Connect with us

Bisnis

Kiprah Orang Palembang (2): Reformasi dan Kebangkitan “Wong Kito Galo”

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Jika ada yang bertanya, kota mana di Indonesia yang paling beruntung selama era reformasi? Jawabannya satu, yakni Palembang.

Mengapa? Karena selama kurun waktu 14 tahun yakni selama 2004-2018, Palembang mampu mengubah diri dari sebuah kota kecil yang tidak memiliki hotel berbintang menjadi kota besar yang menyedot pundi-pundi para pebisnis kelas kakap.

Prestasi itu lahir berkat kemampuannya menjadi penyelenggara kegiatan olahraga berskala nasional dan internasional. Hal ini terjadi karena adanya solidaritas yang kuat di antara sesama orang Palembang.

Mereka mengesampingkan perbedaan aliran politik dan lain sejenisnya, lalu bersatu dan bekerja sama mempejuangkan Palembang menjadi kota bertaraf internasional. Kota yang dapat menggema di seluruh dunia.

Gadis Palembang dengan busana adat setempat. Foto: Jannes Eudes Wawa

Awal mula kebangkitan tersebut dimulai dari penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) XVI di Sumatera Selatan pada 2-14 September 2004. Kegiatan itu melibatkan 5.660 atlet, 2.830 orang official, 1.000 orang wasit dan 75 orang technical delegate. Belum lagi penonton dan para pendukung lainnya dari semua provinsi di Indonesia.

Dua pekan berselang dilakukan Pekan Olahraga Cacat Nasional (Porcanas) pada 30 September-4 Oktober 2004. Kegiatan ini diikuti 1.000 orang atlet dan official, 68 orang wasit dan 8 orang technical delegate.

Bangun infrastruktur

Untuk menyukseskan pesta olahraga tersebut, pemerintah membangun kompleks olahraga di Jakabaring. Membangun kembali landas pacu dan terminal penumpang bandar udara Sultan Badaruddin II Palembang agar pesawat berbadan lebar pun mampu mendarat dengan nyaman. Frekuensi penerbangan dari Jakarta ke Palembang pergi pulang pun mulai bertambah.

Saat yang sama, sejumlah investor swasta mulai membangun hotel berbintang di Palembang. Ini sebuah loncatan besar, sebab sebelumnya Kota Palembang agak tertinggal dibanding dengan Kota Bandar Lampung yang kala itu sudah memiliki hotel bintang tiga.

Setelah itu, kegiatan nasional pun mulai banyak digelar di Palembang. Sumsel pun menjadi salah satu pilihan utama bagi investor nasional dan asing untuk berinvestasi.

Pemda setempat kemudian tetap merawat kompleks olahraga Jakabaring dengan baik. Salah satu di antaranya adalah membeli klub sepakbola Persijatim yang berganti nama menjadi Sriwijaya FC. Klub ini memanfaatkan Stadion Jakabaring sebagai kandang dan terus berkembang.

Sukses menyelenggarakan PON, maka awal tahun 2009, pemerintah Provinsi Sumsel kembali mengajukan diri menjadi tuan rumah Pesta Olahraga masyarakat Asia Tenggara (SEA Games) 2011. Usulan tersebut pun diterima.

Bahkan, pemerintah pusat saat itu menunjuk Kota Palembang sebagai tempat acara pembukaan dan penutupan SEA Games 2011. Modal utama adalah keseriusan, kesanggupan dan komitmen yang kuat dari pemerintah daerah serta seluruh masyarakat Sumsel untuk menggelar acara bergengsi tersebut.

“Saya memutuskan bahwa kita memilih provinsi yang tidak hanya siap, tetapi juga memiliki semangat untuk menjadi tuan rumah. Saudara Gubernur Sumsel saya nilai mempunyai tekat dan semangat yang tinggi untuk menjadi tuan rumah (SEA Games) yang baik,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 9/8/2010).

Penuhi persyaratan

Komite Olimpiade Internasional (IOC) sesungguhnya telah menetapkan puluhan syarat bagi sebuah kota penyelenggara internasional. Mulai dari penyediaan infrastruktur umum, infrastruktur khusus, tempat pertandingan hingga organisasi penyelenggara.

Untuk infrastruktur umum, misalnya, IOC mewajibkan memiliki bandara bertaraf internasional. Bandara Sultan Badaruddin II Palembang saat itu, memang telah terkategori internasional, tetapi kapasitas terminal khususnya di ruang keberangkatan dan kedatangan internasional masih sangat terbatas.

Jika para peserta, penonton, dan penumpang lainnya datang dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang berdekatan, hal itu bakal membuat mereka harus berdesakan saat pengambilan barang. Kondisi itu menuntut pembenahan.

Syarat lain seperti penyediaan transportasi dari bandara ke tempat penginapan, jaringan internet, rumah sakit, perhotelan, restoran dan lain sebagainya. Fasilitas ini bukan semata-mata untuk atlet, melainkan para tamu lain, termasuk dari luar negeri yang datang atas biaya sendiri atau kelompok untuk menonton dan memberikan dukungan bagi atletnya yang akan bertanding.

Untuk menyediakan fasilitas bertaraf internasional tersebut pemerintah pusat pun menggelontorkan dana yang besar dari APBN serta investasi dari badan usaha milik negara (BUMN) dan swasta. Masuknya investasi pemerintah dan swasta ini otomatis menggerakan ekonomi lokal. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) setempat ikut bangkit.

Adanya kegiatan olahraga bertaraf internasional itu membuat wajah Kota Palembang dan sekitarnya pun berubah. Kota semakin tertata. Pemasangan lampu jalan, perbaikan taman kota, pengaspalan jalan, perbaikan saluran air, penyediaan air bersih, aliran listrik pun stabil selama 24 jam.

Yang lebih menarik lagi adalah muncul kesadaran bersama dari masyarakat setempat yang ingin mewujudkan Kota Palembang yang aman. Mereka bahu-membahu berusaha agar kota ini jangan lagi menjadi kawasan yang rawan kriminalitas, melainkan bersih dan nyaman bagi wisatawan sehingga pantas untuk tinggal lebih lama.

Asian Games

Manuver orang Palembang belum selesai. Pada tahun 2018, Palembang bersama Jakarta terpilih lagi menjadi tuan rumah pesta olahraga masyarakat Asia (Asian Games). Panggung promosi ibukota Sumatera Selatan pun bertambah tinggi dan semakin meluas.

Palembang pun menjadi buah bibir masyarakat Asia dan dunia. Sorot mata dunia pun tertuju ke Palembang. Palembang menjadi kota pertama di luar Jakarta yang menjadi tuan rumah event olahraga terbesar di Asia ini.

Demi menjadi tuan rumah yang baik, pemerintah membangun sejumlah fasilitas umum dan infrastruktur secara besar-besaran di Palembang. Misalnya, perluasan terminal penumpang bandara dan perpanjangan landas pacu bandara Sultan Badaruddin II, pembangunan jembatan Sungai Musi II, pembangunan kereta layang dengan rute bandara ke Jakabaring, renovasi tempat pertandingan di kompleks Jakabaring.

Jembatan Ampera, Sungai Musi. Foto: Arsip Jelajah Musi

Total dana yang terserap dalam Pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum baik bersumber dari APBN, penyertaan modal negara dan dana pihak ketiga mencapai Rp 68 triliun. Nilai investasi ini cukup fantastik.

Kalau tanpa adanya even olahraga seperti Asian Games di Palembang, Sumatera Selatan takkan mungkin mendapatkan dukungan dana begitu banyak untuk membangun infrastrukur dan fasilitas umum lainnya dalam waktu yang relatif pendek. Inilah keuntungan bagi Palembang.

Saat ini kita menyaksikan betapa wajah Kota Palembang berubah begitu drastic. Kota itu semakin hidup sebagai pertanda ekonomi masyarakat pun menggeliat. Hotel berbintang hadir begitu banyak. Tingkat keterisian pun selalu di atas 70 persen.

Aktivitas di Bandara Sultan Badaruddin II juga tinggi, sebab frekuensi kedatangan dan keberangkatan cukup padat. Kondisi ini menandakan bahwa perekonomian setempat terus berkembang dan selalu memberikan harapan baik.

Solidaritas yang kuat

Memang, harus kita akui, potensi sumber daya alam di Sumatera Selatan juga sangat besar. Ada kilang minyak di Plaju yang memproduksi bahan bakar minyak mencapai 1,6 juta-1,7 juta barel per bulan. Kilang minyak di Plaju merupakan yang tertua di Indonesia. Usianya melebihi 100 tahun.

Belum lagi tambang batu bara yang berlimpah. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dari total sumber daya batu bara nasional sebesar 149,01 miliar ton, Sumsel berkontribusi sekitar 43 miliar ton. Adapun cadangan batu bara nasional yang mencapai 36,60 miliar ton, Sumsel menyumbang 9,3 miliar ton.

Seharusnya dengan mengandalkan potensi tambang yang ada yang didukung dengan perkebunan karet dan kelapa sawit, Sumsel sepatutnya mampu berkembang. Wajah Kota Palembang sebagai sentra pergerakan ekonomi sepantasnya lebih hidup.

Akan tetapi, faktanya jauh panggang dari api. Kondisi ini menimbulkan kegelisahan yang luar biasa di kalangan orang Palembang. Mereka menyadari perlu sebuah terobosan yang luar biasa agar perekonomian Sumsel dan Palembang bisa bertumbuh signifikan dan cepat. Bahkan, Palembang perlu menjadi kota bertaraf internasional.

Di wilayah Empat Lawang, Sumatera Selatan ada aktivitas arung jeram. Olahraga ini cukup digemari para petualang. Foto: arsip jelajah musi

Pilihan kemudian jatuh pada even olahraga. Berkat kecerdikan para pemimpinnya yang terus-menerus melakukan pendekatan ke pemerintah pusat dan berbagai pihak, Kota Palembang pun menjadi tuan rumah. Mereka juga mampu mengapitalisasi kegiatan bertaraf nasional dan internasional sebagai momentum mempercepat pergerakan dan pertumbuhan ekonomi di wilayah itu.

Faktanya seperti yang kita lihat saat ini. Kota Palembang telah berkembang menjadi salah satu kota besar di Indonesia dan dunia. Popularitasnya menggema ke seluruh dunia. Hal ini menjadi magnet besar bagi investor kelas kakap dan wisatawan.

Semuanya dapat terwujud dengan optimal berkat solidaritas yang kuat sesama Wong Kita Galo. Semangat saling mendukung tanpa membedakan aliran politik, agama, suku dan lainnya subur berkembang dalam segala urusan. Jika semangat ini selalu terjaga, maka Wong Kito Galo akan selalu terdepan dalam memajukan negeri ini. (bersambung)

JANNES EUDES WAWA
Wartawan Senior

Baca juga:

Kiprah Orang Palembang (1): Dari Sriwijaya untuk Nusantara

Share ini

Bisnis

Kompetisi IBL 2024, Penetrasi Pasar Pelita Air

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Kompetisi bola bakset profesional di Indonesia memasuki babak baru. Mulai 2024 ini, pertandingan mulai menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Semua klub memiliki kesempatan yang sama menjadi tuan rumah dan tamu. Beban biaya operasional klub bakal membengkak, tetapi keuntungannya pun tidak sedikit.

Sistem kompetisi ini merupakan sebuah terobosan baru bagi Indonesia Basketball League (IBL). Ada keyakinan, industri bola basket nasional bakal jauh lebih berkembang dan maju.

Tantangan dan peluang

Akan tetapi, ada sejumlah tantangan dan peluang. Pertama, tantangan yang utama yakni semua klub peserta akan mengalami peningkatan biaya akomodasi. Dalam setiap laga tandang, klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya yang berjumlah sekitar 25 orang.

Biaya akomodasi untuk perjalanan lumayan besar. Para pengelola klub memprediksi mencapai 30 persen dari total kebutuhan biaya selama musim kompesisi tahun 2024.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia 2024. Tahun ini mulai menerapkan sistem kandang dan tandang. Foto: arsip

Kedua, sistem kandang dan tandang juga berpeluang melahirkan kebanggaan lokal di kalangan masyarakat setempat. Hal ini memudahkan klub memperkuat relasi dengan para pendukung.

Semakin banyak pendukung berpeluang meningkatkan jumlah penonton. Dengan demikian, potensi pendapatan klub dari pertandingan juga membesar. Bagi IBL, penonton yang membludak membuat industri bola basket nasional berkembang lebih optimal.

Ketiga, klub dan manajemen IBL berpeluang menambah jumlah perusahaan sponsor dan nilai sponsorship. Apabila potensi ini tertangani optimal, maka menambah pendapatan klub dan IBL. Potensi ini menjadi kekuatan yang dapat menarik investor melakukan investasi dalam industri bola basket.

Ada14 klub peserta IBL tahun 2024. Klub-klub itu berkandang di Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan sejumlah kota lainnya. Letak kota-kota ini sangat jauh dan umumnya hanya dapat dijangkau melalui penerbangan.

Titik temu kepentingan

Di sinilah adanya titik temu kepentingan antara IBL dan Pelita Air. IBL membutuhkan dukungan perusahaan penerbangan untuk mengangkut pemain, pelatih dan official lainnya guna mengikuti laga tandang. Dukungan itu dapat meringankan beban biaya akomodasi dari setiap klub.

Sementara manajemen Pelita Air melihat basket sebagai pasar potensial. Bola basket selalu indentik dengan kaum muda. Dimana-mana, setiap ada pertandingan bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Ada yang masih sekolah atau kuliah, tetapi banyak pula yang sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.

Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.

Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.

Garap penggemar

Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air

Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, bola basket juga selalu erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air.

Lebih dari itu, Pelita Air sepertinya tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.

Kehadiran Pelita Air  telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.

Yang terpenting lagi adalah pemilik dan pengelola event perlu loyal kepada patner atau mitranya. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan yang saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang perlu diterapkan dalam IBL.

Pesawat menjadi salah satu kebutuhan vital bagi klub peserta IBL 2024. Hal ini karena ada sistem kompetisi kandang dan tandang. Foto: Jannes Eudes Wawa

Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda. Akan tetapi, manajemennya masih terbatas dan minimnya dukungan sponsor. Salah satunya dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Padahal, industri olahraga selalu mampu menjadi lokomotif yang handal dalam menarik sektor lain untuk menggerakkan ekonomi. Jika semakin banyak terselenggara even olahraga, peluang ekonomi nasional semakin besar dan nyata. ***

Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

Share ini
Continue Reading

Bisnis

Basket, Pelita Air dan Generasi Milenial

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Oleh: JANNES EUDES WAWA

Industri penerbangan dan industri olahraga selalu bersinggungan. Dalam olahraga, kompetisi adalah ruh industri. Melalui kompetisi yang rutin dengan manajemen profesional, industri olahraga mendapatkan energi besar.  Kompetisi selalu melibatkan klub dan individu. Di balik mereka ada pendukung, penggemar, dan penonton. Inilah pasar bagi maskapai.

Bola basket termasuk salah satu cabang olahraga yang cukup populer, terlebih di kalangan anak muda. Setiap kali ada pertandingan, para penonton umumnya kaum muda terpelajar. Fenomena ini juga terjadi di Indonesia.

Hal ini tidak terlepas dari begitu membuminya olahraga tersebut. Lapangan basket tidak membutuhkan area yang luas sehingga selalu terbangun di setiap sekolah mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi.

Itu sebabnya, sejak usia dini, para peminat bola basket mulai tertempah. Belum lagi kompetisi bola basket di kalangan pelajar dan mahasiswa selalu rutin terlaksana. Sebut saja Liga Mahasiswa Bola Basket yang melibatkan sejumlah perguruan tinggi di Pulau Jawa.

Kompetisi Liga Bola Basket Indonesia yang kian meriah. Pemain asing mulai terlibat. Foto: Arsip 

Ada pula Red Bull Basketball Championship (RBBC) yang merupakan kompetisi bola basket antar-pelajar SMA dan sederajat. Kompetisi ini pernah terlaksana di 10 provinsi yakni DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Sumatera Utara, Riau dan Sumatera Selatan.

Di luar itu, klub bola basket juga terus tumbuh dan berkembang. Bahkan, sejak tahun 1982 telah ada kompetisi antarklub bernama Kompetisi Bola Basket Utama (Kobatama). Meski level amatir, kompetisi ini bergulir selama 20 tahun hingga berhenti pada tahun 2010.

Di saat yang sama yakni sejak tahun 2003, lahir kompetisi profesional Indonesia Basketball League (IBL) dengan peserta adalah klub-klub papan atas. Dalam perjalanannya, IBL juga mengalami pasang surut.

Biaya akomodasi naik

Meski tertatih-tatih, IBL terus berjalan. Bahkan, sejak tahun 2017, IBL membolehkan adanya pemain asing dalam setiap klub. Kebijakan ini membuat kompetisi IBL bertambah hidup. Persaingan antarklub untuk menjadi yang terbaik pun meningkat.

Setapak demi setapak, penonton IBL mulai bertumbuh. Tiket yang tersedia dalam setiap pertandingan di kota-kota penyelenggara pada tahun 2020, misalnya, selalu habis terjual. Setiap klub juga semakin giat memperkuat hubungan dengan para penggemar.

Dalam musim kompetisi 2024, manajemen IBL melakukan terobosan baru. Untuk pertama kalinya menerapkan sistem kandang dan tandang (home and away) sepanjang musim. Sistem kompetisi ini, menurut Direktur Utama IBL Junas Miradiarsyah, menguras banyak tenaga dan biaya dari semua klub peserta.

Penerapan sistem kompetisi ini memiliki sejumlah tantangan dan peluang. Salah satunya yakni klub harus memberangkatkan pemain, pelatih dan official lainnya sekitar 25 orang untuk mengikuti laga tandang di berbagai kota.

Pelita Air terlibat dalam kompetsisi IBL 2024. Foto: Arsip Pelita Air

Perjalanan ini membutuhkan transportasi udara, penginapan, konsumsi dan lainnya. Biayanya tidak sedikit. Apalagi perjalanan menjelang akhir pekan sehingga harga tiket pesawat lebih mahal. Beban biaya akomodasi ini mencapai sekitar 30 persen dari total kebutuhan finansial selama musim kompetisi 2024.

Itu sebabnya, IBL membutuhkan dukungan maskapai untuk mengangkut tim yang ingin bertanding laga tandang. Kehadiran maskapai tersebut dapat mengurangi beban klub dan memastikan kompetisi bakal berjalan lancar. Maklum, 14 klub peserta IBL tahun 2024 tersebar di banyak kota, seperti Jakarta, Bandung, Solo, Surabaya, Denpasar, Palembang dan lainnya.

Pasar generasi milenial

Pelita Air melihat peluang tersebut. Dimana-mana, setiap ada kompetisi bola basket, para penonton umumnya kaum muda. Banyak di antara mereka sedang berkarir di dunia usaha serta kelompok profesional. Secara ekonomis, mereka mulai mapan.

Pasar seperti ini yang menjadi incaran Pelita Air. Maklum, sejak pertama kali masuk penerbangan niaga berjadwal pada April 2022, maskapai ini menetapkan kelompok milenial mapan sebagai target utama.

Generasi milenal adalah mereka yang lahir tahun 1981-1996 yang mana sekarang berusia 28 tahun hingga 43 tahun. Kelompok usia ini sudah memiliki penghasilan tetap yang lumayan tinggi. Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020, populasi generasi milenial mencapai 25,87 persen dari total jumlah penduduk.

Itu sebabnya, Pelita Air dan IBL menyepakati kerjasama. Pelita Air menjadi maskapai resmi IBL selama musim kompetisi 2024 dengan menyediakan tiket gratis untuk tim peserta IBL yang menjalani laga tandang ke berbagai kota. Setiap tim maksimal 25 orang.

“Bola basket saat ini bukan lagi sekedar olahraga, tetapi sudah berkembang menjadi bagian dari gaya hidup. Bahkan, kami menilai bola basket juga erat kaitannya dengan kaum milenial sehingga cocok dengan value proposition dari Pelita Air” kata Direktur Utama Pelita Air Dendy Kurniawan.

Bagi Dendy, Pelita Air tidak semata-mata melihat IBL dan klub peserta kompetisi. Di balik itu ada penggemar klub dan penonton yang fanatik. Mereka ini rela pergi kemana saja untuk membela klub kesayangannya bermain.

Perkuat sinergi

Di mata Junas Miradiarsyah, kehadiran Pelita Air telah menjawab segala kerisauan IBL tentang kelancaran kompetisi bagi klub peserta laga tandang. Itu sebabnya, IBL bersama semua klub peserta akan berusaha maksimal untuk memberikan manfaat bagi Pelita Air. Hal itu tidak semata-mata pada promosi, melainkan juga aspek bisnis.

Kompetisi Bola Basket Indonesia (IBL) 2024 yang kian semarak. Tahun ini mulai menerapakan sistem kandang dan tandang. Foto: Arsip

“Kami harus lebih loyal kepada patner. Memang prestasi penting, tetapi menjalin hubungan saling melengkapi dalam bisnis dengan mitra juga sangat penting. Inilah konsep win-win yang kami terapkan dalam IBL.” Jelas Junas.

Negeri ini memiliki potensi yang besar bagi pengembangan industri olahraga. Ada sejumlah cabang olahraga yang semakin digandrungi masyakarat Indonesia, seperti sepak bola, basket, bulu tangkis, lari dan sepeda.

Akan tetapi, minimnya dukungan sponsor sehingga event olahraga tidak berjalan optimal. Padahal, industri olahraga terbukti menjadi lokomotif yang mampu menggerakkan semua sektor ekonomi.

Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

Share ini
Continue Reading

Bisnis

Saatnya Turunkan Tarif Tiket Pesawat Domestik

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
Oleh: JANNES EUDES WAWA

Belakangan ini masyarakat kembali mengeluhkan harga tiket pesawat penerbangan domestik yang mahal. Bahkan, untuk rute tertentu harganya lebih mahal dibanding tiket penerbangan internasional. Keluhan ini sudah berkali-kali terungkap, tetapi solusinya selalu nihil. Yang ada malah harga tiket melambung lagi.

Sebagai negara kepulauan, transportasi udara merupakan pilihan paling efektif di Indonesia. Coba kita bayangkan, jarak dari Sabang ke Merauke, atau Jakarta-Makassar, atau Jakarta-Balikpapan, Jakarta-Bali, atau Jakarta-Labuan Bajo pergi pulang.

Kalau mengikuti jalur jalan darat dan laut, maka perjalanan menuju ke rute-rute itu membutuhkan waktu selama beberapa pekan untuk sekali jalan. Sebaliknya menggunakan pesawat berbadan lebar hanya membutuhkan waktu penerbangan selama beberapa jam.

Para kru Pelita Air Service yang tampil lebih elegan setelah menjadi penerbangan niaga berjadwal, Foto: Arsip Pelita Air

Menggunakan jasa penerbangan dapat memangkas waktu perjalanan yang signifikan. Penghematan waktu otomatis membuat penanganan urusan pun menjadi lebih efisien serta cepat tuntas.

Masa perang tarif

Era reformasi yang lahir pada tahun 1998 telah memberi kesempatan yang luas bagi swasta membangun perusahaan penerbangan. Maka, sejak itu, maskapai nasional pun lahir bagai cendawan tumbuh di musim hujan.

Ada puluhan perusahaan penerbangan yang beroperasi. Ada yang mengandalkan tiga pesawat, dan ada yang memiliki lima unit pesawat atau lebih. Untuk merebut penumpang, maskapai-maskapai baru berani memberlakukan tarif sangat murah.

Bayangkan, pada tahun 2002, misalnya, harga tiket pesawat rute Jakarta-Surabaya yang biasanya rata-rata Rp 760.000, tetapi maskapai Indonesia Airlines (IA) menawarkan tarif Rp 390.000. Pelita Air lebih murah lagi, yakni Rp 333.000. Harga ini setara tiket kereta api dengan rute yang sama.

Rute Jakarta-Batam yang biasanya Rp 850.000 per penumpang, tetapi Lion Air dan Jatayu Air hanya Rp 499.000. Pelita Air rute Surabaya-Makassar seharga Rp 333.000. Entah seperti apa penghitungannya, tetapi perusahaan penerbangan berlomba-lomba melakukan perang tarif, (Kompas 20/5/2002).

Bali menjadi tujuan utama wisatwan domestik dan mancanegara. Jumlah wisatawan domestik bakal meningkat pesat jika ada penurunan harga tiket pesawat. Foto: Jannes Eudes Wawa

Dampak positifnya yakni penggunaan pesawat tidak lagi sebatas masyarakat kelas menengah ke atas melainkan semua lapisan sosial. Siapa pun bisa terbang. Penerbangan pun menjadi urat nadi utama transportasi nasional. Kapal penumpang, kereta api dan angkutan bus kelimpungan menghadapi agresitivitas bisnis penerbangan komersial berjadwal.

Dampak Covid-19

Seiring perjalanan waktu, satu demi satu perusahaan penerbangan pun rontok. Mereka tidak sanggup lagi menghadapi persaingan yang ketat. Perang tarif tiket merupakan salah satu pemicunya, sebab bisnis penerbangan tergolong risiko tinggi dan padat modal, tetapi potensi keuntungan yang minim.

Maskapai yang tetap eksis hingga saat ini hanya Garuda Indonesia Group (Garuda Indonesia dan Citilink), Air Asia, Sriwijaya Group (Sriwijaya dan NAM) serta Lion Group (Lion, Batik dan Wings). Terakhir datang lagi Pelita Air, anak perusahaan Pertamina. Maskapai ini sejak April 2022 bertranformasi menjadi penerbangan komersial berjadwal.

Perusahaan-perusahaan ini telah teruji di lapangan sehingga selalu menemukan cara untuk mengatasi persoalan bisnis. Meski demikian, bukan berarti urusan bisnis sudah tuntas.

Hingga kini sebagian besar biaya pengeluaran, seperti sewa pesawat, biaya bahan bakar, suku cadang untuk perawatan dan lainnya dalam bentuk mata uang asing (dollar AS dan euro). Akan tetapi, pendapatan melalui mata uang lokal (rupiah).

Penerbangan domestik menjadi kekuatan utama bisnis penerbangan di Indonesia. Akan tetapi, nilai tukar rupiah yang masih melemah dapat menjadi kendala serius bagi pengelola bisnis ini. Foto: Jannes Eudes Wawa

Perbedaan nilai tukar pun masih signifikan. Saat ini satu euro setara Rp 17.123 dan satu dollar AS setara kurang lebih Rp 15.821. Para ahli ekonomi memprediksi gunjangan terhadap nilai rupiah ini masih berlanjut hingga paruh kedua tahun 2024 sebagai dampak dinamika global dan domestik.

Khusus di dalam negeri, dimana situasi politik yang kian panas. Kalau nilai rupiah terus melemah otomatis memicu mahalnya harga avtur, sewa pesawat, harga suku cadang, asuransi dan lainnya.

Keluhan masyarakat

Meski demikian, masyarakat terus mengeluhkan tarif tiket pesawat yang mahal. Keluhan tersebut wajar, sebab serangan wabah covid-19 selama tahun 2020-2022 telah menimbulkan krisis ekonomi sangat parah.

Banyak warga kehilangan pekerjaan. Tidak sedikit perusahaan gulung tikar. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) karyawan begitu masif hingga kini.  Aktivitas industri pun belum stabil. Krisis itu membuat pendapatan masyarakat pun merosot, tetapi beban biaya keluarga terus meningkat.

Sebaliknya dari pihak maskapai beranggapan harga tiket saat ini masih normal. Harga yang ada masih berada di antara tarif batas bawah dan tarif batas sebagaimana keputusan Menteri Perhubungan Nomor 16 tahun 2019.

Misalnya, Jakarta-Banda Aceh berkisar Rp 780.000-Rp 2.228.000, Jakarta- Medan Rp 630.000-Rp 1.799.000, Jakarta-Semarang Rp 279.000-Rp 796.000, Jakarta-Surabaya Rp 408.1.167.000, dan Jakarta-Solo Rp 317.000-Rp 906.000.

Ada jalan

Argumentasi masing-masing pihak sangat rasional. Perdebatan ini bakal sulit mendapatkan titik temu. Padahal, perlu solusi agar tidak terjadi krisis baru sebagai dampak dari menurunkan mobilitas masyarakat melalui angkutan udara.

Timbul pertanyaan, masih adakah celah yang memungkinkan penurunan harga tiket pesawat? Jawabannya: Ada. Akan tetapi, kewenangan tersebut sudah di luar aspek bisnis. Di sini, bola itu ada pada pemerintah.

Indonesia memiliki banyak sekali alam yang indah. Potensi ini hanya dapat berkembang kalau didukung dengan transportasi udara yang memadai dan tarif tiket yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Foto: Jannes Eudes Wawa

Faktanya demikian. Pertama, penjualan avtur penerbangan domestik dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen dan Pajak Penghasilan (PPh) 0,3 persen, di samping ada pungutan lain. Padahal, penerbangan internasional terbebas dari PPN dan PPh.  Kedua, adanya PPN 10 persen yang melekat dalam setiap tarif tiket yang diberlakukan kepada konsumen.

Maka, terkait desakan penurunan tarif tiket pesawat domestik, pemerintah dapat melakukan beberapa langkah. Pertama, menghapus PPN dari pembelian tiket dan avtur pesawat.

Kedua, meniadakan PPN dari pembelian tiket pesawat. Ketiga, memberikan insentif keringanan PPN lebih dari lima persen.

Memang, sangat dilematis, sebab ketiga pilihan ini akan mengurangi penerimaan pendapatan negara. Padahal, pemerintah terus berupaya menggenjot kenaikan penerimaan negara melalui pajak.

INACA memprakirakan, jumlah penumpang domestik tahun 2023, sekitar 70,8 juta orang. Jumlah ini masih rendah dibanding tahun 2019 atau sebelum Covid-19 mencapai 79,5 juta penumpang. Sementara tahun 2022 hanya 56,4 juta penumpang.

Berbagi beban

Pemberian insentif karena kondisi ekonomi tidak stabil. Dalam situasi seperti ini pemerintah, pelaku industri penerbangan dan masyarakat perlu saling berbagi beban. Maka, insentif ibarat melepas umpan ikan teri untuk mendapatkan ikan kakap. Inilah cara terbaik dan efektif untuk menurunkan biaya yang cukup signifikan dari tarif tiket pesawat.

Pajak sesungguhnya adalah cerminan dari berputarnya kegiatan ekonomi. Insentif adalah bagian dari umpan. Dengan harga tiket murah otomatis semakin banyak masyarakat terbang menggunakan pesawat. Jumlah penumpang domestik pasti meningkat pesat.

Negeri di atas awan di Lolai, Tana Toraja selalu menjadi incaran wisatawan. Di sana, mereka menyaksikan matahari terbit dengan panorama yang indah. Foto: Jannes Eudes Wawa

Sektor pariwisata menggeliat. Dampak ikutannya sangat besar. Semua sektor ekonomi ikut bergerak serentak. Akhirnya PPN yang hilang dari tiket tergantikan melalui bagian lain, seperti belanja UMKN, penginapan dan lainnya.

Seperti kata Siswono Yudo Husodo, praktisi ekonomi, “Kita harus mendorong ekonomi berputar lebih cepat agar penerimaan pajak meningkat seperti diharapkan. Kita perlu belajar dari sejarah empirik perekonomian banyak negara dimana untuk mempercepat perputaran ekonomi, tarif pajak justru diturunkan, tetapi penerimaan negara justru meningkat”. (Kompas, 31/1/2024)

Kita menunggu keberanian dan keikhlasan pemerintah. Semoga!

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.