami juga cukup kaget melihat kondisi jalan di wilayah penyangga Waduk Jatiluhur. Dengan posisinya yang begitu strategis dan melegenda, Jatiluhur tidak hanya bermanfaat melalui irigasi, PLTA dan budidaya perikanan, tetapi juga aktivitas lain seperti pariwisata. Sektor pariwisata akan berkembang optimal kalau ada dukungan infrastruktur, seperti jalan raya yang bagus di dalam kawasan dan wilayah penyangga.

Jojo, pesepeda asal Jakarta mengaku baru pertama kali bermain di dalam kawasan Waduk Jatiluhur dan langsung membuatnya jatuh hati. “Saya senang banget melihat banyak kawasan hijau dan sejuk dengan banyak pohon rindang. Tetapi infrastruktur jalan kayaknya kurang mendapatkan perhatian serius sehingga masih banyak jalan makadam,” kata Jojo, pesepeda asal Jakarta.

Tante Lia Partakusuma menyempatkan diri berfoto bersama anak-anak yang tinggal di kawasan penyangga Waduk Jatiluhur. Anak-anak ini sangat senang dan bahagia. Foto: Arsip Susur Jatiluhur

Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Purwakarta perlu memberi perhatian yang lebih serius pada perbaikan jalan yang ada, termasuk di wilayah penyangga. Kalau infratrukturnya bagus, kami meyakini Jatiluhur dapat berkembang lebih pesat melalui event-event besar olahraga dan musik, antara lain lari marathon, lari half marathon, balap sepeda, jambore sepeda, pentas musik jazz dan lainnya. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok dan Bandung, peminatnya bakal membludak.

Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan terakhir memasuki finish di SHSD Ciganea sekaligus makan siang. Kami menikmati suguhan makanan khas Sunda dari keluarga om Rahmad Koestoro alias Toro almarhum. Semasa hidupnya, om Toro kerap mengikuti event Jelajah Bike, antara lain Jelajah Komodo tahun 2020, Jelajah Rote tahun 2022, dan Jelajah Tana Toraja tahun 2023. Selesai acara, tim Jelajah Bike bersama beberapa peserta Susur Jatiluhur menyempatkan diri nyekar ke makam om Toro, sekitar satu kilometer dari SHSD Ciganea.

 

Jangan lewatkan!!

Bali Yang Sulit Terlewatkan

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.