Perjalanan
Bersepeda dari Makassar ke Toraja, Melunasi Impian

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Mengunjungi Tana Toraja di Sulawesi Selatan menggunakan mobil atau motor, itu sudah lumrah. Kali ini, ada 70 orang mendatangi Toraja dengan bersepeda dari Makassar. Mereka tidak mempedulikan panas terik dan tanjakan tajam. Yang terpenting bisa mengayuh sepeda hingga di daerah yang terkenal dengan tradisi merayakan kematian itu.
Perjalanan yang dikemas dalam event Jelajah Tana Toraja ini dilakukan pada 25-27 Agustus 2023. Penyelenggaranya adalah Jelajah Bike, perusahaan yang khusus mengelola touring sepeda.
Ke-70 orang itu, sekitar 85 persen berasal dari wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok dan Bekasi. Sisanya dari Bandung, Makassar, Surabaya, Denpasar, Gorontalo, dan Kuala Lumpur (Malaysia). Dari 70 orang tersebut, kurang lebih 96 persen baru pertama kali mengunjungi Tana Toraja. Hanya 4 orang yang pernah ke Toraja dengan bersepeda.
“Kalau ke Makassar saya pernah beberapa kali. Entah urusan bisnis, atau urusan lain. Tetapi belum sekali pun mengunjungi Toraja. Padahal, sudah lama banget penasaran sama Toraja dengan segala macam tradisi uniknya,” kata Yoke Haulani Latif, pesepeda asal Kelapa Gading, Jakarta.

Sejumlah peserta Jelajah Tana Toraja berpose di pantai Makassar dengan latar belakang Masjid 99 Kuba. Foto: dokumentasi jelajah bike.
Sejak Rabu, 23 Agustus 2023 siang, belasan peserta sudah tiba di Makassar, atau sehari lebih cepat dari jadwal kedatangan peserta umumnya. Mereka sengaja melakukan itu karena ingin menikmati kuliner lokal, serta mengunjungi sejumlah tempat wisata di ibukota Provinsi Sulawesi Selatan tersebut.
Salah satu menu kuliner yang paling diburu adalah kuah kuning ikan segar. Ikan yang disajikan umumkan ikan karang, seperti kerapu. Ikan-ikan tersebut belum lama tersentuh es sehingga tampak segar dan masih terasa manis alami. Menu lain adalah soto makassar.
“Setelah keluar dari Bandara Hasanuddin, kuliner pertama yang langsung saya cari adalah soto makassar. Beberapa jam sesudahnya saya berburu ikan kuah kuning dan otak-otak dari ikan tenggiri. Enak banget,” ujar Tomi Pratomo, direksi salah satu perusahaan multinasional yang berkantor di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta.

Ikan kuah kuning, salah satu menu kuliner paling favorit di Makassar. Foto: dokumentasi jelajah bike.
Peserta yang tiba di Makassar pada 24 Agustus 2023 juga melakukan hal serupa. Setelah tiba di hotel, dan selesai memasang sepeda masing-masing, banyak yang langsung menjajal kuliner khas Makassar. Setiap orang membelanjakan kebutuhannya dalam nilai yang cukup besar. Hal ini otomatis ikut menghidupkan ekonomi lokal.
Panas berganda
Kami memulai bersepeda dari Hotel Santika, Makassar, pada Jumat 25 Agustus 2023 pukul 05.30 Wita. Hari pertama menempuh rute Makassar-Pinrang sejauh 183 kilometer.
Rute ini melewati pesisir pantai dengan ketinggian berkisar 10-40 meter. Jalannya pun lurus, nyaris tidak banyak kelokan. Sekilas terkesan perjalanan ini berjalan lancar.
Akan tetapi, selama perjalana kami menghadapi setidaknya ada 2 tantangan terberat.
Pertama, suhu udara yang panas: mendekati 40 derajat celcius. Kedua, jalan yang ada umumnya berupa cor. Suhu panas dari sinar matahari mengenai jalan cor langsung memantul kembali sehingga pesepeda mendapatkan sengatan panas ganda, yakni dari atas dan dari badan jalan. Berbeda dengan jalan beraspal yang cenderung menyerap suhu panas. Akibatnya, banyak energi pesepeda yang terkuras.

Suhu panas hingga mendekati 40 derajat celcius pada rute Makassar-Pinrang. Foto: dokumentasi jelajah bike.
Panitia pun meningkatkan suplai air mineral, minuman lain dan buah di setiap water station (WS). Jumlah WS tersebar di tujuh titik. Panitia memendekkan jarak antar WS dari biasanya berkisar 30-33 kilometer, saat itu menjadi 25-26 kilometer. Ada pula yang hanya berjarak 20 kilometer.
Selain itu, panitia membekali setiap marshal yang menggunakan motor dengan air mineral. Tujuannya, kalau ada pesepeda yang tiba-tiba kehabisan air, mereka bisa langsung memenuhi kebutuhan tanpa menunggu hingga di lokasi WS.
Panitia melakukan hal itu untuk mencegah terjadi dehidrasi. Jika dehidrasi, maka berpotensi mengalami kram. Hal ini akan menggangu kenyamanan mengayuh sepeda.
“Ada beberapa pesepeda sempat mengalami kram. Tetapi, langsung teratasi dan diberikan pertolongan sehingga ada yang bisa melanjutkan gowes hingga finis, tetapi ada pula yang memilih dievakuasi agar tidak parah,” jelas dokter Silvester, tim medis dari Rumah Sakit Siloam Makassar yang mendampingi touring ini.
Hari itu adalah Jumat. Bagi peserta muslim mendapatkan kesempatan melakukan sholat jumat di Islamic Center Kabupaten Barru. Yang tidak beribadah bisa manfaatkan waktu yang ada untuk istirahat dan makan siang.
Tantangan lain adalah menghadapi tiupan angin yang kencang. Hal ini sangat terasa sejak dari kilometer 100, dan menjelang Pinrang tiupan tersebut terasa bertambah besar. Sejumlah pesepeda mengaku beberapa kali sepeda yang dikayuh sempat oleng ke kiri atau kanan.

Sebagian peserta menikmati durian menjelang finis di Pinrang. Foto: dokumentasi jelajah bike.
Sekitar pukul 15.00, sejumlah peserta yang menggunakan sepeda balap (road bike) sudah tiba di Pinrang. Mereka memang meniatkan untuk mempercepat kayuhan agar tiba di finis lebih cepat agar terhindar dari paparan sinar matahari yang lebih lama.
Sementara kelompok terakhir masuk Pinrang sekitar pukul 17.00 Wita. Sebagian dari mereka sempat istirahat di sejumlah tempat di luar lokasi WS. Ada juga yang berhenti untuk menikmati buah durian.
Memulai tanjakan
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan dari Pinrang menuju Rantepau, Toraja. Rute hari kedua cukup berat. Bergerak dari ketinggian sekitar 40 meter di atas permukaan laut (mdpl), dan berakhir pada 740 mdpl.
Saat keluar dari halaman depan Hotel MS Pinrang, sekitar pukul 06.30 Wita, cuaca sedikit mendung. Setelah masuk pusat kota, perjalanan kemudian serong ke kanan arah ke Enrekang. Kami melewati jalan yang beraspal mulus, dengan panorama hamparan sawah hijau.

Melewati persawahan dalam perjalanan dari Pinrang menuju Enrekang. Foto: dokumentasi jelajah bike
Selang 10 kilometer berikutnya mulai melewati tanjakan disertai turunan (rolling) pendek. Kurang lebih tiga kali kami “bercumbu” dengan rolling sebelum tiba di WS pertama di kilometer 26, depan masjid Kabere.
Selepas Kabere, kami mulai menghadapi tanjakan. Mula-mula kemiringan sekitar 3 derajat, tetapi semakin ke depan kemiringan terus bertambah hingga 8 derajat. Setelah itu, berkurang, kemudian meningkat lagi. Bahkan, di lokasi tertentu kemiringan bisa melebihi 10 derajat.
Kami makan siang di kawasan Gunung Nona, letaknya di kilometer 57 dari Hotel MS Pinrang. Lokasinya berada di kawasan perbukitan, masih di Kabupaten Enrekang. Disebut gunung nona karena bentuk permukaan area itu menyerupai alat kelamin perempuan. Warga setempat menyebut Buntu Kabohong.

Saat masih di tengah kota Pinrang. Foto: dokumentasi jelajah bike
Konon menurut legenda, pada masa lalu di kaki gunung itu pernah ada kerajaan bernama Tindaun. Wilayah itu subur, dan warganya hidup makmur. Saking makmurnya, mereka pun lupa diri. Hidup penuh hura-hura dan berperilaku menyimpang dari norma agama dan adat istiadat. Warga juga bebas berhubungan seks di luar nikah dan melakukan tidak mengenal waktu.
Raja pun gelisah dan marah. Apalagi perilaku buruk itu juga menjangkiri anggota kerajaan. Dia pun mengumpulkan pemuka adat dan agama membahas upaya pencegahan, tapi Upaya itu gagal. Perilaku buruk itu malah menjadi-jadi. Mereka tidak lagi menaati perintah raja sehingga suatu ketika bencana pun datang meluluhlantakan wilayah Tindalun.
Tuhan murka dan mengutuk masyarakat Tindalun. Salah satunya yakni mengutuk bukit di wilayah itu berubah menyerupai alat kelamin perempuan. Bentuk yang unik itu pun kemudian populer hingga saat ini.
Gunung Nona selalu menjadi tempat persinggahan warga yang berpergian ke atau dari Tana Toraja. Panoramanya pun indah dan menarik sehingga menjadi salah satu lokasi favorit untuk swafoto.

Bersemangat tinggi menuju Toraja. Foto: dokumentasi jelajah bike.
Sehabis makan siang, kami mengayuh lagi dari ketinggian sekitar 600 meter di atas permukaan laut (mdpl). Awalnya masih menghadapi tanjakan halus yang diselingi jalan datar, dan menurun hingga di kilometer 65.
Masuk tanah impian
Setelah itu, melewati tanjakan panjang. Sekitar dua kali sempat menurun beberapa puluh meter, tetapi sesudahnya menanjak kembali hingga mencapai ketinggian 1.050 meter di kilometer 92. Tidak lama kemudian tibalah di gerbang batas Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja. Di gerbang itu berdiri gapura selamat datang dengan model rumah adat Toraja.
Begitu berada di gerbang itu seketika timbul rasa bahagia dan terharu yang luar biasa. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya bakal mendatangi Toraja dengan bersepeda.
“Sejak kecil, saya berkali-kali meniatkan untuk mengunjungi Toraja, tetapi selalu gagal. Baru kali ini rencana itu terwujud. Malah dengan bersepeda pula. Sungguh saya berbahagia sekali,” kata Erwin Munandar, pengusaha roti yang lahir dan tinggal di Makassar.

Gerbang Kabupaten Tana Toraja. Di sini menjadi batas wilayah Enrekang dan Tana Toraja. Foto: dokumentasi jelajah bike
Meski sudah di gerbang, jangan mengira Makale, ibukota Kabupaten Tana Toraja sudah di depan mata. Selepas gerbang, mulai tampak satu demi satu bangunan rumah adat Toraja atau tongkonan. Bangunan itu umumnya berada di samping rumah tinggal.
Perjalanan terus melaju, dan suasana Toraja pun semakin mengental. Kami melewati jalan yang tetap bervariasi: mendatar, menanjak, dan menurun selalu silih berganti. Sekitar tiga kilometer memasuki kota Makale, tampak sebuah gunung batu yang menjulang tinggi.
Pada dinding batu tersebut tertulis: Selamat Datang di Kota Makale. Toraya Mala’bi. Tulisan ini ternyata mengeco banyak pesepeda. Mereka mengira sesaat lagi akan masuk finis. Wajah pun berseri-seri penuh suka cita.
Ternyata salah. Mereka keliru. Lokasi finis masih jauh. Sekitar 15 kilometer lagi. Hotel Misiliana berada di Rantepao, Kabupaten Toraja Utara.
Dulu, kedua wilayah ini tergabung dalam satu kabupaten, yakni Tana Toraja. Akan tetapi, sejak 28 November 2008, daerah ini melakukan pemekaran dengan melahirkan Kabupaten Toraja Utara dengan ibukota Rantepao. Dari Makale ke Rantepao juga masih melewati sejumlah tanjakan dan turunan. Tidak terlalu panjang, tetapi berkali-kali sehingga melelahkan juga.
Rudi Pasaribu, peserta dari Jakarta mengaku nyaris putus asa dengan rolling yang disertai tanjakan panjang tidak berkesudahan selama dari Enrekang hingga Rantepao. Dia sempat menggerutu, sebab lokasi finis begitu jauh.
Begitu memasuki area tengah kawasan Hotel Misiliana melihat bangunan sejumlah rumah adat Toraja yang berdiri tegak, segala kelelahan langsung terobati. “Bangunan rumah adat keren sekali. Energi yang terkuras pun terpulihkan. Saya puas, dan salut dengan pilihan lokasi finis ini,” tegas Rudi yang juga baru pertama kali mengunjungi Toraja.

Area tengah Hotel Misiliana Rantepao yang daya tarik bagi tamu. Foto: Jannes Eudes Wawa
Jacob Soetiono asal Jakarta juga mengaku sangat berbahagia bisa mengunjungi Tana Toraja. Sejak kecil sering mendengar tentang keunikan masyarakat Toraja baik rumah adat maupun penghormatan terhadap jenazah dan lelulur.
Akan tetapi, tidak terlintas dalam benak untuk mengunjunginya. Alasannya, letak Toraja yang jauh dari Makassar. Tidak ada penerbangan yang menghubungkan Toraja dengan Jakarta, melainkan harus terlebih dahulu singgah di Makassar.
Jika menempuh jalur darat pun harus menggunakan mobil dengan lama perjalanan kurang lebih delapan jam dari Makassar. Banyak waktu terbuang di jalan dan melelahkan.
Ketika kesempatan itu datang melalui Jelajah Tana Toraja, Jacob pun tertarik. Tetapi, jadwalnya bertabrakan dengan rencana perjalanannya ke Australia. Dia pun berputar otak untuk mencari peluang menunda keberangkatannya ke Sydney, Australia.

Sebagian peserta Jelajah Tana Toraja berfoto di depan rumah adat Toraja. Foto: dokumentasi jelajah bike
“Bagi saya, mengunjungi Toraja jauh lebih sulit dibanding ke Sydney. Makanya, saya terus mencoba mencari peluang untuk menggeser perjalanan ke Australia demi bersepeda ke Toraja. Peluang itu baru bisa saya dapatkan pada pertengahan Agustus, dan langsung mendaftarkan diri. Mungkin saya termasuk yang terakhir mendaftar,” ujar Jacob.
Jelajahi Toraja
Minggu 27 Agustus 2023, kami menjelajahi Toraja, mengunjungi sejumlah lokasi wisata. Mula-mula pada pukul 04.30 Wita, ke Negeri di Atas Awan Lolai. Lokasi ini berada pada ketinggian 1.300 mdpl. Di pagi hari, pengunjungi disuguhi keindahan kumpulan awan putih di atas wilayah Toraja.
Setelah itu, kami melanjutkan perjalanan menuju ke Kete Kesu yang merupakan desa adat yang banyak menyimpan kisah dan sejarah Tana Toraja. Di sana, berdiri sejumlah rumah adat (tongkonan). Di bagian depan tongkonan, terutama pada dinding dan tiang rumah ditempatkan tanduk kerbau.

Menikmati panorama keindahan awan pagi di Lolai. Foto: Jannes Eudes Wawa
Jumlah tanduk yang terpasang menunjukan banyaknya kerbau yang telah dipotong dalam perayaan kematian anggota keluarga tersebut. Bagi masyarakat Toraja, leluhur wajib dihormati melalui perayaan yang meriah.
Ada pula makam kuno dimana jenazah diletakkan pada dinding tebing batu dan gua yang terletak di belakang desa itu. Terdapat pula beberapa makam yang tergolong modern yakni makam yang telah menggunakan bangunan seperti rumah adat, dan terdapat pula foto orang yang disimpan di dalam rumah tersebut.
Kami juga mengunjungi situs megalitikum Kalimbuang Bori, sebelah utara Rantepao merupakan bebatuan yang ditanam dan berdiri tegak di atas hamparan lahan berumput hijau. Ada 102 menhir meliputi 54 menhir kecil, 24 menhir sedang dan 24 menhir besar.

Sejumlah peserta berada di depan bukit penyimapanan jenazah di Kete Kesu. Foto: dokumentasi jelajah bike.
Batu-batu itu diambil dari gunung, kemudian dipahat selama berbulan-bulan, lalu ditanam. Para leluhur menanamkan batu-batu tersebut pertama kali sekitar tahun 1.657. Konon, ketika itu sebanyak 100 ekor kerbau yang dikurbankan.
Di dalam kawasan itu juga berdiri beberapa rumah adat Toraja. Lokasi ini selalu menjadi tempat upacara adat pemakaman jenazah para bangsawan. Dalam upacara tersebut keluara akan mengurbankan kerbau minimal 24 ekor, dan 4 ekor kerbau Toraja.
Sempat pula mengunjungi Buntu Burake di Kabupaten Tana Toraja. Di sana, berdiri patung Tuhan Yesus di puncak bukit. Patung yang menghadap ke Kota Makale ini memiliki tinggi 40 meter, dan disebut-sebut sebagai yang tertinggi di dunia, sebab berada di atas bukit yang memiliki ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Dari kawasan Buntu Burake, wisatawan dapat menikmati pemandangan kota Makale dan deretan pegunungan yang indah mengelilingi Toraja. Apalagi tampak langit biru nan bersih. Sungguh indah!
Perlu bandara besar
Khushairi Muhammad, pesepeda asal Kuala Lumpur, Malaysia, mengaku sangat terpesona dan kagum dengan Toraja. Alamnya indah, rumah adatnya sangat unik, apalagi tradisi menyimpan jenazah di dalam gua dan tebing bukit disertai perayaan yang meriah.
“Saya pernah mendengar cerita tentang Toraja. Tetapi, baru sekarang bisa datang ke sini. Pasti sudah banyak orang Malaysia mengunjungi Toraja, tetapi yang datang dengan bersepeda mungkin saya termasuk orang Malaysia pertama,” ungkap Khus.
Anita Soedjarwo juga mengaku sangat bahagia dengan perjalanan ke Tana Toraja. Ini adalah petualangan dia yang pertama kali bersama Jelajah Bike. “Dari tidak mengenal satu orang pun menjadi memiliki banyak teman baru dengan jiwa minggat yang sama. Dari weekend warrior menjadi bike tourer. Sungguh ini petuangan yang menarik. Pas banget dengan jiwaku.” ujar Anita.

Negeri Di Atas Awan Lolai menjadi lokasi kemping favorit. Pengguna umumnya wisatawan domestik dari wilayah Sulsel atau provinsi lainnya. Foto: Jannes Eudes Wawa
Memang Toraja memiliki banyak keunggulan untuk menjadi destinasi wisata favorit. Namun, pemda setempat perlu melakukan pendekatan yang intensif dengan pemerintah pusat agar membangun landas pancu bandar udara di Toraja agar mampu mendaratkan pesawat berbadan lebar, seperti Citilink, Batik Air atau Garuda.
Setelah itu, mendekati manajemen sejumlah maskapai nasional untuk membuka penerbangan langsung rute Jakarta-Toraja dan Bali-Toraja pergi pulang. Apabila kedua rute ini dibuka, maka potensi wisatawan, termasuk wisatawan asing mengunjungi bakal melonjak tajam. Ekonomi lokal akan bertumbuh pesat.
Jangan lewatkan!
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (2): Terpukau di Jalur Luna Maya

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Minggu 18 Mei 2025 sekitar pukul 05.30 WIB, keadaan Kledung Pas sudah terang benderang. Dari Hotel Dieng Kledung Pas tampak jelas Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing yang di depan dan belakang. Pantulan cahaya yang muncul dari balik gunung menjelang matahari terbit memancarkan panorama yang indah dan mengagumkan.
Pagi itu, semua peserta Jelajah Sembilan Candi keluar dari kamar masing-masing. Mata mereka langsung tertuju ke arah kedua gunung tersebut. Melihat panorama indah yang tampak di puncak gunung, mereka pun mengabadikan momentum itu dengan kamera telepon genggam masing-masing. Keindahan yang terpancar dari puncak dan punggung gunung telah menghipnotis para penjelajah ini untuk terus-menerus mengambil gambar. Pengambilan gambar tidak hanya fokus pada satu titik, melainkan beberapa lokasi.

Keindahan puncak Gunung Sindoro pada Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Jannes Eudes Wawa
Bahkan, saking senangnya dengan suasana alam, beberapa peserta meminta kepada panitia agar waktu start hari itu diundur sekitar satu jam dari rencana awal pukul 07.00 WIB menjadi pukul 08.00 WIB. “Di Jakarta dan sekitarnya kita tidak pernah menikmati udara segar dengan suasana alam seperti ini. Mumpung sekarang mendapatkan kemewahan ini ada di depan mata, kita nikmati sepuasnya dulu baru lanjutkan gowes lagi. Kita menabung oksigen dulu,” kata Maya Megasari pesepeda dari Tangerang Selatan, Banten.
Setelah puas menikmati suasana di Kledung Pas, kami pun melanjutkan perjalanan menuju Candi Borobudur, Candi Pawon dan Candi Mendut. Di rute ini sempat dimanjakan dengan turunan panjang hingga persimpangan menuju Kota Wonosobo. Di tikungan ini, ada dua peserta sempat salah memilih jalur: seharusnya ke kiri, mereka malah bergerak ke arah kanan. Untung cepat tersadar dan langsung berbalik arah sehingga tidak tertinggal jauh dari peserta lainnya.

Sebagian peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama pada Minggu (18/5/2025) pagi dengan latar belakang Gunung Sumbing. Foto: Arsiap Jelajah Bike
“Rolling” Lagi
Memasuki wilayah Purworejo, perjalanan sempat melewati jalan mendatar sejauh beberapa kilometer, tetapi selanjutnya menghadapi beberapa tanjakan disertai turunan pendek (rolling) yang lumayan berat sehingga sangat menguras tenaga. Tidak sedikit peserta terpaksa menuntun sepedanya saat di tanjakan-tanjakan ngehek itu, sebab kemiringannya melebihi 25 derajat.
Sejumlah peserta sempat bersungut, sebab di pagi itu panitia menyampaikan bahwa rute menuju Borobudur tak ada tanjakan lagi, tetapi nyatanya masih ada rolling yang berat. Namun peserta lainnya menimpali bahwa untuk jarak dan elevasi jangan pernah percaya dengan informasi dari sesama pesepeda. Selalu bertolak belakang.

Saat melewati rolling di wilayah Purworejo, Minggu (18/5/2025) pagi. Foto: Arsip Jelajah Bike
Itu sebabnya, tidak ada yang menyerah. Pada tanjakan curam terpaksa menuntun sepeda, dan setelahnya mengayuh kembali. Di kiri dan kanan jalan kami menjumpai cukup banyak lahan sawah nan hijau dengan padi yang sedang berbulir. Suasana alam seperti ini menjadi penyemangat untuk terus melaju sekalipun menghadapi kontur jalan yang berat.
Memasuki wilayah Salaman jalannya mulai mendatar. Arus lalu lintas juga semakin ramai. Sengatan sinar matahari mulai terasa menerpa kulit, namun kami kian bersemangat mengayuh, sebab membayangkan tidak lama lama lagi mencapai kawasan Candi Borobudur. Sekitar pukul 10.40 WIB, kami pun tiba di depan komplek Candi Borobudur, tetapi memilih tidak masuk, dan hanya memotret sebentar, kemudian melanjutkan ke Candi Pawon dan Mendut.

Berfoto berama di depan kawasan Candi Borobudur, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram
Setelah mengunjungi ketiga candi, kami langsung menuju ke Gubuk Makan Iwak Kalen Srowol yang jaraknya sekitar 500 meter dari Candi Mendut. Letaknya persis di bawah jembatan gantung Srowol dengan hidangan nasi wakul, lalapan, ikan gabus, ayam goreng, sambal dan aneka menu lainnya. Tempatnya di ruang terbuka dengan gubuk-gubuk kecil yang sederhana tetapi menarik.

Gerbang Samudra Raksa, salah satu gerbang menuju Candi Borobudur di Kabupaten Kulon Progo, DI Yogyakarta. Foto: Arsip Jelajah Bike
Dari sana, kami bersepeda lagi melewati kawasan Japuan dan berlanjut ke Gerbang Samudra Raksa. Lokasi ini merupakan perbatasan Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Di gerbang itu berdiri sebuah patung kapal raksasa bercadik Samudera Raksa yang menjadi representasi dari pintu menuju Candi Borobudur. Apabila dari arah berlawanan, patung tersebut menjadi penunjuk ke Bandara Internasional Yogyakarta di Kulon Progo. Kami pun berhenti sejak untuk berfoto bersama di patung tersebut.
Touring kian menarik saat berada di wilayah DI Yogyakarta. Kami melewati Selokan Mataram: mengayuh sepeda di antara selokan air yang panjang dan hamparan sawah yang begitu luas sejauh 12,5 kilometer. Sebuah panorama indah di kaki pegunungan Manoreh.
Selokan Mataram adalah sebuah kanal irigasi sejauh 30,8 kilometer yang kini menjadi salah satu dari tiga saluran irigasi primer di Daerah Irigasi Karangtalun. Di masa lalu, selokan ini bernama Kanal Yoshiro yang membentang dari Bendung Ancol hingga Sungai Opak di Prambanan. Selokan ini beroperasi sejak tahun 1944. Memiliki lebar bervariasi berkisar 4-18 meter dan kedalaman dua hingga tiga meter.

Mengayuh sepeda melewati Selokan Mataram, Minggu (18/5/2025) siang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Selokan Mataram dibangun pada masa pendudukan Jepang. Saat itu Jepang menggalakkan romusha di Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam membangun sarana dan prasana guna mendukung upaya Jepang berperang melawan Sekutu di Pasifik.
Kecerdikan Sultan
Raja Yogyakarta saat itu, Sri Sultan Hamengkubuwono IX kemudian memikirkan cara untuk menghindari warga Yogyakarta dari romusha. Sultan menyampaikan kepada Jepang bahwa Yogyakarta adalah daerah minus dan kering. Hasil bumi hanya singkong dan gaplek. Karena itu, Sultan mengusulkan kepada Jepang agar warga Yogyakarta diperintah membangun sebuah kanal irigasi guna menghubungkan Sungai Progo di sisi barat dan Sungai Opak di sisi timur.
Dengan adanya kanal irigasi, lahan pertanian di Yogyakarta yang saat itu umumnya berupa lahan tadah hujan dapat terairi air pada musim kemarau sehingga dapat ditanami padi dan memenuhi kebutuhan pangan warga Yogyakarta dan pasukan Jepang.

Di Selokan Mataram ada jalur jalan beraspal. Di salah satu tepi ada hamparan sawah. Kondisi ini sangat cocok untuk olahraga dan berwisata. Foto: Arsip Jelajah Bike
Usulan Sultan pun mendapat persetujuan dari Jepang sehingga warga Yogyakarta tidak perlu mengikuti romusha. Mereka difokuskan untuk membangun kanal irigasi yang kemudian bernama Kanal Yoshiro dan kini menjadi Selokan Mataram. Saat Covid-19, Luna Maya dan teman-temannya para pesohor pernah bersepeda melewati selokan ini sehingga sejak itu rute tersebut sempat populer dengan sebutan Jalur Luna Maya.
Saat kami melewati selokan ini pada Minggu (18/5/2025) siang, tampak padi pada hamparan sawah yang luas tersebut telah berbulir, bahkan ada yang mulai menguning. Di beberapa lokasi, para petani mulai sibuk memanen. Hamparan padi tersebut memberikan keindahan yang kian menawan di kaki pegunungan Menoreh. Panorama ini menjadi daya tarik bagi wisatawan. Tidak sedikit wisatawan lokal dari wilayah Yogyakarta, domestik dan mancanegara menyinggangi kawasan tersebut untuk menikmati alam. Air yang mengalir dalam kanal cukup banyak.
“Wahhh jalur ini keren banget. Saya belum pernah melihat selokan sejenis di tempat lain. Saya suka dengan petualangan seperti ini,” ujar Alfons Tanujaya, pesepeda asal Jakarta.

Sebagian peserta berfoto bersama di area Manoreh View. Foto: Arsip Jelajah Bike
Hal serupa juga ditegaskan rekannya Freddy Taasman. “Ini baru namanya jelajah, selalu memberi kami jalur-jalur yang menarik dengan alam yang indah menawan. Saya suka banget dengan jalur Selokan Mataram ini,” ungkap Freddy yang mengaku baru pertama kali gowes di rute tersebut.
Menuju Yogyakarta
Dari sana, kami melanjutkan bersepeda menuju Kota Yogyakarta. Baru sekitar tiga kilometer turun hujan yang sangat deras. Kami tidak mempedulikan kondisi itu, semangat mengayuh begitu membara, sebab tidak lama lagi akan menyelesaikan petualangan selama dua hari tersebut. Kami melewati jalan yang lurus, dan memasuki Kota Yogyakarta dari arah barat yakni melalui Godean. Jarak menuju finis semakin pendek sehingga laju kayuhan pun kami tingkatkan, sehingga sekitar pukul 15.50 WIB tiba di Bentara Budaya Yogyakarta selaku tujuan akhir perjalanan Jelajah Sembilan Candi 2025.

Hujan deras tak menjadi hambatan untuk gowes menuju finis di Yogyakarta, Minggu (18/5/2025) sore. Foto: Arsip Jelajah Bike
Perjalanan dua hari mengunjungi candi-candi ini tidak semata-mata untuk mengingat memori dimana betapa hebatnya para leluhur kita di masa lampau yang mampu melahirkan karya yang spetakuler, sarat nilai dan peradaban. Akan tetapi, kenyataan yang tampak saat ini menunjukkan bahwa generasi penerus mampu memelihara dengan baik sekaligus memberikan orientasi untuk masa depan agar karya-karya besar itu tetap terpelihara dan tidak kehilangan arah. (habis).
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Jelajah Sembilan Candi (1): Kayuhan Bagai “Roller Coaster”

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Jawa Tengah memiliki 18 kompleks candi atau terbanyak di Indonesia. Candi-candi itu tidak semata-mata menggambarkan peradaban manusia di masa lalu yang bertahan hingga kini. Bahkan, telah menjelma menjadi tempat wisata yang teramat populer. Menjelajahi candi dengan mengayuh sepeda adalah sebuah pilihan menarik, menyenangkan, seru dan menantang. Memadukan wisata, olahraga dan mengayah pengetahuan.
Sabtu dan Minggu, yakni 17-18 Mei 2025 lalu, Jelajah Bike melakukan touring sepeda mengunjungi candi dengan nama Jelajah Sembilan Candi (J9C). Kami memulai perjalanan dari Hotel Santika Simpang Lima Semarang, Sabtu sekitar pukul 07.00 WIB melewati Lawang Sewu, Klenteng Agung Sam Po Khong kemudian bergerak ke arah barat menuju kawasan Bukit Semarang. Suasana Kota Semarang belum terlalu padat. Mungkin akhir pekan sehingga banyak penghuni kota masih beristirahat di rumah masing-masing.

Peserta Jelajah Sembilan Candi melewati Lawang Semu di Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi sebelum menuju Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Tujuan kami hari itu adalah Hotel Dieng Kledung Pas di Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Wonosobo dan Temanggung, bahkan di antara Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kledung Pas berada pada ketinggian sekitar 1.700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan ketinggian Simpang Lima Semarang kurang lebih 3,5 mdpl.
Naik dan Turun
Saat keluar dari pusat Kota Semarang, mula-mula kami menghadapi jalan mendatar, tetapi setelah kurang lebih dua kilometer mulai menghadapi tanjakan halus. Semakin ke depan kemiringan tanjakan terus bertambah. Tetapi beberapa kali menghadapi turunan juga sehingga cukup menghibur.
Di jalur yang sama, kendaraan bermotor, yakni minibus, bus, truk, mobil pribadi dan motor pun bergerak silih berganti baik searah maupun dari arah berlawanan. Beberapa titik di jalur ini adalah pabrik yang selalu beroperasi setiap saat. Namun demikian, kayuhan kami tetap lancar. Ada yang mulai ngos-ngosan, tetapi tetap maju terus.

Setelah keluar dari pusat Kota Semarang, Sabtu (17/5/2025) pagi, peserta Jelajah Sembilan Candi mulai melewati jalan menanjak. Tanjakannya halus, tetapi cukup panjang. Foto: Arsip Jelajah Bike
Menjelang kawasan Bumi Semarang Baru (BSB) City arus kendaraan mulai longgar. Yang lalu Lalang umumnya kendaraan pribadi dan sepeda motor. Perumahan ini menyupai BSD City di Tangerang, Banten. Kota mandiri ini baru berkembang. Udaranya masih bersih, sejuk dan asri. Badan jalan pun lebar. Sejumlah kantor perusahaan swasta mulai beroperasi seperti kantor Bank Central Asia (BCA) dan kampus Universitas Katolik Soegiayapranta yang berdiri megah. Ada pula sebuah pusat perbelanjaan besar, ratusan unit bangunan ruko toko yang bagus yang menjadi tempat kantor, restoran dan sentra penjualan aneka produk.
Selepas BSB City, arus kendaraan bermotor mulai longgar. Perjalanan bersepeda pun terasa lebih nyaman. Siang itu suhu udara agak mendung sehingga sengatan matahari lebih adem. Namun, di sinilah tanjakan mulai terasa berat. Ada sekitar tiga titik yang tanjakannya terasa cukup berat. Jarak pendek,sekitar 75-100 meter tetapi memiliki kemiringan melebihi 25 persen. Hampir sebagian besar terpaksa menuntun sepedanya.
“Gila banget, sejak keluar dari Kota Semarang jalannya menanjak terus. Hanya tiga sampai empat kali menikmati turunan. Itu pun sekedar pelipur lara. Selebihnya bercumbu dengan tanjakan. Edan benar,” ungkap Joko Kus Sulistyo, pesepeda asal Jakarta.
Padi Menguning
Meski medannya berat, mereka tetap menikmati kayuhan. Jalan yang ada beraspal mulus. Di sejumlah lokasi di kiri dan kanan jalan tampak hamparan sawah yang bertingkat-tingkat. Para petani setempat sedang memanen padi dan sayur. Suasanya desa yang sepi dan sejuk ini menjadi hiburan yang mengasyikan. Kelelahan mengayuh sepeda di tanjakan seolah terpupuskan sesaat.

Melewati tanjakan panjang sehingga peserta harus mengatur tenaga dan nafas agar tetap kayuh sepedanya dengan baik. Foto: Arsip Jelajah Bike
Rombongan pun mulai terpecah dalam beberapa kelompok. Di depan adalah yang lumayan kuat, disusul kelompok sedang dan paling belakang adalah para penikmat tanjakan: perlahan-lahan tetapi tetap mengayuh, pantang menyerah. Hal seperti ini lumrah terjadi dalam setiap touring sepeda. Kekuatan peserta selalu bervariasi. Kelompok paling belakang selalu berprinsip alon-alon asal kelakon seperti kata pepatah Jawa. Perlahan-lahan asalkan dijalani dengan kesabaran pasti mencapai tujuan atau finis. Tidak perlu memaksa diri yang berlebihan. Ikuti saja kekuatan tubuh.
Sementara itu, peserta yang menggunakan sepeda listrik sangat menikmati tanjakan-tanjakan ngehek. Mereka menancapkan laju sepedanya seraya berpura-pura mengayuh serius sambil melemparkan senyum kepada peserta yang menuntun sepeda. “Sudah kubilang sudah waktunya pakai PLN (sebutan untuk sepeda listrik) agar selalu menikmati tanjakan. Jangan malu,” kata Octovianus Noya, pesepeda asal Cinere yang telah berusia 72 tahun, tetapi rajin gowes.
I Putu Abdi Anom dari Bandung menggunakan sepeda minivelo terus melaju kencang di tanjakan yang ada. Satu demi satu peserta dia lewati sehingga menjadi yang terdepan. Sekitar pukul 12.50, Anom sudah tiba di Candi Gedong Songo setelah sebelumnya sempat makan siang di Restoran Omah Kopi. Dia menjadi satu-satunya peserta yang berhasil mengayuh sepedanya hingga di kompleks candi tersebut.
“Tanjakan menuju Candi Gedong Songo memang berat. Saya mencoba mengayuh perlahan-lahan hingga Gedong Songo,” ungkap Anom yang mengaku puas banget menikmati tanjakan yang ada

I Putu Abdi Anom dari Bandung berusaha tetap berada di depan. Dia mampu mengayuh sepedanya hingga di kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Arsip Jelajah Bike
Siang itu, rombongan berhenti di Restoran Omah Kopi yang terletak di persimpangan menuju kawasan Candi Gedong Songo. Semua peserta beristirahat di tempat itu seraya makan siang. Penyelenggara menyiapkan nasi kotak.
Candi Gedong Songo
Pukul 13.15 WIB, semua peserta berangkat menuju kompleks Candi Gedong Songo. Tanjakannya tajam dengan kemiringan sekitar 30 persen. Para peserta memutuskan menaiki mobil demi menghemat waktu perjalanan, sebab dari Gedong Songo akan melanjutkan perjalanan menuju Temanggung dan Kledung Pas. Candi ini berada pada ketinggian 1.297 mdpl, persisnya di lereng Gunung Ungaran, Dusun Darum, Desa Candi, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Suhu udaranya sejuk dan cenderung dingin menjelang petang.
Siang itu, wisatawan yang mengunjungi kawasan Candi Gedong Songo cukup banyak. Ada yang sudah meninggalkan lokasi, tetapi sebagian masih bertahan. Mereka mengelilingi kawasan wisata seluas 5.909,87 meter persegi tersebut. Beberapa memiliki berjalan kaki, dan ada pula yang menaiki kuda yang disewa. Mereka mengunjungi sembilan candi yang berada dalam kawasan tersebut.

Salah satu candi dalam kompleks Candi Gedong Songo. Foto: Jannes Eudes Wawa
Berdasarkan sejumlah catatan Sejarah, Candi Gedong Songo diperkirakan dibangun dalam kurun waktu abad ketujuh hingga sembilan Masehi pada masa Dinasti Sanjaya dari Kerajaan Mataram Lama. Nama “Gedongsongo” diberikan pendudukan setempat berasal dari Bahasa Jawa. Gedong berarti Sembilan bangunan. Semua candi terdiri dari tiga bagian yakni paling bawah (alas candi) yang menggambarkan alam manusia. Bagian tengah candi menggambarkan alam yang menghubungkan alam manusia dan alam dewa. Bagian atas atau puncak menggambarkan alam para dewa.
Keberadaan candi-candi ini diungkapkan pertama kali oleh Loten pada tahun 1.740 Masehi. Kemudian tahun 1.840 dia melaporkan kepada Th Stamford Raffles sebagai Candi Banyukuning, namun dalam bukunya The History of Java (1817), Raffles mencatat kompleks tersebut dengan nama Gedong Pitoe karena ditemukan hanya tujuh kelompok bangunan. Van Braam membuat publikasi pada tahun 1.825 M dengan membuat lukisan yang sekarang disimpan di Museum Leiden. Friederich dan Hoopermans membuat tulisan tentang Gedongsongo pada tahun 1.865 M.
Tujuan Wisata
Setelah penemuan itu, para arkeolog Belanda antara lain Van Stein Callenfels (1.908 M) dan Knebel (1.911 M) melakukan beberapa penelitian terhadap candi,. Dalam penelitian tersebut mereka menemukan dua kelompok candi lain, sehingga namanya berubah menjadi Gedongsongo (dalam bahasa Jawa berarti sembilan bangunan). Mulai tahun 1928, kompleks candi mengalami beberapa pemugaran hingga saat ini agar lebih terawat dan indah sehingga dapat menarik wisatawan.
Candi Gedong Songo menjadi salah satu tujuan wisata favorit di Jawa Tengah. Di hari biasa pengunjung berkisar 300-500 orang, sedangkan pada akhir pekan atau liburan panjang mencapai 1.000-3.000 orang. Tahun 2024, pengunjung sebanyak 358.159 orang.Harga karcis pada hari biasa Rp 10.000 per orang, dan akhir pekan Rp 15.000 per orang.

Sebagian Peserta Jelajah Sembilan Candi berfoto bersama di tengah kompleks Candi Gedong Songo, Sabtu (17/5/2025). Foto: Arsip Jelajah Bike
Sonny Nilfianto, pesepeda asal Jakarta menilai penataan kompleks Candi Gedong Songo saat ini sudah jauh lebih baik. Ada jalur jalan yang lebih tertata. Begitu pula kawasan penjualan produ UMKM. Namun yang masih terlewatkan adalah penyediaan moda angkutan untuk mengelilingi kawasan melihat candi-candi.
“Yang tersedia hanya kuda dan jalan kaki. Padahal, tidak semua pengunjung tertarik menunggang kuda dan mampu jalan kaki. Apalaginya kontur jalannya menanjak. Harusnya pengelola menyediakan angkutan wisata menyerupai odong-odong atau kereta yang dapat mengantar wisatawan mengelilingi kawasan dan melihat sembilan candi dari dekat sekaligus menikmati panorama alam yang indah,” ujar Sonny.
Menarik dari kawasan candi ini adalah memiliki suhu udara yang sejuk dan bersih. Hal ini yang membuat sebagian pengunjung bertahan lebih lama. Sejumlah orang muda datang bersama pasangan, membeli bunga kemudian melakukan foto berdua. Kami sempat berfoto bersama baik di dalam kompleks maupun di depan pintu masuk kawasan candi.
Dari Gedong Songo, kami melanjutkan perjalanan menuju Kledung Pas. Awalnya, melewati turunan cukup panjang hingga di Purworejo. Tak banyak kendaraan bermotor lalu lalang sehingga sungguh mengasyikan. Semua berbahagia dengan jalur yang ada. Mendung pun tampak semakin tebal, pertanda tak lama lagi bakal turun hujan.
Terapit Dua Gunung
Selepas Purworejo kembali menghadapi tanjakan. Saaat melewati sebuah perbukitan dan langsung menghadapi kabut yang lumayan tebal dengan jarak pandang tidak lebih dari 10 meter. Badan jalan nyaris tidak tampak utuh, yang menonjol hanyalah garis putih sebagai pembatas jalan yang sesaat menjadi penuntun arah. “Saat kabut tebal itu saya sempat panik dan kelabakan. Untung ada garis putih pembatas jalan sehingga sesaat dapat menuntun arah perjalanan saya dalam mengayuh sepeda,” ungkap Howard Citra Hartana, pesepeda asal Jakarta.
Sore itu turun hujan yang cukup deras. Suhu udara terasa mulai dingin, sebab saat itu Sebagian peserta sudah berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl. Beberapa peserta tetap mengayuh demi menjaga suhu tubuh tetap hangat. Sudah lebih dari satu jam hujan belum reda juga. Mereka akhirnya memilih menepi, ingin menghangatkan tubuh dengan minum kopi panas dan teh hangat yang tersedia pada warung yang berada di tepi jalan. Ada pula yang menikmati sate kelinci dan kambing.

Gambaran rute Jelajah Sembilan Candi selama dua hari, 17-18 Mei 2025 lalu.
Di jalur Temanggung-Kledung Pas juga berdiri banyak restoran, café dan minimarket sebab merupakan rute alternatif untuk menuju dari Wonosobo ke Semarang, Bandungan, Ambarawa dan Magelang atau sebaliknya. Kledung Pas termasuk daerah subur. Warga setempat umumnya menanam aneka jenis sayur dan memelihara ternak, terutama sapi, kambing dan kelinci. Barang kebutuhan itu umumnya disuplai ke kota, seperti Semarang. Sebagian lagi menjadi konsumsi wisatawan yang setiap hari selalu menyinggahi kawasan tersebut.
Sekitar pukul 19.50 WIB, semua peserta sudah berada di Hotel Dieng Kledung Pas, Kabupaten Wonosobo. Hotel ini berada persis di perbatasan Kabupaten Temanggung dan Wonosobo, diapit Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Suhu malam itu terasa dingin, tetapi warga setempat menilai suhu udara di Kledung Pas sudah jauh berubah dibanding 10 tahun silam. Dulu, udara lebih dingin, bersih dan segar. Mungkinkah hal ini merupakan dampak dari perubahan iklim? (bersambung)
Tulisan Sebelumnya:
Cyling
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Nama Jatiluhur sudah lama melegenda. Pemicu utama yakni adanya waduk terbesar di Indonesia yang memiliki kapasitas tampungan air sekitar 2,4 miliar meter kubik dengan genangan seluas 82 kilometer persegi. Di sana juga ada pembangkit listrik tenaga air yang memiliki kapasitas terpasang sebesar 187,5 megawatt (MW). Popularitas Jatiluhur itu selalu memunculkan rasa penasaran setiap orang untuk mengunjungi dan menjelajahi wilayah ini.
Rasa penasaran tersebut akhirnya terbayar melalui event Susur Jatiluhur pada Sabtu, 22 Februari 2025. Jelajah Bike selaku penyelenggara menawarkan rute dengan jarak sejauh 34 kilometer atau hanya sebagian kecil dari keseluruhan waduk, namun melewati beberapa titik strategis bendungan, seperti pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Djuanda.

Pangi Syarwi atau Ipang bersama pesepeda lainnya berfoto di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur
“Saya sudah cukup lama penasaran dengan waduk Jatiluhur. Namanya melegenda. Sejak masih sekolah dasar (SD) di Sumatera Barat, waduk Jatiluhur selalu menjadi materi pembelajaran. Ketika berada di Jakarta, selalu terbesit keinginan mengunjungi Jatiluhur, tetapi selalu gagal. Event Susur Jatiluhur ini saya jadikan sebagai momentum yang ideal,” ujar Pangi Syarwi alias Ipang, pengamat politik yang gemar bersepeda jarak jauh.
Semula panitia ingin memilih rute yang dapat mengitari seluruh area waduk agar para pesepeda dapat merasakan sensasi dari kemegahan Jatiluhur. Melalui google maap tampak ada jalur jalan yang terhubung. Namun setelah didalami di lapangan ternyata jalan yang ada umumnya masih makadam, yakni jalan yang terbuat dari batu pecah atau kerikil yang dipadatkan.
Itu sebabnya mereka memilih rute pendek, yakni 55 kilometer, tetapi dapat melewati sejumlah titik yang menjadi kekuatan daya tarik Jatiluhur. Rute ini mungkin juga belum ideal, sebab melewati sejumlah titik dengan kondisi jalan yang masih makadam. Akan tetapi jalur jalan yang ada di Jatiluhur umumnya masih seperti itu.
Daya Tarik Jatiluhur
Pihak Jelajah Bike kemudian mengkaji kembali rute yang telah terpilih. Pertimbangan utama adalah start dan finish di Restoran Sambel Hejo Sambel Dadak (SHSD) Ciganea dekat pintu tol Jatiluhur. Panitia menargetkan finish paling lambat pukul 13.00 WIB, bersamaan dengan waktu makan siang di restotan yang menyajikan makanan khas Sunda tersebut. Jarak touring pun dipangkas menjadi 34 kilometer.
Daya tarik Jatiluhur memang luar biasa. Sewaktu pertama kali Jelajah Bike membuka pendaftaran Susur Jatiluhur pada pertengahan Januari 2025, animo para pesepeda langsung terasa. Padahal, penyebaran informasi kegiatan ini hanya di kalangan pesepeda yang pernah mengikuti touring sepeda yang dilakukan Jelajah Bike.

Berfoto bersama di depan Restotan SHSD Ciganea sebelum memulai perjalanan, Sabtu (22/2/2025). Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Satu demi satu mengontak panitia untuk mendaftarkan diri. Ada pula yang sebatas memesan, sebab masih perlu menyesuaikan dengan kegiatan lain dalam perusahaan, kantor atau keluarga. Mereka umumnya memiliki antusiasme tinggi untuk mengayuh sepeda di kawasan Jatiluhur. Pemesanan dilakukan lebih dini agar tetap mendapatkan peluang.
Panitia membatasi peserta hanya 60 orang. Pertimbangan utama yakni kondisi jalan makadam di sejumlah titik dan cukup banyak kelokan pendek di pinggir kawasan waduk sehingga dengan jumlah yang terbatas akan memudahkan pengawasan dan pengendalian di lapangan. Jumlah itu terpenuhi, bahkan menjelang hari pelaksanaan masih banyak yang ingin mendaftarkan diri, tetapi tidak terpenuhi.
Antusiasme terhadap Jatiluhur membuat sejumlah peserta memilih mendatangi pada sehari sebelumnya atau Jumat, 21 Februari 2025. Mereka ingin menikmati suasana di kawasan tersebut pada malam dan pagi hari dimana masih memilih alam yang bagus, panorama yang indah dengan udara yang bersih. “Saya dan om Hengky Dorias sejak awal sudah meniatkan untuk menginap semalam di Jatiluhur karena ingin menikmati suasana alamnya. Mencari suasana baru untuk menyegarkan diri. Jadi, sejak hari Jumat sore kami sudah di Purwakarta,” jelas Freddy Taasman dari Jakarta.
Momentum Reuni
Jumat sore, percakapan dalam group whatsapp Susur Jatiluhur mulai ramai. Mereka yang terlebih dahulu tiba di Jatiluhur mulai mengirimkan foto-foto sejumlah aktivitas sebagai persiapan mengikuti Susur Jatiluhur. Joannes Trie Prihandoko alias Hanie, peserta dari Tangerang Selatan, misalnya, mengirimkan foto saat dirinya baru turun dari kereta api di Stasiun Purwakarta pada Jumat malam.
Hengkie Benjamin alias Cincau juga mengirimkan foto sepeda yang sudah dinaikkan dalam mobil pribadi. Dia akan berangkat semobil dengan Dessy dan Jojo pada Sabtu dinihari. Rokhmat Prasetyo Nugroho selaku marshal kembali membagikan rute event dengan jarak 32 kilometer.
Sabtu (22/2/2025) sekitar pukul 03.00 WIB, sesama peserta dan panitia mulai saling menyapa di group whatsapp. Para peserta umunya sudah bangun tidur, dan mulai bersiap diri. Ada pula yang mulai bergerak dari rumah masing-masing. Maklum, peserta umumnya berdomisili di Jakarta, Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang dan Bandung. Perjalanan menuju ke Jatiluhur menggunakan mobil pribadi memakan waktu sekitar 1,5-2 jam. Tidak beda dengan para pesepeda di Jakarta atau Tangerang yang ingin bersepeda di Bogor pada akhir pekan.
Sekitar pukul 06.30 WIB sebagian besar peserta sudah berkumpul di SHSD Ciganea. Mereka umumnya sudah saling mengenal, tetapi dalam beberapa mulai jarang berjumpa sehingga momentum tersebut menjadi ajang reuni. Bernostalgia keseruan mengikuti even jelajah sebelumnya, seperti di Banyuwangi-Bali pada November 2024.

Sejumlah senior ini, Om Ben, Om Jo, Om Octo, Om Gunawan dan Om Djoko sudah cukup lama tidak saling jumpa. Susur Jatiluhur membuat mereka bertemu lagi. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Bahkan, om Benyamin Bunawijaya misalnya bernostalgia event Jelajah Lima Danau yang dilakukan pada tahun 2018 selama lima hari mulai dari Padang dan berakhir di Sungai Penuh, Provinsi Jambi. Perjalanan ini melewati lima danau yakni Maninjau, Singkarak, Danau Atas, Danau Bawah dan Danau Kerinci.
“Event Jelajah Lima Danau yang paling berkesan untuk saya hingga sekarang. Rutenya menarik melewati alam yang indah, ada perkebunan teh yang luas dan menawan di Solok Selatan, rumah gadang dimana-mana, dan udara sejuk. Coba bikin lagi Jelajah Lima Danau, tetapi cari waktu saat musim durian,” ujar om Benjamin dan mendapat dukungan dari Alexy Pasaribu, peserta dari Jakarta Utara.
Melihat PLTA
Sekitar pukul 07.00 WIB, semua peserta sudah berada di lokasi start. Panitia kembali memberikan gambaran garis besar rute perjalanan. Tidak lama kemudian, kami bergerak ke gerbang SHSD Ciganea untuk memulai mengayuh sepeda.
Mula-mula bergerak ke arah utara menuju kota Purwakarta. Pagi itu lalu lintas mulai padat, sebab jalan yang kami lewati termasuk jalur utama kendaraan menuju ke pintu jalan tol Jatiluhur. Saat yang sama para karyawan pun menuju ke tempat kerja. Namun, aktivitas itu tidak menghambat kayuhan kami. Semua berjalan lancar.
Sekitar dua kilometer, perjalanan kami menuju ke arah timur kemudian ke arah utara hingga mendekati Sadang. Di rute ini kami menelewati jalan beraspal dan sebagian berupa cor. Hingga di kilometer 10, tidak terlalu jauh dari pintu tol Sadang, kayuhan berbelok ke kiri kea rah barat menyusuri jalan kecil dengan beraspal baik.

Bersuka cita di water stastion (WS) I, kilometer 16. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Di jalur ini kami semakin jarang berpapasan dengan kendaraan umum. Beberapa kali ada sepeda motor yang lalu lalang, sebab ada banyak rumah warga yang berada di tepi kiri dan kanan jalan. Konturnya pun mendatar. Di beberapa titik ada badan jalan yang rusak, tapi sepeda lipat dan sepeda balap masih nyaman melewatinya.
Memasuki kilometer 18, kami belok ke kiri, arah selatan menuju ke Waduk Jatiluhur. Kami terus melaju ke depan. Di kilometer 20, kami tiba di salah satu pintu pembangkit Listrik tenaga air (PLTA) Djuanda. Sejumlah karyawan sedang bekerja di dalam gedung-gedung yang ada. Di halaman tampak banyak pohon rindang membuat suasana terasa cukup sejuk. Kami menyempatkan diri berfoto di lokasi itu.
Selepas dari tempat itu, kami melanjutkan kayuhan dengan melewati tanjakan yang memiliki kemiringan sekitar 10 derajat dalam jarak sekitar 1,5 kilometer. Udara yang segar sehingga mengayuh pun tidak melelahkan. Tampak salah satu titik bendungan Jatiluhur yang lumayan tigggi. Di balik bendungan terbangun pula lapisan tanah menyerupai bukit dengan rumput nan hijau.
Sejarah yang Menarik
Air yang tertampung di bendungan kemudian dialirkan melalui saluran khusus guna memutar baling-baling turbin. Turbin yang berputar menggerakkan poros di dalam generator guna mengubah energi mekanik menjadi listrik. Di Waduk Jatiluhur terpasang enam turbin dengan daya 187,5 megawatt (MW) yang memproduksi Listrik sekitar 2.700 kilowatt-jam (kWh) per hari. Waduk ini dikelola Perum Jasa Tirta II.
Berdasarkan catatan sejarah, Waduk Jatiluhur dibangun dengan membendung Sungai Citarum dengan luas daerah aliran sungai mencapai 4.500 kilometer persegi. Menarik dari bendungan ini adalah perencanaan dilakukan sejak masa kolonial Belanda, peletakan batu pertama Pembangunan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1957 dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 26 Agustus 1967. Pembangunan menghabiskan dana sekitar 230 juta dollar AS.
Selain itu Waduk Jatiluhur juga mengairi jaringan irigasi dengan luas 242.000 hektar dan berfungsi pula untuk penyediaan air baku, budidaya, dan penanggulangan banjir. Waduk ini menjadi daerah tujuan wisata dengan tersedia sejumlah fasilitas seperti hotel, bungalow, restoran, playground, ruang pertemuan, dan sarana rekreasi dan olahraga keairan lainnya.

Mengumpulkan kenangan di depan gerbang PLTA Djuanda Jatiluhur. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Sekitar satu kilometer di depannya berdiri gerbang utama PLTA Djuanda di sebelah kanan. Sedangkan di sisi kiri jalan raya adalah pintu masuk menuju Hotel Jatiluhur Valley & Resort, sebuah hotel bintang tiga dalam kawasan tersebut. Jalan raya yang ada cukup lebar dan beraspal mulus.
Keluar dari kawasan PLTA, kami masih melewati hutan dengan jalan yang bagus, lalu menurun menuju Waduk Jatiluhur. Di kilometer 23 ini, semua peserta beristirahat di salah satu warung seraya menikmati kelapa muda, mie rebus dan sate maranggi. Warung ini berada sekitar 10 meter dari bibir waduk. Di belakang warung tampak belasan unit perahu viber yang terparkir di sebuah dermaga mini. Fasilitas ini untuk para wisatawan yang ingin berlayar ke tengah waduk.
Jalan Makadam
Dari lokasi itu, kami mulai menyusuri tepi waduk sejauh kurang lebih dua kilometer. Di sepanjang Jalan Waduk Jatiluhur ini tampak cukup banyak warung dan restoran dengan menawarkan aneka macam menu. Hadir pula kawasan Bumi Perkemahan Jatiluhur, lokasi yang menjadi pusat aktivitas di alam terbuka.
Bahkan, ada pula area khusus untuk tempat parkir mobil campervan atau mobil kemping. Kabarnya, komunitas ini mulai berkembang di wilayah Jabodetabek. Setiap akhir pekan selalu ada beberapa orang yang datang menikmati waduk Jatiluhur dengan mobil campervan. Siang itu banyak warga yang datang berwisata.

Sempat menyaksikan kereta cepat Whoosh dari Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tanjakan di jalur ini lumayan berat. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Melewati kilometer 26, kami berbelok lagi ke kiri yakni arah timur dengan memasuki kawasan perkampungan. Awalnya langsung menghadapi tanjakan sekitar 75 meter. Pendek, tapi kemiringannya mendekati 15 derajat sehingga cukup ngehek juga.
Di jalur ini kami mulai melewati jalan makadam di beberapa titik. Jarak menuju lokasi finish di SHSD Ciganea tersisa sekitar delapan kilometer, tetapi sebagiannya dalam kondisi rusak. Kerusakan terbanyak pada jalan tanjakan dan turunan sehingga memaksa pesepeda harus berkosentrasi penuh. dan ekstra hati-hati dalam mengendalikan sepedanya.
Sekitar di kilometer 30, kami sempat melewati kolong jalur kereta cepat. Rombongan kami sempat sudah kali menyaksikan kereta whoosh melaju dengan sangat kencang dari arah Jakarta ke Bandung dan sebaliknya. Tidak jauh dari lokasi itu ada pula jalur kereta api rute Selatan Jawa. Kami juga menyaksikan kereta Argo Parahyangan dari Bandung menuju Jakarta. Lajunya jauh beda dibanding Whoosh.
Di sepanjang jalan yang kami lewati, ada banyak rumah penduduk dengan bangunan permanen. Jalan yang ada menjadi salah satu akses warga setempat dan wisatawan menuju ke Waduk Jatiluhur dan kota Purwakarta atau sebaliknya.
Warga setempat mengaku sering menyampaikan kerusakan jalan yang ada kepada pemerintah daerah. Namun hingga kini tak ada realisasinya. “Kami sudah bosan dan lelah berkeluh kesah meminta perbaikan jalan, sebab sampai sekarang kondisinya seperti ini saja. Apakah ,” ujar salah satu warga di Jatiluhur.
Kuncinya Benahi Infrastruktur
Kami juga cukup kaget melihat kondisi jalan di wilayah penyangga Waduk Jatiluhur. Dengan posisinya yang begitu strategis dan melegenda, Jatiluhur tidak hanya bermanfaat melalui irigasi, PLTA dan budidaya perikanan, tetapi juga aktivitas lain seperti pariwisata. Sektor pariwisata akan berkembang optimal kalau ada dukungan infrastruktur, seperti jalan raya yang bagus di dalam kawasan dan wilayah penyangga.
Jojo, pesepeda asal Jakarta mengaku baru pertama kali bermain di dalam kawasan Waduk Jatiluhur dan langsung membuatnya jatuh hati. “Saya senang banget melihat banyak kawasan hijau dan sejuk dengan banyak pohon rindang. Tetapi infrastruktur jalan kayaknya kurang mendapatkan perhatian serius sehingga masih banyak jalan makadam,” kata Jojo, pesepeda asal Jakarta.

Tante Lia Partakusuma menyempatkan diri berfoto bersama anak-anak yang tinggal di kawasan penyangga Waduk Jatiluhur. Anak-anak ini sangat senang dan bahagia. Foto: Arsip Susur Jatiluhur
Pemerintah pusat, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Purwakarta perlu memberi perhatian yang lebih serius pada perbaikan jalan yang ada, termasuk di wilayah penyangga. Kalau infratrukturnya bagus, kami meyakini Jatiluhur dapat berkembang lebih pesat melalui event-event besar olahraga dan musik, antara lain lari marathon, lari half marathon, balap sepeda, jambore sepeda, pentas musik jazz dan lainnya. Apalagi jaraknya tidak terlalu jauh dari Jakarta, Bogor, Bekasi, Tangerang, Depok dan Bandung, peminatnya bakal membludak.
Sekitar pukul 13.00 WIB, rombongan terakhir memasuki finish di SHSD Ciganea sekaligus makan siang. Kami menikmati suguhan makanan khas Sunda dari keluarga om Rahmad Koestoro alias Toro almarhum. Semasa hidupnya, om Toro kerap mengikuti event Jelajah Bike, antara lain Jelajah Komodo tahun 2020, Jelajah Rote tahun 2022, dan Jelajah Tana Toraja tahun 2023. Selesai acara, tim Jelajah Bike bersama beberapa peserta Susur Jatiluhur menyempatkan diri nyekar ke makam om Toro, sekitar satu kilometer dari SHSD Ciganea.
Jangan lewatkan!!
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya