Royke Lumowa Gowes Jakarta Paris
Royke Lumowa, Doktor Gunung Botak

Oleh: JANNES EUDES WAWA
Banyak jenderal polisi setelah pensiun cenderung menjajaki peluang menjadi komisaris perusahaan atau masuk partai politik lalu mengikuti pemilu legislatif atau kepala daerah. Namun, Irjen (Pol) Royke Lumowa malah memilih jalan yang berbeda. Dia melanjutkan kuliah doktoral di Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Hari terakhir tahun 2022, dia resmi menyandang gelar doktor.
Dra Francisia Xaveria Sika Ery Seda MA, PhD menyampaikan apresiasi kepada Royke Lumowa yang menutup tahun 2022 dengan menjalani ujian promosi dan meraih gelar doktor, prestasi akademik tertinggi. “Ini langkah yang luar biasa. Besok 1 Januari 2023, Pak Royke memulai tahun yang baru dengan predikat baru, yakni doktor ilmu lingkungan. Semoga hal ini menjadi awal yang baik untuk perjalanan hidup Anda,” kata Ery Seda saat memulai pengujiannya.

Doktor Royke Lumowa berfoto bersama para penguji usai sidang promosi doktor, Sabtu (31/12/2022) di Kampus Universitas Indonesia, Salemba. Foto: Jannes Eudes Wawa
Sosiolog Ery Seda adalah salah satu tim penguji disertasi doktor dari Royke Lumowa. Para penguji lain yakni Dr dr Tri Edhi Budhi Soesilo MSi (ketua sidang), Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana MSi, Prof Dr Yustinus Male, Prof Dr Kosuke Mizuno dan Promotor Dr Drs Suyud Warno Utomo MSi serta ko-promotor Dr Hariyadi SIP, MPP. Sedangkan penguji lain yakni Dr Evi Frimawaty SPt, MSi menyampaikan pertanyaan melalui virtual.
Ujian promosi doktor dilakukan pada Sabtu, 31 Desember 2022 mulai pukul 10.00 WIB di lantai 5 Gedung IASTH Universitas Indonesia di Kampus Salemba, Jakarta. Disertasi Royke Lumowa berjudul: Penataan Penambangan Emas Tanpa Izin Menuju Pertambangan Rakyat Berkelanjutan (Studi Kasus di Gunung Botak dan sekitarnya, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku dari Perspektif Peran Polri).
Setelah menjalani ujian promosi selama dua jam, dewan penguji memutuskan Royke Lumowa lulus dengan predikat cum laude (dengan pujian). Royke juga memecahkan rekor di UI yang meraih gelar doktor dalam lima semester dengan indeks prestasi (IP) 3,99. Sebelumnya ada salah seorang doktor yang juga menyelesaikan studi selama lima semester, tetapi hanya meraih IP 3,93.
Penggalan hidup
Disertasi ini sesungguhnya gambaran dari gebrakan yang dilakukan Royke Lumowa saat menjabat Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Maluku pada 13 Agustus 2018- 3 Februari 2020. Ketika itu, dia melakukan aksi fenomenal yakni menutup penambangan emas ilegal di Gunung Botak. Segala aktivitas ilegal terkait penambangan emas ditertibkan. Ruang gerak para mafia tambang emas tanpa izin di wilayah itu juga dimatikan.
Bahkan dia pun menolak tawaran upeti dari para cukong atau juragan emas Gunung Botak yang disebut-sebut menyiapkan dana Rp 11 miliar per bulan.“Kalau saat itu saya mau terima upeti, mungkin saat ini saya tidak ada dalam ruang sidang ini (menjalani ujian promosi doktor), melainkan sedang dalam penjara,” ujar Royke.

Royke Lumowa berdiri di hadapan penguji menunggu hasil ujian promosi doktor. Foto: Jannes Eudes Wawa
Sebelum menindak tegas, dia terlebih dahulu melakukan pendekatan ke semua pemangku kepentingan, antara lain penambang rakyat setempat, masyarakat adat setempat, pemerintah daerah, aparat militer, aktivis lembaga swadaya masyarakat, para akademisi, tokoh agama dan lainnya. Dia meminta dukungan terkait rencana penindakan tambang emas ilegal, sebab kerugian yang diderita warga jauh lebih besar dibanding manfaatnya. Langkah persuasif ini mendapatkan dukungan penuh.
Setelah penertiban, menurut Royke, aktivitas perekonomian di Pulau Buru membaik kembali. Lahan pertanian yang sebelumnya lesu, mulai digarap lagi. Para petani kembali ke kebun. Harga barang kebutuhan pokok di pasar membaik. Ikan dari Namlea pun mulai laku terjual. Pencemaran lingkungan juga turun tajam.
“Kunci penertiban penambangan emas tanpa izin ada pada kapolda. Kapolda tidak perlu menggunakan ilmu dari negeri mana pun. Yang terpenting ketulusan dan tidak menerima suap, tidak menerima upeti serta tidak takut kehilangan jabatan,” jelas Royke.
Royke juga memperjuangkan dan memfasilitasi legalisasi berupa pemberian izin wilayah penambangan rakyat (WPR). Dia berdialog dengan pemerintah kabupaten, pemerintah provinsi dan kementerian terkait di pusat, termasuk DPR mencari jalan keluar untuk pelembagaan WPR di Gunung Botak. Upaya itu terus dilakukan hingga saat pensiun.
Nugroho F Yudho, wartawan senior harian Kompas memberikan apresiasi yang tinggi kepada Royke Lumowa. Dia sama sekali tidak menyangka Royke masih melanjutkan kuliah program doktoral setelah pensiun dari Polri. Apalagi kuliahnya di Universitas Indonesia.
“Kita semua tahu penutupan penambangan emas illegal di Gunung Botak hanya dilakukan Pak Royke saat menjabat Kapolda Maluku. Bahkan, hanya dia yang berani melakukan itu dengan segala risikonya. Ini adalah tindakan yang fenomenal. Menariknya lagi penggalan dari perjalanan hidupnya itu menjadi bahan disertainya. Sungguh luar biasa,” ujar Nugroho.

Doktor Royke Lumowa bersalaman dengan salah satu penguji usai dinyatakan lulus dengan predikat Cum Laude. Foto: Jannes Eudes Wawa
Suyud Warno Utomo selaku promotor juga memuji Royke yang begitu bersemangat mengikuti kuliah ilmu lingkungan di UI dan sanggup menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus. “Dari Riwayat hidupnya, sebagian besar waktu Pak Royke menjadi komandan. Yang mana lebih banyak memerintah dan memarahi bawahannya. Di kampus, sebagian waktunya bakal habis dengan diperintah dan dimarahi. Ternyata Pak Rokye sangat luwes dan cepat menyesuaikan diri. Setiap tugas yang diberikan mampu dikerjakan dengan cepat. Tak sampai seminggu sudah tuntas,” ungkapnya.
Yustinus Male dari Universitas Patimura yang hadir sebagai penguji tamu juga tidak kalah memuji Royke. Di mata dia, mantan Kapolda Papua Barat dan Kapolda Sulawesi Utara ini tidak semata-mata memiliki keberanian, tetapi juga integritas yang tinggi. Tanpa integritas yang kuat, Royke takkan mampu menutup tambang emas ilegal di Gunung Botak.
“Dulu, saya selalu mendengar pernyataan bahwa polisi yang jujur hanya ada dua, yakni polisi tidur dan polisi Hoegeng. Tetapi faktanya masih ada polisi-polisi lain seperti Pak Royke. Integritas dia sudah teruji,” kata Yustinus.
Persoalan gunung botak
Dalam pemaparannya, Royke menjelaskan penambangan emas tanpa izin di Gunung Botak dan sekitarnya terjadi sejak tahun 2012. Upaya penertiban dan penvegahan telah beberapa kali dilakukan, tetapi hasilnya belum optimal. Ketika penertiban dihentikan, aktivitas ilegal itu muncul kembali. Jumlah penambang pun terus bertambah. Pada tahun 2018 mencapai 8.000an orang.
Masyarakat di Pulau Buru yang semula bertani dan melaut menghentikan aktivitasnya dan lebih memilih menjadi penambang emas ilegal di Gunung Botak dan sekitarnya. Hal itu diperburuk lagi dengan maraknya pencemaran lingkungan dampak dari penggunaan merkuri dan sianida dalam penambangan yang mengganggu irigasi pertanian. Ikan pun tidak layak dikonsumsi. Isu merkuri menjadikan produk pertanian tidak laku dijual. Bahkan, ikan yang ditangkap nelayan Pulau Buru pun ditolak di pasaran.

Doktor Royke Lumowa sangat mencintai lingkungan. Itu sebabnya, dia selalu bersepeda sebagai bagian dari perwujudan rasa cinta itu. Foto: Dokumentasi Jelajah Bike
Secara umum, penambangan emas illegal di Gunung Botak terdiri atas empat teknik pertambangan skala kecil dengan menggunakan teknologi sederhana dan terbatas. Pertama, lubang atau kolam. Penambang menggali material tanah potensi emas dalam lubang hingga berpuluhan meter. Material itu kemudian diolah di tromol dengan memakai merkuri.
Kedua, bak rendaman. Bak berisi material potensi emas dengan kedlaaman 70-80 sentimeter berukuran 8 x 8 meter atau 10 x 12 meter. Material dalam bak rendaman disiram kapur, sianida, air, lalu diairkan melalui pipa, endapan/lumpur ditampung di tong yang telah berisi karbon dan kostik untuk mengikat emas.
Ketiga, dompeng. Memakai kasbuk/papan luncur. Lagam berat yang tertahan di karpet dimasukkan ke tromol untuk diolah dengan merkuri, Material lain meluncur ke bawah (ujung dompeng) selanjutnya diolah dengan menggunakan Teknik rendaman.
Keempat, tong. Material sisa olahan (ampas) dimasukkan ke dalam tong dan diolah dengan menggunakan sianida.
Semua sistem pengolahan penambangan emas illegal di Gunung Botak dikelola oleh tiga kelompok utama, yakni pemodal/cukong, pemilik lahan/masyarakat adat, penambang, dengan jumlah penambang 10-15 orang. Hasil pengolahan ini berupa emas, kemudian dijual. Hasilnya dibagi dua bagian, yakni pemodal dan penambang. Perbandingannya 2/3: 1/3 bagian.
Hasil keuntungan ini terlebih dahulu dikurangi modal dan biaya operasional, seperti makan, minum, BBM, kayu, kas desa, pemilik lahan, komunitas adat dan keamanan. Dari hasil observasi di lapangan untuk sekali kegiatan kongsi tambang dan pengolahan, seorang penambang atau pekerja dapat meraup bayaran sekitar Rp 20 juta.
Selama tahun 2011-2018 telah dilakukan penertiban penambangan emas illegal di Gunung Botak dan seklitarnya sebanyak 30 kali, tetapi tidak efektif. Setelah ditertibkan, pada hari berikutnya penambangan yang sama ramai kembali.
Bahkan, mulai pertengahan tahun 2021, aktivitas penambangan emas ilegal di Gunung Botak muncul kembali. Penyebabnya antara lain anggaran dari Pemda berhenti, aparat setempat sibuk menangani wabah Covid-19, dan banyak oknum mendukung praktek ilegal tersebut.
Bagi Royke, penambangan emas rakyat berkelanjutan hanya dapat berjalan apabila didukung oleh ketiadaan penambangan emas tanpa izin. Variabel kunci adalah peran Polri dan peran pengaruh. Kehadiran aparat sangat memberi manfaat dalam penertiban.
Penertiban dinilai berhasil karena adanya keteladanan, adil, bersahabat dan sikap melayani oleh apparat. “Yang terpenting dari keteladanan dalam menata penambangan rakyat berkelanjutan adalah aparat Polri tidak boleh menerima suap. Tidak boleh menerima upeti. Menjaga kepercayaan itu mutlak dan penting,” tegas Royke.

Doktor Royke Lumowa bersama istri dan anak berfoto bersama teman2nya penggila sepeda usai dinyatakan lulus ujian promosi doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia. Foto: Dokumentasi Pribadi.
Level kapabilitas Polda
Dalam disertai ini Royke seolah menggugat peran Polri dalam penertiban penambangan emas tanpa izin di Indonesia selama ini. Di mata Royke, aktivitas ilegal tersebut takkan berkembang jika aparat Polri sungguh-sungguh menertibkan. Kesungguhan itu wajib didukung dengan kemauan yang kuat untuk menolak pemberian upeti dari para juragan emas ilegal.
Selama ini selain di Polda Maluku pada tahun 2018-2020, di sejumlah Polda lain juga berhasil melakukan penertiban dan penindakan terhadap penambangan emas tanpa izin. Itu antara lain Polda Kalimantan Barat tahun 2014-2015, Polda Gorontalo tahun 2020-2022, Polda Jambi tahun 2021-2022, Polda Sulawesi Utara tahun 2020, dan Polda Kalimantan Utara tahun 2022.
Royke membagi empat level kapabilitas Polda dalam penanganan penambangan emas tanpa izin (PETI). Pertama, PETI dibiarkan, upeti diterima, dan praktek PETI bebas beroperasi. Hasilnya tidak berubah. Kedua, Polda menentang aktivitas PETI, menolak upeti, upaya penindakan dilakukan tetapi tingkat keberhasilannya rendah. Dampaknya hanya terjadi perubahan kecil.
Ketiga, Polda menentang aktivitas PETI, menolak upeti, upaya penindakan dilakukan dan berhasil menghentikan aktivitas PETI secara de facto. Hasilnya, aktivitas PETI terhenti sementara, tetapi 2-3 tahun kemudian beroperasi lagi.
Keempat, Polda menentang aktivitas PETI, menolak upeti, melakukan penertiban aktivitas PETI dan berhasil, lalu mendorong pemerintah menjadikan sebagian wilayah tempat aktivitas praktik PETI sebagai wilayah penambangan rakyat (WPR) sehingga terjamin dasar legalitas dan ramah lingkungan. Hasilnya, pemerintah menerapkan formalitas lokasi pertambangan emas untuk dimanfaatkan secara legal dan ramah lingkungan.
Royke menyarankan optimalisasi peran pengaruh Polri secara formal dan informal dalam menangani penambangan emas tanpa izin. Di satu sisi memperkuat penertiban, lalu di sisi lain melakukan penataan menuju pertambangan rakyat berkelanjutan. Pengaruh yang dimiliki Polri menjadi modal yang efektif untuk menjembatani berbagai pihak guna mecegah kerusakan lingkungan dan mendorong tercapainya tiga pilar pembanguna berkelanjutan: ekonomi, sosial dan lingkungan.
Polri juga didorong melakukan perubahan pendekatan dalam menangani kasus-kasus pertambangan emas tanpa izin dengan mengutamakan partisipatoris, adil dan inklusif. Di samping meningkatkan wawasan tentang paham berkelanjutan untuk mendorong peran Polri dalam praktek pertambangan berkelanjutan.

Royke Lumowa di tengah sebagian peserta Jelajah IKN pada 10 Desember 2022 malam saat inap dalam tenda di Sepaku, Penajam Paser Utara, Kaltim. Royke, salah satu peserta Jelajah IKN. Foto: Dokumentasi Jelajah Bike
Royke memasuki pensiun dari Polri pada 16 September 2020, saat genap berusia 58 tahun. Selama masih aktif, jenderal bintang dua ini juga pernah menjabat Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri. Begitu pensiun, dia langsung mendaftarkan diri melanjutkan kuliah program doktoral pada Sekolah Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia.
“Kecintaan saya terhadap lingkungan tertanam sejak kecil. Kecintaan tersebut terus tumbuh dan berkembang. Saat menyaksikan kasus penambangan emas tanpa izin di Gunung Botak, kecintaan dan kepedulian saya pada lingkungan semakin besar. Tumbuh semangat dan minat yang besar mendorong pengembangan tambang berkelanjutan,” tegas Royke.
Royke juga termasuk penggila sepeda. Hampir semua wilayah di Indonesia sudah didatangi dengan bersepeda. Dia pernah bersepeda dari Manado ke Makassar sejauh 1.600 kilometer yang dilakukan harian Kompas tahun 2014. Selama menjabat Kapolda dan Kakorlantas, dia memberlakukan hari wajib sepeda ke kantor bagi anggota Polri di lingkungan kerjanya. Dia memotivasi bawahannya untuk rutin bersepeda.
Kini, dia sedang menyiapkan diri untuk bersepeda dari Jakarta hingga Paris, Perancis. Perjalanan ini akan melewati sekitar 40 negara selama kurang lebih 300 hari. “Persiapan sudah lumayan. Dukungan dari berbagai pihak juga terus mengalir. Tinggal menunggu ‘visa’ dari istri,” jelas Royke.
Proficiat om Doktor Royke!! Bravoo !!
JANNES EUDES WAWA
wartawan, pegiat touring sepeda
Baca juga:

Perjalanan
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris

Oleh: ROYKE LUMOWA
Perjalanan bersepeda yang saya lakukan dari Jakarta hingga Paris akhirnya memasuki garis finish di ibukota Perancis tersebut pada Senin, 29 Juli 2024 pukul 11.00 waktu Paris. Hingga di titik itu, berarti total jarak touring mencapai 20.873,62 kilometer selama 387 hari dengan melewati 44 negara. Total ketinggian (elevation gain) mencapai 150.583 meter.
Ini bukan lagi mimpi, melainkan kenyataan. Kenyataan ini membuat hati saya begitu bahagia. Saya ingin ekspresikan pencapaian ini dengan melompat kegirangan dan menangis seraya berterima kasih kepada Tuhan atas perlindungan dan penyertaanNYA saat memasuki garis finis.
Akan tetapi, saya mencoba menahan diri. Apalagi, di garis finis yakni di Club France, Grande Halle de la Villette telah menunggu Presiden Komite Olimpiade (NOC) Perancis David Lappartient. Ini sungguh sebuah kehormatan yang luar biasa.
Di tengah kesibukannya mengurusi penyelenggaraan olimpiade musim panas di Paris, Presiden Union Cycliste Internationale (UCI) ini masih mau meluangkan waktu menerima kedatangan saya di garis finis. Saya memberi hormat yang tinggi padanya.
Selamat datang di Paris
Begitu tiba di finis, saya melihat Presiden NOC Perancis David Lappartient antusias menyambut. Dia menebarkan senyum, dan spontan langsung berdiri di depan panggung seraya menyatakan, “Dengan bangga, kami menyambut Anda di Paris pada hari ini. Selamat datang di Paris. Selamat datang di Olimpiade Paris”. Club France adalah markas kontingan Perancis selama mengikuti Olimpiade Paris.

Presiden Komite Olimpiade (NOC) Perancis David Lappartient menyambut Royke Lumowa di garis finish di Club France, Grande Halle de la Villette, Paris. Royke masuk finis pada Senin 29 Juli 2024 pukul 11.00 waktu Paris atau pukul 17.00 WIB. Foto: Arsip Royke Lumowa
Lappartient menyatakan salut dan hormat atas keberhasilan saya yang telah mendedikasi waktu dan tenaga untuk melakukan perjalanan bersepeda yang jauh dari Jakarta hingga Paris selama 387 hari melewati 44 negara. Apalagi, dalam misi mulia ini telah mengusung gerakan penyelamatan lingkungan dan mengampanyekan Olimpiade Paris 2024.
“Bersepeda yang begitu jauh dan lama ini sungguh sebuah pencapaian yang luar biasa. Tidak banyak orang mau melakukannya. Gerakan ini sangat menarik sebagai salah satu cara mendukung pemeliharaan bumi dari kerusakan dan kehancuran,” kata Lappartient yang juga Presiden Union Cycliste Internationale (UCI).
Kehaditan Presiden NOC Perancis ini tidak terlepas dari peran Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Raja Sapta Oktohari. Dia memberikan perhatian yang serius atas perjalanan bersepeda yang begini jauh dan lama. Sebagai mantan Ketua Umum PB ISSI, dia bangga atas gerakan saya melakukan kampanye penyelamatan lingkungan dengan gowes keliling dunia.
Sejak sebelum memulai petulangan ini, Pak Okto sudah memberikan dukungan dan perhatian. Bahkan, selama dalam perjalanan pun, beliau selalu mengontak saya menanyakan posisi sudah dimana dan lain sebagainya.

Royke Lumowa tiba di garis finish di Club France, Grande Halle de la Villette, Paris. Royke masuk finis pada Senin 29 Juli 2024 pukul 11.00 waktu Paris atau pukul 17.00 WIB. Foto: Arsip Royke Lumowa
Bahkan, dalam sebuah kesempatan, Pak Okto sempat menyampaikan rencana ingin mengundang Presiden NOC Perancis untuk menerima saya saat masuk finis di Paris. Saya sangat senang dengan ide itu dan langsung menyetujui. Ternyata, rencana tersebut menjadi kenyataan.
Timbah pengalaman
Saya sungguh berterima kasih kepada Pak Okto. Dia telah menempatkan perjalanan saya ini pada posisi terhormat. Saya tidak menduga bakal mendapatkan penerimaan yang begitu bagus dan seru. Apalagi ada pula tarian reog Ponorogo dan pementasan atraksi pencat silat.
Pak Okto juga menilai saya sebagai orang gila. “Ini aksi gila. Bersepeda dari Jakarta hingga Paris itu bukan hal gampang. Kita perlu banyak belajar dari Pak Royke tentang hal ini,” tegasnya.
Saya juga terharu dengan kehadiran Presiden Direktur Indika Energi Pak Arsjad Rasjid. Beliau adalah orang yang sangat mendukung perjalanan ini. Dia mengizinkan saya berangkat. Dia juga memutuskan Indika Energi dan kelompok usahanya menjadi sponsor utama dalam perjalanan bersepeda ini. Pak Arsjad pula yang mendorong saya agar bertemu dengan Paus Fransiskus di Vatikan.
Di antara para tokoh itu, hadir pula Duta Besar Indonesia untuk Perancis Mohamad Oemar, Wakil Presiden NOC Perancis Joseph Pierre Luc Tardif, dan masyarakat Indonesia dan para pecinta sepeda lainnya. Banyak yang merasa bangga karena ada orang Indonesia ikut mengampanyekan Olimpiade Paris dengan cara yang unik, yakni bersepeda dari Jakarta. Ini fenomenal. Saya berterima kasih atas apresiasi mereka.
Mampu lewati rintangan
Saya memulai petualangan yang ini pada Sabtu, 8 Juli 2023 di Monumen Nasional (Monas), Jakarta. Saya tidak menyangka mampu menyelesaikan perjalanan yang mengusung tema: Cycling Anywhere to Save the Earth. Bersepeda Kemana Saja untuk Selamatkan Bumi!

Royke Lumowa berada di antara David Lapperant dan Raja Sapta Oktohari. Foto: Arsip Royke Lumowa
Apalagi sebelum saya melakukannya, nyaris tidak terdengar ada orang Indonesia pernah mengayuh sepeda dari Indonesia hingga Paris dengan mengelilingi negara sebagian besar Eropa timur dan semua Eropa barat. Sebaliknya, orang Eropa yang gowes dari wilayah benua tersebut ke Indonesia cukup sering.
Maka, begitu menuntaskan perjalanan ini, saya merasa sungguh bahagia. Saya telah mampu melewati tantangan dan rintangan, mengalahkan segala kekhawatiran yang kadang berkecamuk dalam hati, dan berhasil membuktikan bahwa segala rencana dan niat baik pasti terwujud selama kita tekun, memiliki keberanian dan tekad yang kuat untuk menjalaninya.
Selama perjalanan, begitu banyak tantangan dan kesulitan datang silih berganti seakan menggoda saya untuk putus asa dan cepat pulang. Mulai dari gangguan suhu ekstrim, elevasi ekstrim, badai angin kencang, pencurian uang, bahkan pencurian sepeda, kesulitan memperpanjang visa Uni Eropa dan lainnya.
Untuk saja saya tidak menderita sakit. Semua persoalan tersebut akan menjadi gangguan pikiran apabila tanpa pertolongan Tuhan. Mungkin saya akan putus asa dan tidak melanjutkan perjalanan. Sungguh suatu mujizat Tuhan
Kejadian-kejadian spektakuler itu dapat saya rangkum menjadi tujuh bagian besar. Saat menyusuri puluhan negara yang terbentang dari Asia Tenggara, Asia Selatan, Eropa Timur, Eropa Utara hingga Eropa Barat tidak segampang kita membalik telapak tangan. Super berat.
Medan terberat
Medan terberat di Tibet, China. Elevasinya mencapai 5.250 meter di atas permukaan laut (mdpl) melewati tiga gunung. Ketinggian seperti itu tentu menguras tenaga luar biasa. Apalagi kandungan oksigen pada ketinggian tersebut sangat tipis.

Royke Lumowa menyapa warga yang berada di garis finish. Foto: Arsip Royke Lumowa
Tanjakan berat itu saya hadapi sejak dari dari Provinsi Yunnan. Medan berat lainnya adalah tanjakan (passo) Mortirolo, Italia utara, dan tanjakan lainnya di Pegunungan Alpen.
Saya juga menghadapi suhu panas yang menyengat di Yunnan dekat Tibet mencapai 45 derajat celcius. Velg roda belakang sepeda sampai meletus kepanasan. Suhu panas ini, menurut warga, baru terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Anomali ini sebagai salah satu bukti dari dampak perubahan iklim.
Masih ada lagi badai gurun di Pakistan selatan selama 45 menit, angin kencang di Yunani dan Jerman utara. Sepeda sempat melayang layang akibat tertiup angin. Badai salju dan dingin ekstrim di Latvia dan sekitarnya hingga menyentuh angka minus 26 derajat celcius.
Sementara itu, terkait perlintasan batas negara, setidaknya ada 5 border yang menguras tenaga untuk berpikir dan membutuhkan kesabaran. Pertama, di border Sadao, Thailand. Mobil tidak boleh masuk via border ini, kalau tanpa mobil boleh, entah mengapa. Akhirnya mobil berputar sejauh 300 kilometer ke border lainnya (Border Sungai Kolok).
Saya pun lanjut bersepeda dan bertemu mobil pengiring setelah beberapa hari karena jaraknya hampir 1.000 kilometer. Saya menyewa kendaraan setempat dan sopir untuk mendampingi sementara.
Kedua, di border Raxaul, India. Selepas dari Nepal saya akan melewati border ini untuk masuk ke India dan seterusnya. Parahnya ternyata visa India saya adalah visa elektronik. Visa ini diizinkan masuk India hanya melalui bandara atau pelabuhan.
Kami tidak boleh masuk melalui border darat. Saya perlu beberapa hari bertahan di Kathmandu, Nepal untuk urus masalah ini. Perwakilan KBRI Dakha yang berada di Kathmandu membantu melakukan negosiasi dengan Kedutaan India di Kathmandu namun tidak berhasil.
Jalur rawan
Akhirnya saya putuskan masuk India dengan pesawat terbang ke New Delhi lalu kembali ke border Raxaul via darat dengan naik mobil rental berjarak jarak 750 kilometer. Di border itu, saya menjemput mobil pengiring yang dikemudikankurir orang Nepal, bernama Suman. Dari sana, saya melanjutkan bersepeda menuju ke rute selanjutnya, salah satunya ke New Delhi.
Ketiga, di border Rimdan, Pakistan yang berbatasan dengan Iran. Persoalan di sini sama dengan masalah di border Sadao, Thailand yaitu mobil dari luar Pakistan dan Iran tidak boleh melintas di border ini.
Mobil kami harus melalui border Taftan jauh di utara dengan jarak 2.000 kilometer. Kami pun kembali lagi ke timur lalu utara dan akhirnya ke barat menuju border Taftan dengan melintasi wilayah Provinsi Bolikistan yang terkenal rawan.
Sungguh jauh dan berbahaya serangan teroris. Di wilayah provinsi ini sering terjadi serangan teroris. Itu sebabnya setiap 10 kilometer ada pos penjagaan polisi. Kami kemana-mana dalam kawalan polisi secara estafet.
Keempat border Mirjaveh, Iran. Di border ini saya harus menunggu dua hari semalam karena komputer imigrasi setempat mengalami gangguan. Saya bermalam di tenda di dalam kawasan border.
Kelima di border Kapikoy, Turki, petugas bea dan cukai memeriksa semua barang bawaan. Muatan mobil dibongkar dan periksa satu per satu hingga yang barang terkecil. Hal tersebut tidak pernah terjadi di border sebelumnya yang saya lewati. Pemeriksaan memakan waktu 9 jam. Sungguh melelahkan.
Sesuai aturan bahwa perpanjangan visa schengen harus dilakukan di negara asal masing-masing. Setelah melalui bantuan beberapa KBRI setempat yang saya lewati sejak dari Turki hingga Belanda ternyata tetap harus kembali ke Jakarta untuk mengurus perpanjangan visa tersebut. Maka inilah pengurusan surat-surat terjauh yang saya alami selama hidup yaitu dari Amsterdam ke Jakarta pergi-pulang (pp).
Kriminalitas
Gangguan kejahatan yang saya alami sebanyak 3 kali terjadi aksi pencurian, yaitu pencurian terhadap 2 unit sepeda saya di Kota Roma, Italia. Pencurian uang tunai di kamar hotel di Kota Chalus, Iran. Pencurian barang-barang di dalam mobil saat parkir dengan memecahkan kaca jendela di Teheran. Lalu 1 kali mobil ditabrak orang mabuk saat parkir di depan hotel di Kota Tekirdag, Turki.
Kesehatan menjadi hal utama dalam utuhnya petualangan ini. Bukan hanya kesehatan saya pribadi semata tapi juga kesehatan keluarga di rumah, keluarga dekat, sahabat di tanah air dan lainnya. Juga termasuk crew atau teman seperjuangan dalam penjelajahan ini.

Sumber: Harian Kompas, kompas.id
Mujizat Tuhan, saya tidak pernah sakit maupun gejala sakit. Sayangnya crew yang satu per satu harus kembali ke Indonesia karena alasan kesehatan ataupun rindu rumah. Istri saya sempat harus diambil tindakan operasi namun Puji Tuhan, hal itu tidak terlaksana karena ternyata hasil diagnosa terakhir belum membutuhkan tindakan operasi.
Patut disadari bahwa untuk melakoni medan berat penuh tantangan ini harus memiliki tiga syarat utama yaitu: Kekuatan fisik dan mental; keberanian untuk mengambil keputusan dengan segala resiko, dan sedikit gila (out of the box). Bila ketiga hal tersebut digunakan untuk menghadapi tantangan dan hambatan yang selalu menguras tenaga dan pikiran, maka akan berubah menjadi menyenangkan dan bahagia.
editor: JANNES EUDES WAWA
Perjalanan
Catatan Royke Lumowa (47): Melihat Jejak VOC di Brielle, Belanda

Oleh ROYKE LUMOWA
Meski telah lebih dari 300-an tahun, tetapi jejak Vereenigde Oost-Indiche Compagnie atau VOC di tanah Nusantara masih membekas. Bukti itu tersimpan rapi dalam Historical Museum den Brielle di Belanda. Saya sangat gembira menyaksikan fakta sejarah tersebut.
Saya menyinggahi museum tersebut pada Jumat, 16 Februari 2024. Hari itu, saya akan mengayuh sepeda dari Brielle menuju Tilburg, masih di Belanda. Brielle atau Den Briel adalah sebuah kota kecil yang terletak di Provinsi Holland Selatan. Jumlah penduduknya pun hanya belasan ribu orang.
Sebelum keluar kota menuju Tilburg, saya menyempatkan diri mengunjungi museum sejarah tersebut, sebab menurut kabar dari sejumlah orang ada tersimpan sejarah VOC. Jika membahas tentang VOC, maka pasti terkait dengan Indonesia. Saya ingin memastikannya.
Setelah mengikuti pemilihan umum yang dilakukan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Belanda di Den Haag pada Sabtu, 10 Februari 2024, saya dan kru masih tinggal beberapa hari lagi di kota itu. Karena kami perlu memperbaiki mobil pengiring (elang putih) yang sempat mengalami gangguan.

Berada di depan kantor Kedutaan Republik Indonesia Belanda di Den Haag. Foto: Arsi Royke Lumowa
Hari Sabtu dan Minggu, bengkel tidak beroperasi sehingga perbaikan baru dapat dilakukan pada Senin. Pengerjaan membutuhkan waktu tiga hari, yakni hingga Rabu, 14 Februari 2024.
Petualangan bersepeda kemudian berlanjut lagi pada Kamis, 15 Februari 2024. Hari itu saya bergerak menuju Brielle. Namun sebelumnya saya sempat menyinggahi KBRI Den Haag untuk mengecek kembali perkembangan urusan perpanjangan visa Uni Eropa.
Museum Brielle
Dari KBRI, saya meneruskan bersepeda ke Dermaga Ferry Maassluis di tepi Sungai Scheur sejauh 33,87 kilometer. Saya ingin menggunakan kapal penyeberangan menuju Brielle.
Ternyata, hari itu kapal ferry tidak beroperasi. Saya memutuskan menggunakan mobil menuju Brielle melewati jalan darat sejauh kurang lebih 34 kilometer. Apabila menggunakan kapal ferry, jaraknya hanya 11 kilometer. Malam itu, saya menginap di Brielle.
Perjalanan kali ini akan bergerak ke wilayah selatan Belanda, dan berlanjut hingga di Jerman. Touring ini sebetulnya hanya mengisi waktu sambil menunggu kabar perpanjangan visa Uni Eropa untuk saya, apakah dapat dilakukan di Belanda atau tidak?
Itu sebabnya, dari Brielle, keesokan harinya saya melanjutkan gowes menuju Tilburg sejauh 101 kilometer. Salah satu lokasi yang saya singgahi adalah Museum Sejarah Brielle (Historical Museum den Briel). Museum ini tergolong tua, sebab didirikan tahun 1912.

Miniatur kapal yang pernah berlayar menuju Nusantara saat penjajahan Belanda. Miniatur kapal ini terpajang di Museum Sejarah Brielle, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa
Menarik bagi saya adalah museum ini menyimpan catatan perjalanan VOC menuju Nusantara dengan menggunakan kapal layar. Miniatur kapalnya terpajang dalam museum.
Bahkan, contoh rempah-rempah Indonesia yang diburu Belanda juga dipajangkan. Misalnya, cengkeh, pala, lada dan lainnya. Ada pula beragam jenis kayu jati asli Indonesia. Saya sangat kagum dengan koleksi museum ini. Saya tidak tahu apakah sejumlah museum di Indonesia juga mengoleksi barang-barang seperti ini. Entahlah!
Dalam perjalanan ke Tilburg saya melewati jalur sepeda yang cukup panjang baik di dalam kota maupun di luar kota. Ada yang terhubung hingga ke taman kota. Ada pula yang memasuki wilayah pedesaan.
Belanda terkenal memiliki jalur sepeda yang panjang tidak terputus tanpa jeda. Berbeda dengan negara lain di Eropa yang terkadang masih terputus atau menyambung dengan jalan umum sehingga sepeda harus diangkat kemudian menyambung bersepeda kembali. Kalau di Belanda tidak seperti itu. Semua tersambung.
Menuju Eindhoven
Di pedesaan, masih ada hamparan ladang yang luas. Ladang-ladang itu ditanami rumput untuk makanan ternak. Petani di Belanda gemar memelihara hewan, terutama sapi dan domba.
Saya juga melewati jembatan yang cukup panjang yang melintas di atas Sungai Hollands Diep. Sungai ini melewati banyak wilayah di Belanda sehingga termasuk salah satu yang terbesar dan terpanjang di negeri tersebut.
Beberapa kota yang saya lewati antara lain Spijkenisse, Hekeligen, Zuid Beijerland, dan Breda. Saya tiba di Tilburg menjelang sore. Setelah itu menggunakan mobil, saya menuju ke Eindhoven untuk menginap di kota ini. Jarak Tilburg dan Eindhoven sekitar 35 kilometer.
Eindhoven termasuk kota besar kelima di Belanda. Kota yang hadir sejak tahun 1232 ini memiliki penduduk sekitar 213.809 jiwa (tahun 2010). Eindhoven populer sebagai kota industri dan teknik, bahkan di sini pula berdiri pabrik Philips. Kota ini juga memiliki sebuah klub sepak bola terkenal yakni PSV (Philips Sport Vereniging) Eindhoven.
Saya dan kru berada di Eindhoven hingga 18 Februari 2024. Kesempatan istiharat ini kami manfaatkan untuk menyortir dan merapikan kembali barang-barang dalam mobil pengiring.
Kebetulan kami mendapatkan hotel dengan harga yang murah, tetapi bersih yakni Hotel Companille. Kamarnya memang kecil, namun layak. Hotel ini juga memiliki lokasi parkir yang luas sehingga mobil kami bebas memilih tempat. Menu sarapan pagi terbatas, namun enak.

Di Eropa tersedia hotel sederhana dengan kamar yang kecil, tetapi bersih dan nyaman. Para penjelajah atau petulang umumnya memanfaatkan kamar seperti ini. Foto: Arsip Royke Lumowa
Kami juga memanfaatkan kesempatan ini untuk menyuci pakaian, jaket, sepatu, sepeda dan lainnya. Maklum, belakangan hujan turun setiap hari sehingga sepeda gampang kotor dan kami tidak sempat jemur pakaian.
Di Eindhoven, ada sebuah restoran Indonesia, namanya Restoran Surabaya. Menu yang disediakan semuanya khas Indonesia, seperti soto ayam, mie goreng, gado-gado, rawon, nasi campur dan lainnya. Kelezatannya tidak kalah dengan restoran Indonesia yang ada di kota lain di Belanda.
Masuk Jerman
Tanggal 19 Februari 2024, saya melanjutkan bersepeda dari Eindhoven ke Dusseldorf di Jerman sejauh 101 kilometer, dengan ketinggian 206 meter alias flat. Ada tanjakan, tetapi cukup rendah dan hanya ada di beberapa titik.
Kota-kota yang saya lewati adalah Nuenen, Geldnep, Mierlo, Asten, Sevenum, Venlo, Lobbriech, Souhteln, Willich. Venlo adalah kota terujung dari Belanda yang berbatasan dengan Jerman.

Restoran Indonesia bernama Surabaya beroperasi di Kota Eindhoven, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa
Di Kota Venlo, saya berjumpa dengan tante Jeanne. Beliau adalah temannya om Benjamin Bunawijaya alias Om Ben di Jakarta. Om Ben termasuk salah seorang yang terlibat aktif dalam menyiapkan perjalanan bersepeda saya dari Jakarta ke Paris. Saya dan om Ben tergabung dalam Komunitas Kompas Bike.
Tante Jeanne adalah orang Indonesia yang sudah lama menetap dan bekerja di Belanda. Om Ben memperkenalkan saya kepadanya. Setelah saling kontak, kami pun berjanji untuk berjumpa di Venlo. Begitu bertemu, saya dijamu makan siang. Sungguh surprise. Kami makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor tante Jeanne.
Tidak jauh dari Venlo adalah perbatasan Belanda-Jerman. Di wilayah Jerman persis di daerah Bevrijdingsweg. Saat berada di sana, saya tidak melakukan ritual perbatasan seperti yang biasa terjadi setiap kali memasuki negara baru. Ritual itu tertunda karena saya akan masuk kembali ke Belanda.
Satu hal yang berbeda saat berada di Jerman adalah jalur sepeda. Infrastrukturnya tidak selengkap di Belanda. Meski demikian, Jerman masih mengizinkan sepeda melewati jalur mobil dimana kondisi jalannya bagus dan aman bagi pengayuh sepeda.
Lewati Stadion Lieverkusen
Hari itu, saya mengakhiri perjalanan di Dusseldorf dan menginap semalam di kota ini. Keesokan harinya, menerukan kayuhan menuju Bonn sejauh 80 kilometer.
Gowes dari Dusseldorf ke Bonn, saya menyinggahi Kota Lieverkusen dan Koln atau Cologne. Saya sempat melewati stadion klub Lieverkusen. Klub yang pada musim kompetisi Liga Jerman tahun 2023/2024 tak pernah kalah. Sebuah prestasi besar sepanjang sejarah klub.
Saya bersepeda menyusuri Sungai Rhine. Sungai ini cukup sehat terpelihara. Nyaris tidak ada sampah. Aneka kapal lalu lalang. Jembatan pun cukup banyak membentang di atas Sungai. Setiap 3-4 kilometer pasti ada jembatan yang terbangun. Termasuk ada jembatan khusus sepeda.

Berada di tepi Sungai Rhine di Koln, Jerman. Foto: Arsip Royke Lumowa
Aktivitas orang-orang bersepeda tidak kalah dengan Belanda. Banyak yang bersepeda ke sekolah, kantor dan tempat kerja atau khusus olahraga. Senang melihat aktivitas mereka. Dalam hati berharap semoga suatu saat masyarakat Indonesia pun melakukan hal seperti ini.
Sepanjang jalan tampak begitu banyak lapangan bola tersebar di beberapa tempat di pedesaan dan perkotaan. Tidak heran kalau Jerman memiliki prestasi sepakbola yang terbaik di dunia.
Biaya hidup di Jerman jauh lebih terjangkau dibanding Belanda, Swiss, Inggris dan Perancis. Jerman negara kaya tetapi sesuai pengalaman banyak orang dan yang saya alami, memberlakukan harga yang lebih murah. Misalnya biaya penginapan dan restoran.
editor: JANNES EUDES WAWA
Catatan Royke Lumowa (46): Kembali ke Den Haag untuk Ikut Pemilu
Perjalanan
Catatan Royke Lumowa (46): Kembali ke Den Haag untuk Ikut Pemilu

Oleh ROYKE LUMOWA
Pemilihan Umum pada Februari 2024 menjadi yang pertama kali untuk saya ikut memilih calon presiden dan calon wakil presiden serta anggota legislatif setelah pensiun dari anggota Kepolisian Republik Indonesia. Itu sebabnya, saya berupaya agar momentum ini tidak terlewatkan sekalipun persoalam selama touring sepeda begitu banyak. Den Haag menjadi pilihan lokasi untuk berpartisipasi dalam pemilu ini.
Kedutaan Besar Indonesia untuk Belanda memutuskan menggelar pemungutan suara bagi warga Indonesia di negara itu pada Sabtu, 10 Februari 2024. Waktunya empat hari lebih cepat dari jadwal pemilu di Indonesia, yakni 14 Februari 2024.
Saya dan kru pun sudah mendaftarkan diri untuk mengikuti pemilu di Den Haag. Panitia pemilihan setempat menerima dan memasukan kami dalam daftar pemilih tetap.
Kembali ke Den Haag
Maka, pada Jumat, 9 Februari 2024 saya memutuskan melanjutkan bersepeda dari Utrecht ke Den Haag. Ini adalah perjalanan saya yang kedua ke kota ini. Sebelumnya saya berangkat dari Amsterdam. Ketika itu saya ingin bertemu Duta Besar Republik Indonesia untuk Belanda Pak Mayertast sekaligus mendaftarkan diri untuk ikut pemilu.
Jarak perjalanan dari Utrecht ke Den Haag tidak jauh. Hanya sekitar 69 kilometer dengan total ketinggian 179 meter. Artinya, kontur jalan yang saya lalui adalah datar.

Inilah suasana di tempat pemungutan suara dalam pemilihan umum di KBRI Belanda di Den Haag, Foto: Arsip Royke Lumowa
Cuaca pagi itu di Kota Utrecht mendung dan hujan gerimis dengan suhu 2 derajat celcius. Saya memilih menggunakan pakaian anti hujan seperti jaket, tutup kepala, termasuk sepatu ditutup dengan lapisan anti hujan pula.
Mengayuh sepeda mulai pada pukul 08.51. Perjalanan kali ini hanya memiliki satu tujuan yakni ingin mengikuti pemungutan suara pemilihan presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2024 yang dilakukan KBRI Den Haag atau KBRI Belanda.
Hari itu bertepatan dengan hari raya Imlek. Suasana Imlek di Belanda juga cukup meriah. Ada tiga kota yang sangat meriah merayakan Imlek, yakni Amsterdam, Den Haag dan Roterdam. Ada pentas tarian barongsai, pesta kembang api dan atribut-atribut lainnya.
Dalam perjalanan ke Den Haag, saya melewati ladang rumput yang luas dengan air yang dibiarkan mengalir melalui parit, kanal dan sungai-sungai kecil sebagaimana tampak di tempat lain di Belanda. Air bebas bergerak kemana pun tanpa mengalami hambatan dengan menggenangi lokasi tertentu dan menjadi rawa. Jika terpaksa harus ditampung, maka akan dibuatkan danau.
Tampak pula itik dan bebek leluasa bergerak tanpa khawatir dengan ulah manusia. Kehidupan seperti ini menandakan lingkungan yang bersih dan terpelihara baik di wilayah daratan. Demikian pula air yang mengalir dan keadaan udara yang bebas dari polusi.
Balai Kota Gouda
Menuju Den Haag, saya melewati beberapa kota. Salah satu di antaranya adalah kota Gouda. Sampai di kota ini saya mencoba masuk ke pusat kota atau sentrum. Di sana ada bangunan yang cukup fenomenal adalah Stadhuis van Gouda yang terletak di tengah kota di alun-alun kecil.
Stadhuis van Gouda adalah gedung balai kota yang dibangun pada abad 15. Gedung dengan arsitektur khas Eropa menyerupai gedung gereja kuno sungguh menarik. Keunikan ini selalu menarik wisatawan untuk melihat dari dekat.
Saat saya tiba, kondisi udara sedang mendung dan hujan tipis. Namun saya tetap termotivasi untuk mengabadikan keunikan dan keindahan balai kota ini dalam gambar dan video. Di halaman gedung, tampak begitu banyak burung merpati yang berterbangan. Ada yang terbang mendekati saya. Saya pun mencoba menyapa dan bermain dengan merpati.

Bertemu dengan sejumlah pelajar di Balai Kota Gouda, Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa
Saat saya bermain dengan burung-burung itu datanglah 4 remaja. Mereka cukup penasaran dengan saya yang memiliki warna kulit yang berbeda, membawa sepeda dan mengenakan pakaian sepeda berada di lokasi itu.
Mereka kemudian mendekat, dan langsung berkenalan. Saya pun antusias melayani mereka. Kami langsung terlibat dalam percakapan.
Setelah mengetahui bahwa saya sedang melakukan perjalanan bersepeda dari Indonesia hingga Eropa, mereka semakin penasaran. Rasa ingin tahu tentang perjalanan saya menjadi begitu tinggi.
Ada yang menanyakan motivasi melakukan touring yang sangat jauh ini? Sudah berapa lama bersepeda? Perjalanan melewati negara mana saja? Negara mana yang paling menarik dan berkesan? Kapan menyelesaikan perjalanan? Apakah tidak lelah? Bagaimana mengelola perjalanan?
Pertanyaan-pertanyaan ini hampir sama dengan yang ditanyakan orang lain di lokasi atau negara-negara sebelumnya. Akan tetapi, saya tidak pernah bosan untuk menjawab. Saya malah sangat senang dengan antusiasme mereka. Hal itu menandakan mereka ingin menjalin persahabatan.
Banyak lapangan bola
Saya juga menyapa sejumlah teman mereka yang berada tidak jauh dari kami. Sebelum berpisah, kami pun berfoto bersama.
Bagi saya, menyapa warga sepanjang perjalanan adalah bagian dari upaya menjalin persahabatan antarbangsa dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia yang abadi. Di dalam pembukaan UUD 1945 telah ditegaskan bahwa Indonesia selalu siap menciptakan perdamaian abadi.
Selanjutnya saya bergerak ke arah Den Haag agar tidak kemalaman tiba di kota itu. Dalam perjalanan saya menghadapi hembusan angin dari depan yang cukup kencang. Hal ini membuat laju kayuhan saya pun sedikit melambat.
Kabarnya, bulan Februari selalu terjadi angin yang lumayan kencang di Belanda. Jika mendapatkan angin bergerak dari belakang, maka akan ikut mendorong laju perjalanan. Akan tetapi, pengalaman selama ini menunjukkan hembusan angin lebih banyak dari depan. Mungkin sekitar 80 persen.

Bertemu dengan tante Hernie (kanan) dan tante Tina (kiri). Dua warga Indonesia yang sedang berdomisili di Belanda. Foto: Arsip Royke Lumowa
Di tengah perjalanan ini, saya juga melihat begitu banyak lapangan sepak bola di wilayah pedesaan. Lapangan-lapangan itu tertata dan termanfaatkan dengan baik oleh warga setempat. Pantas saja, Belanda selalu berada di papan atas negara-negara yang jago bola.
Menjelang sore, saya sudah tiba di Den Haag. Sore itu saya bertemu dengan teman sepeda di Jakarta yang sering ke Belanda yakni tante Hernie dan temannya tante Tina. Saya dijamu makan malam. Kami bercerita tentang perjalanan saya. Bahkan, saya juga mencoba menggali informasi tentang Belanda dari mereka.
Ikut pemilu
Keesokan harinya, Sabtu, 10 Februari, saya mengikuti pemungutan suara pilpres 2024. Saya ikut coblos. Ini adalah coblos saya kedua kali selama hidup. Pertama kali saya ikut memiliih dalam pemilu tahun 1982 saat kelas III Sekolah Menengah Atas (SMA) di Ujung Pandang (kini Makassar).
KBRI menyelenggarakan pemungiutan suara di De Broodfabriek Expo. Gedungnya sangat luas. Sering digunakan untuk acara pameran. Tersedia tujuh tempat pemungutan suara (TPS) di dalam gedung itu.

Royke Lumowa mengikuti pencoblosan Pemilu 2024 di Den Haag Belanda. KBRI menggelar pemilu itu untuk warga Indonesia yang berdomisili di negara itu. Foto: Arsip Royke Lumowa.
Warga Indonesia yang datang memilih sekitar 4.000 orang. Jumlah ini sebetulnya jauh di bawah daftar pemilih tetap (DPT). Pemungutran dibuka jam 8 pagi dan selesai pada pukul 16.00. Panitia bekerja sampai malam. Turut hadir Dubes Belanda Pak Mayerfast.
Masyarakat Indonesia di Belanda sangat antusias mengikuti pencoblosan ini dan semua berjalan lancar dan tertib. Saya sangat bahagia karena telah ikut memilih. Apalagi, dalam pencoblosan pertama ini saya lakukan di Den Haag. Pengalaman yang mungkin tak terulang kembali.
Saya sempat berdialog dengan warga yang ikut memilih. Mereka menegaskan tidak ada rayuan, godaan apalagi bayaran atau intimidasi untuk memilih pasangan calon tertentu. Jadi hasil pemungutan suara tersebut adalah murni dari suara hati kata mereka.
Di lokasi pemungutan suara tersedia bazar yang menjual aneka kuliner khas Indonesia. Sungguh sangat ramai, penuh sesak. Saya senang karena dapat bertemu dengan orang-orang Indonesia yang tinggal di Belanda. Banyak yang bertanya dan kagum melihat ada sepeda dan mobil bernomor polisi B berada di Belanda.
Misa bahasa Indonesia
Malam hari setelah makan malam, mobil pengiring tidak bisa starter sehingga kami harus panggil montir online untuk memperbaiki. Dia mencoba memperbaiki tetapi gagal sehingga disarankan agar mobil dibawah ke bengkel.
Setelah diderek menuju bengkel, ternyata bengkel tidak beroperasi pada hari Sabtu. Namun pemilik bengkel mengijinkan kami memarkirkan mobil di lokasi tersebut selama Sabtu dan Minggu.
Mereka mulai mengerjakan pada Senin. Perbaikan mobil berlangsung hingga Rabu. Mobil mengalami gangguan pada sistem elektrik. Bukan mesin. Biaya perbaikan sebesar 300 euro.
Pada Minggu 11 Februari 2024, saya mengikuti misa di Rijwikj, selatan Den Haag. Misa di Gereja Saint Benedict and Bernadette bersama om Bob Mantiri dan tante Irene, istrinya. Uniknya misa ini khusus berbahasa Indonesia, umat yang hadir mayoritas orang Indonesia. Bahkan, romo yang memimpin misa pun orang Flores yang sudah lama bertugas di Belanda. Menarik sekali. Sebuah pengalaman yang luar biasa.
Selesai misa, om Bob dab tante Irene menaktrir saya makan siang. Kami makan di sebuah restoran Indonesia bernama cenderawasih yang letaknya tidak jauh dari gereja juga. Kami berjalan kaki sekitar 500 meter.
Om Bob Mantiri adalah mantan wartawan senior di Belanda berusia 85 tahun masih kuat berjalan kaki meski mulai pelan. Tante Irene terlihat lebih gesit dan energik.
editor: JANNES EUDES WAWA
Catatan Royke Lumowa (45): Mengunjungi Sekolah Polantas di Apeldoorn, Belanda
-
Cyling2 tahun ago
Several of Our Belongings Were Stolen in Iran
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (8): Tiba di Bangkok Setelah Sebulan Kayuh dari Jakarta
-
Perjalanan2 tahun ago
Royke Lumowa Gowes Jakarta-Paris demi Bumi Sehat
-
Cyling8 bulan ago
Terpanggil Menyusuri Waduk Jatiluhur
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (14): Pekan Paling Bahagia di Tibet
-
Perjalanan1 tahun ago
Catatan Royke Lumowa: Saya Tuntaskan Bersepeda Jakarta-Paris
-
Perjalanan2 tahun ago
Catatan Royke Lumowa (17): Ketika Anak Sekolah di India “Keroyok” Saya
-
Perjalanan4 tahun ago
Menelusuri Jejak Rasul Perdamaian Swiss