Bisnis
Di Balik Buruknya Infrastruktur ke Waerebo


Sebuah jembatan kayu masih ada di jalur lintas selatan Kabupaten Manggarai Barat, Pulau Flores. Foto diambil pada akhir November 2021. Foto: Jannes Eudes Wawa
Oleh: JANNES EUDES WAWA
Albertus Pranoto, warga Lebak Bulus, Jakarta Selatan, geram dengan kondisi jalan menuju kampung adat Waerebo, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Jalan raya yang ada rusak berat. Kerusakan itu telah lama terjadi, tetapi tidak pernah diperbaiki. Padahal, Waerebo merupakan salah satu tujuan wisawata wisawatan dunia.
Dalam rubrik surat pembaca harian Kompas edisi Rabu, 13 April 2022 lalu, Albertus Pranoto menggugat. Setidaknya ada tiga hal mendasar yang dipersoalkannya. Pertama, semua akses jalan raya menuju Waerebo baik dari arah selatan maupun timur dalam kondisi rusak parah. Kondisi ini seharusnya tidak terjadi di wilayah yang menjadi incaran wisatawan dunia. Infrasktuktur jalan harus menjadi prioritas utama agar wisatawan dapat melakukan perjalanan dengan nyaman.
Kedua, tukang ojek yang melayani pengangkutan dari Dintor ke Pos Satu Waerebo sejauh sekitar 2,5 kilometer belum teroganisir dengan baik. Akibatnya, mereka berebutan penumpang tanpa mempedulikan kenyamanan para penggunanya.
Ketiga, adanya pengabaian dari Pemerintah Kabupaten Manggarai, pemerintah Provinsi NTT, dan pemerintah pusat terhadap kerusakan jalan menuju Waerebo. Hal ini bertolak belakang dengan yang dilakukan di Labuan Bajo.
Sudah lama dibiarkan
Masalah kerusakan jalan menuju Waerebo sebetulnya bukanlah kisah baru. Persoalan ini sudah berlangsung sangat lama, tetapi tetap dibiarkan rusak. Semakin lama kondisinya semakin parah.
Saya teringat pada Agustus 2017 sewaktu harian Kompas menggelar touring Jelajah Sepeda Flores yang diikuti 60an pesepeda dari berbagai kota di Indonesia. Saat itu, kampung adat Waerebo, termasuk salah satu lokasi yang didatangi peserta. Bahkan, di situ pula digelar upacara bendera memperingati Hari Ulang Tahun ke-72 Kemerdekaan Republik Indonesia. Inspektur upacara yakni Irjen Pol Royke Lumowa yang saat itu menjabat Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri.
Ketika itu, kami berangkat dari Ruteng menuju Waerebo melalui Cancar dan Todo, yakni jalur timur. Kondisi jalan saat itu pun rusak parah. Kerusakannya cukup panjang, bahkan hampir sebagian besar dari ruas jalan dari Todo hingga Denge, kampung terakhir menuju Waerebo. Demi masuk Waerebo sebelum matahari terbenam, peserta terpaksa dievakuasi menggunakan mobil truk menuju suatu lokasi sekitar satu kilometer menjelang pos satu. Pos satu merupakan titik untuk memulai berjalan kaki menuju kampung adat Waerebo
Esok harinya, sewaktu kembali dari Waerebo menuju Labuan Bajo, kami memilih melewati jalur selatan, yakni Nangalili. Waktu tempuhnya lebih pendek, hanya 2,5 jam dari Denge hingga di Lembor yang merupakan titik persimpangan dengan jalan utama lintas Flores. Jika melewati jalur timur yakni Todo membutuhkan waktu sekitar 4-4,5 jam.

Jalur lintas selatan Kabupaten Manggarai Barat dan Manggarai tampak rusak parah. Padahal, jalur ini selalu jadi jalan utama bagi wisatawan yang hendak mengunjungi kampung adat Waerebo. Foto diambil November 2021. Foto: Dokumentasi Jelajah Bike.
Kerusakan jalan di jalur selatan pun setali tiga uang dengan jalur timur. Di jalur ini malah ada pula jembatan putus yang sudah beberapa tahun dibiarkan merana. Akibatnya, kami harus menyewa truk lebih banyak lagi agar bisa mengangkut secara estafet.
Pada 26 November 2021, bersama rombongan sepeda Jelajah Komodo, kami mendatangi lagi Waerebo. Perjalanan dimulai dari Lembor melewati Nangalili. Kerusakan jalannya makin parah. Yang berubah hanya jembatan putus sudah dibangun baru. Tetapi jembatan-jembatan kecil lainnya malah dibiarkan bertambah rusak. Perubahan lain yakni ruas jalan dari Dintor hingga Denge sejauh sekitar lima kilometer juga sudah diaspal mulus.
Para peserta Jelajah Komodo tidak habis pikir dengan pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Bayangkan, kampung adat Waerebo sudah lama mendunia. Wisatawan dunia telah menjadikan Waerebo sebagai salah satu tujuan utama saat mengunjungi Flores, tetapi kerusakan jalan menuju Denge sama sekali tidak diperbaiki. Jalan dan jembatan masih dibiarkan rusak.
“Tahun 2017, kami pernah datang ke Waerebo, kondisinya jalan rayanya tidak banyak berubah. Jika pemerintah daerah dan pemerintah pusat peduli dengan Waerebo, maka segera bangun jalan raya dan jembatan yang lebih baik menuju Denge agar wisatawan lebih nyaman melakukan perjalanan,” tegas Octovianus Noya, pesepeda asal Jakarta.
Proyek yang menganggu
Dari pos satu, pengunjung Waerebo harus berjalan kaki melewati hutan yang lebat dan padat dengan kontur menanjak. Udaranya begitu sejuk dan segar. Pada kilometer pertama, tampak ruas jalan itu sudah dipasang batu-batu ceper yang dilapisi semen. Sepeda motor pun diizinkan melintas di jalur itu. Suara bising kendaraan ini sangat mengganggu para pengunjung yang sedang berjalan kaki menuju ke atau kembali dari Waerebo.
Jalan yang disemen ditata dengan kontur menanjak. Dinding tanah pun dipangkas untuk melebarkan badan jalan, dan tanpa dibangun penahan. Jika hujan lebat, dinding tanah itu berpotensi longsor. Bahkan, jalan yang bersemen pun bakal dipenuhi lumut sehingga menjadi licin sehingga bisa mengganggu perjalanan para pejalan kaki.

Sebuah sepeda motor melewati jalur bagi wisatawan berjalan kaki menuju atau kembali dari kampung adat Waerebo. Proyek ini dinilai tidak memahami kenyamanan pejalan kaki. Foto diambil pada akhir November 2021. Foto: Jannes Eudes Wawa
“Saya tidak mengerti dengan konsep membangun jalan bagi pengunjung Waerebo. Proyek ini bukan membuat pejalan kaki menjadi lebih nyaman, melainkan berpeluang bikin cidera. Kesannya hanya sekedar membangun tanpa mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan dan kenyamanan pejalan kaki. Apalagi memberi ruang sepeda motor untuk melintas,” tegas Hengkie Benjamin, pesepeda yang juga pendaki gunung tinggal di Jakarta.
Leontinus Alpha Edison, pesepeda lainnya juga mengaku kecewa dengan proyek pengerjaan jalan setapak menuju kampung adat Waerebo. Proyek itu dinilai hanya merusak keunikan Waerebo. Dia menduga, aparat pemerintah yang merencanakan proyek itu belum pernah ke Waerebo dan melihat dari segala sisi sebelum membuat perencanaan proyek.
“Proyek ini hanya merusak keunikan Waerebo. Kondisi tradisionalnya seharusnya dipertahankan. Di situlah daya tarik wisatanya. Ada unsur experience dan adventure. Orang kalau hikking melewati hutan dengan pengalaman yang beda melewati jalan tanah. Jika mau ditata, lebih baik merapikan saja,” tegas Leontinus yang juga salah satu pendiri Tokopedia.
Blasius, tokoh masyarakat Waerebo menyatakan terima kasih atas segala kritik dan masukan dari para wisawatan. Dia mengaku hanya bisa membenahi masalah ojek, sedangkan urusan pembangunan jalan setapak yang disemen merupakan kewenangan pemerintah. “Kami pun tidak tahu soal proyek itu. Tiba-tiba saja sudah proyek itu. Kami mau keberatan juga serba salah sehingga hanya diam saja. Fokus kami yakni membenahi ojek sehingga memberi rasa nyaman bagi wisatawan,” jelasnya.
Perhatian bersama
Mengapa kondisi infrastruktur menuju Waerebo dibiarkan rusak? Ada beberapa hal yang bisa ditarik dari persoalan ini. Pertama, perhatian pemerintah pusat dalam membenahi Labuan Bajo sebagai destinasi super premium perlu diacungi jempol. Akan tetapi, perhatian itu masih mengabaikan kawasan penyangga dan wilayah lain di Flores.
Akibatnya, perbaikan jalan dan jembatan ke Waerebo, misalnya, tidak menjadi prioritas utama. Padahal, jika wilayah lain diberi perhatian juga maka membuka peluang bagi wisatawan mengunjungi banyak tempat yang unik dan menarik yang tersebar dari wilayah barat hingga timur Pulau Flores. Setiap kabupaten di Flores memiliki tradisi yang berbeda-beda. Perbedaan itu merupakan kekayaan luar biasa. Semakin lama wisatawan bertahan, maka perputaran uang pun bertambah banyak.
Kedua, Labuan Bajo harus diperlakukan sebagai satu kesatuan dari kawasan Pulau Flores. Membenahi dan memajukan sektor pariwisata di Labuan Bajo perlu diikuti pula dengan wilayah lain dalam kawasan Pulau Flores sehingga semua dapat maju bersama dan merasakan manfaatnya secara bersama pula. Kehadiran Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo selama ini cenderung mengabaikan wilayah lain di Flores. Di sinilah, pengelola badan otoritas perlu memahami lagi aspek sosiologis dan antropologis dari wilayah Flores.

Sejumlah peserta Jelajah Komodo pada November 2021 sedang kembali dari Waerebo. Foto: Jannes Eudes Wawa
Ketiga, masih menguatnya ego wilayah. Para kepala daerah belum memiliki visi yang sama dalam membangkitkan dan menghidupkan sektor pariwisata. Labuan Bajo dengan segala keunggulannya saat ini belum dijadikan sebagai lokomotif bersama untuk memajukan sektor pariwisata dalam kawasan Flores.
Keempat, selama ini pembangunan Labuan Bajo sebagai kawasan pariwisata super premium telah menyedot investasi swasta dan pemerintah yang sangat besar. Belum ada angka pasti soal nilai investasi, tetapi perubahan wajah Labuan Bajo yang kini bersih, tertata dengan bangunan-bangunan besar dan megah, seperti belasan hotel bintang tiga dan empat.
Investasi fisik itu belum diimbangi dengan penyiapan sumber daya manusia yang handal. Tenaga lokal masih kalah bersaing. Bahkan, dalam sektor produksi dan jasa pun, warga lokal nyaris tidak kebagian porsi. Jika kondisi ini dibiarkan, lambat laum berpotensi menimbulkan konflik sosial.
Sudah waktunya pemerintah menyokong latihan wirausaha bagi kaum muda di Labuan Bajo dan Flores pada umumnya. Wawasan, visi dan cara pandang tentang wirausaha dibuka selebar-lebarnya. Lalu diberi motivasi, dan sejak dini dibentuk serta didorong untuk menekuni dunia usaha. Jika hal ini dilakukan terus-menerus pasti muncul usahawan baru yang sukses.
Apabila persoalan-persoalan ini segera diatasi, maka pariwisata super premium Labuan Bajo dapat menumbuhkan ekonomi secara merata di seluruh wilayah Flores. Roda ekonomi berputar, masyarakat pun secara bertahap mengalami perbaikan kesejahteraan.
JANNES EUDES WAWA
Pegiat Touring Sepeda

Bisnis
Kompetisi IBL 2024, Penetrasi Pasar Pelita Air

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Kompetisi bola bakset profesional di Indonesia memasuki babak baru. Mulai 2024 ini, pertandingan mulai menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Semua klub memiliki kesempatan yang sama menjadi tuan rumah dan tamu. Beban biaya operasional klub bakal membengkak, tetapi keuntungannya pun tidak sedikit.
Sistem kompetisi ini merupakan sebuah terobosan baru bagi Indonesia Basketball League (IBL). Ada keyakinan, industri bola basket nasional bakal jauh lebih berkembang dan maju.
Tantangan dan peluang
Akan tetapi, ada sejumlah tantangan dan peluang. Pertama, tantangan yang utama yakni semua klub peserta akan mengalami peningkatan biaya akomodasi. Dalam setiap laga tandang, klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya yang berjumlah sekitar 25 orang.
Biaya akomodasi untuk perjalanan lumayan besar. Para pengelola klub memprediksi mencapai 30 persen dari total kebutuhan biaya selama musim kompesisi tahun 2024.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia 2024. Tahun ini mulai menerapkan sistem kandang dan tandang. Foto: arsip
Kedua, sistem kandang dan tandang juga berpeluang melahirkan kebanggaan lokal di kalangan masyarakat setempat. Hal ini memudahkan klub memperkuat relasi dengan para pendukung.
Semakin banyak pendukung berpeluang meningkatkan jumlah penonton. Dengan demikian, potensi pendapatan klub dari pertandingan juga membesar. Bagi IBL, penonton yang membludak membuat industri bola basket nasional berkembang lebih optimal.
Ketiga, klub dan manajemen IBL berpeluang menambah jumlah perusahaan sponsor dan nilai sponsorship. Apabila potensi ini tertangani optimal, maka menambah pendapatan klub dan IBL. Potensi ini menjadi kekuatan yang dapat menarik investor melakukan investasi dalam industri bola basket.
Ada14 klub peserta IBL tahun 2024. Klub-klub itu berkandang di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan sejumlah kota lainnya. Letak kota-kota ini sangat jauh dan umumnya hanya dapat dijangkau melalui penerbangan.
Titik temu kepentingan
Di sinilah adanya titik temu kepentingan antara IBL dan Pelita Air. IBL membutuhkan dukungan perusahaan penerbangan untuk mengangkut pemain, pelatih dan official lainnya guna mengikuti laga tandang. Dukungan itu dapat meringankan beban biaya akomodasi dari setiap klub.
Sementara manajemen Pelita Air melihat basket sebagai pasar potensial. Bola basket selalu indentik dengan kaum muda. Dimana-mana, setiap ada pertandingan bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Ada yang masih sekolah atau kuliah, tetapi banyak pula yang sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.
Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.
Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.
Garap penggemar
Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air
Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, bola basket juga selalu erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air.
Lebih dari itu, Pelita Air sepertinya tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.
Kehadiran Pelita Air telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.
Yang terpenting lagi adalah pemilik dan pengelola event perlu loyal kepada patner atau mitranya. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan yang saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang perlu diterapkan dalam IBL.

Pesawat menjadi salah satu kebutuhan vital bagi klub peserta IBL 2024. Hal ini karena ada sistem kompetisi kandang dan tandang. Foto: Jannes Eudes Wawa
Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda. Akan tetapi, manajemennya masih terbatas dan minimnya dukungan sponsor. Salah satunya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Padahal, industri olahraga selalu mampu menjadi lokomotif yang handal dalam menarik sektor lain untuk menggerakkan ekonomi. Jika semakin banyak terselenggara even olahraga, peluang ekonomi nasional semakin besar dan nyata. ***
Bisnis
Basket, Pelita Air dan Generasi Milenial

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Industri penerbangan dan industri olahraga selalu bersinggungan. Dalam olahraga, kompetisi adalah ruh industri. Melalui kompetisi yang rutin dengan manajemen profesional, industri olahraga mendapatkan energi besar. Kompetisi selalu melibatkan klub dan individu. Di balik mereka ada pendukung, penggemar, dan penonton. Inilah pasar bagi maskapai.
Bola basket termasuk salah satu cabang olahraga yang cukup populer, terlebih di kalangan anak muda. Setiap kali ada pertandingan, para penonton umumnya kaum muda terpelajar. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia.
Hal ini tidak terlepas dari begitu membuminya olahraga tersebut. Lapangan basket tidak membutuhkan area yang luas sehingga selalu terbangun di setiap sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Itu sebabnya, sejak usia dini, para peminat bola basket mulai tertempah. Belum lagi kompetisi bola basket di kalangan pelajar dan mahasiswa selalu rutin terlaksana. Sebut saja Liga Mahasiswa Bola Basket yang melibatkan sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia yang kian meriah. Pemain asing mulai terlibat. Foto: Arsip
Ada pula Red Bull Basketball Championship (RBBC) yang merupakan kompetisi bola basket antar-pelajar SMA dan sederajat. Kompetisi ini pernah terlaksana di 10 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan.
Di luar itu, klub bola basket juga terus tumbuh dan berkembang. Bahkan, sejak tahun 1982 telah ada kompetisi antarklub bernama Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama). Meski level amatir, kompetisi ini bergulir selama 20 tahun hingga berhenti pada tahun 2010.
Di saat yang sama yakni sejak tahun 2003, lahir kompetisi profesional Indonesia Basketball League (IBL) dengan peserta adalah klub-klub papan atas. Dalam perjalanannya, IBL juga mengalami pasang surut.
Biaya akomodasi naik
Meski tertatih-tatih, IBL terus berjalan. Bahkan, sejak tahun 2017, IBL membolehkan adanya pemain asing dalam setiap klub. Kebijakan ini membuat kompetisi IBL bertambah hidup. Persaingan antarklub untuk menjadi yang terbaik pun meningkat.
Setapak demi setapak, penonton IBL mulai bertumbuh. Tiket yang tersedia dalam setiap pertandingan di kota-kota penyelenggara pada tahun 2020, misalnya, selalu habis terjual. Setiap klub juga semakin giat memperkuat hubungan dengan para penggemar.
Dalam musim kompetisi 2024, manajemen IBL melakukan terobosan baru. Untuk pertama kalinya menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Sistem kompetisi ini, menurut Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah, menguras banyak tenaga dan biaya dari semua klub peserta.
Penerapan sistem kompetisi ini memiliki sejumlah tantangan dan peluang. Salah satunya yakni klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya sekitar 25 orang untuk mengikuti laga tandang di berbagai kota.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air
Perjalanan ini membutuhkan transportasi udara, penginapan, konsumsi dan lainnya. Biayanya tidak sedikit. Apalagi perjalanan menjelang akhir pekan sehingga harga tiket pesawat lebih mahal. Beban biaya akomodasi ini mencapai sekitar 30 persen dari total kebutuhan finansial selama musim kompetisi 2024.
Itu sebabnya, IBL membutuhkan dukungan maskapai untuk mengangkut tim yang ingin bertanding laga tandang. Kehadiran maskapai tersebut dapat mengurangi beban klub dan memastikan kompetisi bakal berjalan lancar. Maklum, 14 klub peserta IBL tahun 2024 tersebar di banyak kota, seperti Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan lainnya.
Pasar generasi milenial
Pelita Air melihat peluang tersebut. Dimana-mana, setiap ada kompetisi bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Banyak di antara mereka sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.
Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.
Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.
Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.
“Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, kami menilai bola basket juga erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air” kata Direktur Utama Pelita Air Dendy Kurniawan.
Bagi Dendy, Pelita Air tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.
Perkuat sinergi
Di mata Junas Miradiarsyah, kehadiran Pelita Air telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.

Kompetisi Bola Basket Indonesia (IBL) 2024 yang kian semarak. Tahun ini mulai menerapakan sistem kandang dan tandang. Foto: Arsip
“Kami harus lebih loyal kepada patner. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang kami terapkan dalam IBL.” Jelas Junas.
Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda.
Akan tetapi, minimnya dukungan sponsor sehingga event olahraga tidak berjalan optimal. Padahal, industri olahraga terbukti menjadi lokomotif yang mampu menggerakkan semua sektor ekonomi.
Bisnis
Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Belakangan ini masyarakat kembali mengeluhkan harga tiket pesawat penerbangan domestik yang mahal. Bahkan, untuk rute tertentu harganya lebih mahal dibanding tiket penerbangan internasional. Keluhan ini sudah berkali-kali terungkap, tetapi solusinya selalu nihil. Yang ada malah harga tiket melambung lagi.
Sebagai negara kepulauan, transportasi udara merupakan pilihan paling efektif di Indonesia. Coba kita bayangkan, jarak dari Sabang ke Merauke, atau Jakarta-Makassar, atau Jakarta-Balikpapan, Jakarta-Bali, atau Jakarta-Labuan Bajo pergi pulang.
Kalau mengikuti jalur jalan darat dan laut, maka perjalanan menuju ke rute-rute itu membutuhkan waktu selama beberapa pekan untuk sekali jalan. Sebaliknya menggunakan pesawat berbadan lebar hanya membutuhkan waktu penerbangan selama beberapa jam.

Para kru Pelita Air Service yang tampil lebih elegan setelah menjadi penerbangan niaga berjadwal, Foto: Arsip Pelita Air
Menggunakan jasa penerbangan dapat memangkas waktu perjalanan yang signifikan. Penghematan waktu otomatis membuat penanganan urusan pun menjadi lebih efisien serta cepat tuntas.
Masa perang tarif
Era reformasi yang lahir pada tahun 1998 telah memberi kesempatan yang luas bagi swasta membangun perusahaan penerbangan. Maka, sejak itu, maskapai nasional pun lahir bagai cendawan tumbuh di musim hujan.
Ada puluhan perusahaan penerbangan yang beroperasi. Ada yang mengandalkan tiga pesawat, dan ada yang memiliki lima unit pesawat atau lebih. Untuk merebut penumpang, maskapai-maskapai baru berani memberlakukan tarif sangat murah.
Bayangkan, pada tahun 2002, misalnya, harga tiket pesawat rute Jakarta-Surabaya yang biasanya rata-rata Rp 760.000, tetapi maskapai Indonesia Airlines (IA) menawarkan tarif Rp 390.000. Pelita Air lebih murah lagi, yakni Rp 333.000. Harga ini setara tiket kereta api dengan rute yang sama.
Rute Jakarta-Batam yang biasanya Rp 850.000 per penumpang, tetapi Lion Air dan Jatayu Air hanya Rp 499.000. Pelita Air rute Surabaya-Makassar seharga Rp 333.000. Entah seperti apa penghitungannya, tetapi perusahaan penerbangan berlomba-lomba melakukan perang tarif, (Kompas 20/5/2002).

Bali menjadi tujuan utama wisatwan domestik dan mancanegara. Jumlah wisatawan domestik bakal meningkat pesat jika ada penurunan harga tiket pesawat. Foto: Jannes Eudes Wawa
Dampak positifnya yakni penggunaan pesawat tidak lagi sebatas masyarakat kelas menengah ke atas melainkan semua lapisan sosial. Siapa pun bisa terbang. Penerbangan pun menjadi urat nadi utama transportasi nasional. Kapal penumpang, kereta api dan angkutan bus kelimpungan menghadapi agresitivitas bisnis penerbangan komersial berjadwal.
Dampak Covid-19
Seiring perjalanan waktu, satu demi satu perusahaan penerbangan pun rontok. Mereka tidak sanggup lagi menghadapi persaingan yang ketat. Perang tarif tiket merupakan salah satu pemicunya, sebab bisnis penerbangan tergolong risiko tinggi dan padat modal, tetapi potensi keuntungan yang minim.
Maskapai yang tetap eksis hingga saat ini hanya Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia dan Citilink), Air Asia, Sriwijaya Group (Sriwijaya dan NAM) serta Lion Group (Lion, Batik dan Wings). Terakhir datang lagi Pelita Air, anak perusahaan Pertamina. Maskapai ini sejak April 2022 bertranformasi menjadi penerbangan komersial berjadwal.
Perusahaan-perusahaan ini telah teruji di lapangan sehingga selalu menemukan cara untuk mengatasi persoalan bisnis. Meski demikian, bukan berarti urusan bisnis sudah tuntas.
Hingga kini sebagian besar biaya pengeluaran, seperti sewa pesawat, biaya bahan bakar, suku cadang untuk perawatan dan lainnya dalam bentuk mata uang asing (dollar AS dan euro). Akan tetapi, pendapatan melalui mata uang lokal (rupiah).

Penerbangan domestik menjadi kekuatan utama bisnis penerbangan di Indonesia. Akan tetapi, nilai tukar rupiah yang masih melemah dapat menjadi kendala serius bagi pengelola bisnis ini. Foto: Jannes Eudes Wawa
Perbedaan nilai tukar pun masih signifikan. Saat ini satu euro setara Rp 17.123 dan satu dollar AS setara kurang lebih Rp 15.821. Para ahli ekonomi memprediksi gunjangan terhadap nilai rupiah ini masih berlanjut hingga paruh kedua tahun 2024 sebagai dampak dinamika global dan domestik.
Khusus di dalam negeri, dimana situasi politik yang kian panas. Kalau nilai rupiah terus melemah otomatis memicu mahalnya harga avtur, sewa pesawat, harga suku cadang, asuransi dan lainnya.
Keluhan masyarakat
Meski demikian, masyarakat terus mengeluhkan tarif tiket pesawat yang mahal. Keluhan tersebut wajar, sebab serangan wabah covid-19 selama tahun 2020-2022 telah menimbulkan krisis ekonomi sangat parah.
Banyak warga kehilangan pekerjaan. Tidak sedikit perusahaan gulung tikar. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan begitu masif hingga kini. Aktivitas industri pun belum stabil. Krisis itu membuat pendapatan masyarakat pun merosot, tetapi beban biaya keluarga terus meningkat.
Sebaliknya dari pihak maskapai beranggapan harga tiket saat ini masih normal. Harga yang ada masih berada di antara tarif batas bawah dan tarif batas sebagaimana keputusan Menteri Perhubungan Nomor 16 tahun 2019.
Misalnya, Jakarta-Banda Aceh berkisar Rp 780.000-Rp 2.228.000, Jakarta- Medan Rp 630.000-Rp 1.799.000, Jakarta-Semarang Rp 279.000-Rp 796.000, Jakarta-Surabaya Rp 408.1.167.000, dan Jakarta-Solo Rp 317.000-Rp 906.000.
Ada jalan
Argumentasi masing-masing pihak sangat rasional. Perdebatan ini bakal sulit mendapatkan titik temu. Padahal, perlu solusi agar tidak terjadi krisis baru sebagai dampak dari menurunkan mobilitas masyarakat melalui angkutan udara.
Timbul pertanyaan, masih adakah celah yang memungkinkan penurunan harga tiket pesawat? Jawabannya: Ada. Akan tetapi, kewenangan tersebut sudah di luar aspek bisnis. Di sini, bola itu ada pada pemerintah.

Indonesia memiliki banyak sekali alam yang indah. Potensi ini hanya dapat berkembang kalau didukung dengan transportasi udara yang memadai dan tarif tiket yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Foto: Jannes Eudes Wawa
Faktanya demikian. Pertama, penjualan avtur penerbangan domestik dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 0,3 persen, di samping ada pungutan lain. Padahal, penerbangan internasional terbebas dari PPN dan PPh. Kedua, adanya PPN 10 persen yang melekat dalam setiap tarif tiket yang diberlakukan kepada konsumen.
Maka, terkait desakan penurunan tarif tiket pesawat domestik, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah. Pertama, menghapus PPN dari pembelian tiket dan avtur pesawat.
Kedua, meniadakan PPN dari pembelian tiket pesawat. Ketiga, memberikan insentif keringanan PPN lebih dari lima persen.
Memang, sangat dilematis, sebab ketiga pilihan ini akan mengurangi penerimaan pendapatan negara. Padahal, pemerintah terus berupaya menggenjot kenaikan penerimaan negara melalui pajak.
INACA memprakirakan, jumlah penumpang domestik tahun 2023, sekitar 70,8 juta orang. Jumlah ini masih rendah dibanding tahun 2019 atau sebelum Covid-19 mencapai 79,5 juta penumpang. Sementara tahun 2022 hanya 56,4 juta penumpang.
Berbagi beban
Pemberian insentif karena kondisi ekonomi tidak stabil. Dalam situasi seperti ini pemerintah, pelaku industri penerbangan dan masyarakat perlu saling berbagi beban. Maka, insentif ibarat melepas umpan ikan teri untuk mendapatkan ikan kakap. Inilah cara terbaik dan efektif untuk menurunkan biaya yang cukup signifikan dari tarif tiket pesawat.
Pajak sesungguhnya adalah cerminan dari berputarnya kegiatan ekonomi. Insentif adalah bagian dari umpan. Dengan harga tiket murah otomatis semakin banyak masyarakat terbang menggunakan pesawat. Jumlah penumpang domestik pasti meningkat pesat.

Negeri di atas awan di Lolai, Tana Toraja selalu menjadi incaran wisatawan. Di sana, mereka menyaksikan matahari terbit dengan panorama yang indah. Foto: Jannes Eudes Wawa
Sektor pariwisata menggeliat. Dampak ikutannya sangat besar. Semua sektor ekonomi ikut bergerak serentak. Akhirnya PPN yang hilang dari tiket tergantikan melalui bagian lain, seperti belanja UMKN, penginapan dan lainnya.
Seperti kata Siswono Yudo Husodo, praktisi ekonomi, “Kita harus mendorong ekonomi berputar lebih cepat agar penerimaan pajak meningkat seperti diharapkan. Kita perlu belajar dari sejarah empirik perekonomian banyak negara dimana untuk mempercepat perputaran ekonomi, tarif pajak justru diturunkan, tetapi penerimaan negara justru meningkat”. (Kompas, 31/1/2024)
Kita menunggu keberanian dan keikhlasan pemerintah. Semoga!
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris3 tahun ago
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya