Connect with us

Humaniora

Lilin Solidaritas untuk Rufinus Tigau

Published

on

Share ini

Oleh STEFANUS WOLO ITU

Minggu, 16 Januari 2022, saya menghadiri undangan dari Kirche In Not atau Aid to the Church in Need Swiss di kota Luzern. Kirche In Not adalah sebuah lembaga solidaritas kemanusiaan Katolik internasional. Lembaga kepausan ini berkonsentrasi membantu umat Katolik yang tertindas dari pelbagai belahan dunia.

Saya mengenal lembaga ini pada Mei 2017. Ketika itu mereka meminta dukungan umat paroki saya untuk karya Mgr. Klemens Pickel dari Keuskupan Saratow, Rusia Selatan. Uskup Klemens bersama 40 imam dan 50 suster melayani sekitar 35.000 umat katolik di wilayah itu. Salah seorang imamnya adalah P Laurens Lemdel SVD, Misionaris dari Maumere-Flores, Indonesia.

Sejak itu saya selalu berkomunikasi dengan kedua staf Kirche In Not; Lucia dan Ivo, serta pimpinan lembaga ini, Herr Jan Probst. Saya perlahan menjadi mitra kerja mereka. Sebagai mitra, saya bersama umat paroki juga menggalang dana melalui kolekte mingguan, kolekte kematian dan intensi misa. Di Swiss, kolekte-kolekte tidak dimasukan ke kas paroki, tetapi disumbangkan untuk karya-karya sosial kemanusiaan.

Setiap tahun pada hari minggu ketiga Januari, saya diundang menghadiri perayaan ekaristi di gereja Jesuit, Luzern. Ada dua intensi penting dalam perayaan itu. Pertama, kami mengenangkan Pater Werenfried van Straaten yang lahir 17 Januari 1913 di Mijdrecht, Amsterdam, Belanda dan meninggal 31 Januari 2003 di Königstein-Taunus Jerman. Kami juga mendoakan arwah dan memasang lilin untuk orang-orang Katolik sedunia yang meninggal karena penganiayaan. Kedua, kami makan bersama dan mendengar laporan kegiatan tahunan.

Pasca Perang Dunia II

Pater Werenfried van Straaten adalah pendiri Kirche In Not. Dia mendirikan lembaga ini pada Desember 1947 di Belgia. Awalnya diberikan nama Ostpriesterhilfe atau bantuan imam-imam dari Belanda dan Belgia untuk para pengungsi dari wilayah Jerman Timur. Pater Werenfried mengalami situasi perang dunia kedua dan menyaksikan kesulitan hidup pasca perang.

Sekitar 14 juta warga dari Jerman Timur mengungsi ke Jerman Barat hingga perbatasan Belanda dan Belgia. Sekitar 6 juta orang di antaranya adalah orang Katolik. Mereka mengalami kesulitan tempat perlindungan, pakaian, makanan, obat-obatan dan pendampingan rohani. Karena itu Werenfried menggalangkan bantuan kemanusiaan untuk mereka.

Pater Werenfried menyerukan rekonsiliasi pasca perang. Desember 1947, dia menulis sebuah artikel berjudul Frieden auf Erden? Kein Platz in der Herberge. Artinya Damai di Bumi? Tak Punya Tempat di Penginapan“. Dia memberikan dukungan spiritual untuk para pengungsi. Sejak tahun 1950, dia mengorganisir pelayanan rohani untuk mereka.

Para pengungsi itu menyebar ke pelbagai tempat. Mereka tidak memiliki tempat ibadat dan pelayan rohani. Pater Werenfried menghidupkan Kapellenwagenaktion“ yaitu aksi menjadikan kereta dan truk-truk besar sebagai tempat perayaan ekaristi dan pelayanan rohani sementara.

Pater Werenfried van Straaten, pendiri Kirche in Not di hadapan umatnya pada beberapa tahun silam. Foto: dokumen pribadi

Dia juga menghidupkan Rucksackpriester atau «Pastor Ransel“, yakni mengorganisasi para imam untuk mengunjungi tempat-tempat pengungsian dengan sepeda atau sepeda motor. Mereka mengisi ransel dengan perlengkapan ekaristi, pakaian, obat-obatan dan makanan.

Dalam perjalanan waktu karya Ostpriesterhilfe semakin meluas. Pelayanan mereka menjangkau Eropa Timur (1952), Timur Tengah (1955), Asia (1961), Amerika Latin (1962) dan Afrika (1965). Tahun 1969 lembaga ini berganti nama menjadi Kirche In Not atau Aid to the Church in Need hingga hari ini.  Tahun 1984, lembaga ini mendapat pengakuan dari Tahta Suci.

Tahun 1989, setelah perubahan politik di Eropa Timur, Kirche In Not mendukung evangelisasi baru di negara-negara eks blok Timur. Tahun 2007 Paus Benediktus XVI meminta mereka membantu Timur Tengah. Tahun 2011 Paus Benediktus  mengesahkan Kirche In Not sebagai lembaga resmi kepausan dan menunjuk Mauro Kardinal Piacenza sebagai presidennya.

Kirche In Not terus memperluas jaringan solidaritas kemanusiaan. Sejak 2011 Kirche In Not membantu Suriah dan Irak(2014). Tahun 2017-2020 Kirche In Not membangun kembali Katedral Allepo di Suriah. Di masa Pandemie Global, Kirche In Not memberikan bantuan darurat untuk ribuan keluarga di Libanon. Tahun 2021 mereka membangun kembali 14 ribuan tempat tinggal, gereja dan sarana peribadatan lain di Irak dan membantu korban gempa di Haiti.

Mereka tidak menerima hibah pemerintah atau dana pajak gereja. Setiap tahun mereka menerima sumbangan dana dari sekitar 330.000 donatur yang berasal dari 23 negara. Mereka mendukung kurang lebih 5000 projek kemanusiaan di 140 negara. Pada tahun 2020 Kirche In Not memperoleh sumbangan sangat signifikan yaitu sekitar 123 juta euro. Swiss menyumbangkan 7,2 juta Euro.

Kirche In Not mencatat sekitar 200 juta orang Kristen yang menderita perlakuan diskriminatif, penindasan regim politik dan tekanan sosial kelompok mayoritas. Mereka membantu pendidikan calon imam, formasi kaum religius, kaderisasi awam dan karya para imam. Mereka mendukung penyebaran iman melalui media komunikasi (radio, televisi, film dokumenter), bantuan buku-buku agama dan distribusi alkitab.

Mereka juga membantu pembangunan, renovasi gereja dan sarana transportasi untuk para pelayan pastoral. Mereka mengorganisir bantuan darurat perang, kekerasan, bencana alam dan pengungsian. Mereka mengadvokasi orang-orang Kristen yang mengalami penindasan dari institusi publik. Intinya mereka menggalang solidaritas kemanusiaan untuk orang-orang katolik yang tertindas.

Untuk Rufinus Tigau

Setiap tahun Kirche In Not menghadirkan selebran utama yang berbeda. Mereka mengundang Kardinal, Uskup atau imam dari pelbagai kawasan. Perayaan ekaristi kali ini dipimpin Mgr Joseph Maria Bonnemain, Uskup Keuskupan Chur Swiss yang ditahbiskan 19 Maret 2021. Uskup berusia 74 tahun ini adalah seorang dokter dan ahli hukum gereja yang bersahaja.

Perayaan kali ini tanpa kelompok paduan suara karena situasi Corona. Tapi seorang penyanyi tunggal, Silvia Widlin menyanyikan lagu-lagu Jodel dengan iringan Handharmonica atau harmonika tangan. Jodel adalah nyanyian khas penduduk pegunungan Alpen. Perayaan berlangsung hikmat dan disiarkan langsung oleh Radio Maria dan Radio Gloria Swiss.

Ada satu hal yang menggelitik saya saat doa umat. Pembaca doa umat, Lucia Wicki membacakan doa umat untuk Rufinus Tigau. Rufinus Tigau adalah katekis Paroki Bilogai, Keuskupan Timika-Papua Indonesia yang pada Oktober 2020 menjadi korban kekerasan aparat kepolisian. Dia dicurigai memberikan makanan untuk kelompok gerakan Papua merdeka.

Sebelum ditembak Rufinus sempat mengajak polisi berdialog: Bitte hören Sie auf zu schiessen, lassen sie uns in Ruhe reden! Atau  tolong berhenti menembak. Mari kita berbicara dengan tenang“. Ein Polizist richtete die Waffe auf ihn streckte ihn nieder. Tetapi seorang polisi menodongkan pistol dan menembaknya.

«Herr, gib allen den Mut, sich für den Frieden und für Dialog einsetzen, auch dann wenn es aussichtslos erscheint. Schenke uns die Gabe auch unseren Feinden mit Liebe begegnen zu können. Diese Kerze wird alle brennen Menschen, die sich gegen Hass, Verfolgung und für Dialog einsetzen“.

Artinya «Tuhan, berilah semua orang keberanian untuk membangun dialog dan perdamaian, bahkan ketika sudah tiada harapan. Beri kami anugerah untuk menjumpai musuh kami dengan cinta. Lilin ini akan menghangatkan semua orang yang menentang kebencian, penganiayaan dan membangun dialog“.

Kirche In Not memandang orang-orang Katolik di Papua sebagai kaum tertindas. Kematian katekis Rofinus Tigau membuktikan itu. Mereka tidak mendukung dana untuk gerakan Papua merdeka atau aksi balas dendam orang Katolik Papua terhadap aparat. Mereka menyesalkan kejadian itu, berduka atas kematian Rufinus Tigau dan mendoakan keselamatan jiwanya.

Mereka tulus memanjatkan doa dan memasang lilin tanpa tendensi politik. Lilin bernyala adalah lambang Kristus yang bangkit. Lilin kebangkitan dan solidaritas kemanusiaan baru.

Kirche In Not tidak membiayai projek kekacauan dan konflik bersenjata orang-orang Katolik. Mereka mendukung dialog humanis dan rekonsiliasi damai. Mereka mendukung umat katolik melawan kebencian dan penganiayaan dengan spirit kekatolikan yaitu cinta dan solidaritas kemanusiaan.

STEFANUS WOLO ITU
Imam Projo Keuskupan Agung Ende. Flores
Misionaris di Keuskupan Basel, Swiss

Share ini
Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Humaniora

80 Tahun Bom Atom di Nagasaki: Luka Itu Perih Sepanjang Masa

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini
 Oleh: JANNES EUDES WAWA

Pasukan Amerika Serikat dan Sekutu pada Kamis, 9 Agustus 1945 pukul 11.02 waktu Jepang atau 09.02 WIB menjatuhkan bom atom di Kota Nagasaki. Bom yang sangat dahsyat itu menghancurkan kota ini. Ribuan orang mati terpanggang dan menderita luka berat. Memiluhkan! Nasib Nagasaki memang sungguh malang, sebab kota ini sesungguhnya tidak pernah ada dalam daftar target pemboman. Sabtu, 9 Agustus 2025, dunia memperingati 80 tahun jatuhnya bom atom di Nagasaki.

Pertengahan Maret 2004, Kyushu-Yamaguchi Economic Federation, organisasi yang beranggotakan 900 perusahaan di Kyushu-Yamaguchi, Jepang  mengundang empat media cetak ternama dari Asia untuk mengunjungi pulau itu. Dari Indonesia adalah harian Kompas. Saya mewakili Kompas menghadiri undangan tersebut. Tujuannya untuk mempromosikan dan mengajak masyarakat dunia mengunjungi Kyushu. Di Jepang, tidak hanya Tokyo dan sekitarnya. Ada pula  Kyushu yang tidak kalah menarik. Salah satu daerah yang kami kunjungi adalah Museum Bom Atom di Nagasaki.

Sulit Terlupakan

Suzuko (23), mahasiswi Universitas Kyushu, meneteskan air mata saat menyaksikan foto-foto korban keganasan bom atom yang terpajang dalam Museum Bom Atom di Nagasaki, Rabu (17/3/2004). Ia tak kuasa melihat foto seorang anak lelaki yang tubuhnya hitam legam karena hangus terbakar. Ada pula foto seorang anak yang luka parah sekujur tubuh dan digendong kakaknya untuk mencari ibu mereka yang diduga hangus terbakar.

Sejumlah pakaian para korban bom atom di Nagasaki terpajang dalam Museum Bom Aton Nagasaki. Foto: Arsip CNN

Ada lagi foto korban yang kehilangan anggota tubuh. Selain itu, terdapat juga foto Kota Nagasaki yang tinggal puing-puing akibat kebakaran besar tersebut. “Siapa pun yang menyaksikan foto-foto ini pasti dapat meyakini betapa dahsyat, ganas dan mengerikan ledakan bom atom yang terjadi pada 9 Agustus 1945 pukul 11.02 itu,” kata Suzuko.

Gadis yang sedang belajar pada Fakultas Ekonomi itu mengaku sudah tiga kali mengunjungi Museum Bom Atom di Nagasaki. Kali pertama sewaktu masih sekolah dasar, kedua pada sekolah lanjutan, dan hari itu merupakan ketiga kalinya. Kendati demikian, dia tidak pernah bosan untuk mengunjungi ke museum tersebut.

“Tragedi bom atom Nagasaki sulit terlupakan siapa pun. Sangat memilukan dan tetap membekas sepanjang masa. Apalagi, dengan adanya museum yang lengkap seperti ini setiap orang pasti ingin mengunjungi dan mengetahui lebih mendalam,” ujar Suzuko yang hari itu datang bersama tiga temannya dari Fukuoka.

Antusiasme masyarakat mengunjungi Museum Bom Atom sungguh luar biasa. Setiap hari minimal 2.000 orang. Mereka bukan hanya warga Jepang, tetapi juga wisatawan mancanegara. Tidak cuma orang dewasa, melainkan juga mahasiswa dan pelajar.

“Pengunjung yang pelajar dan mahasiswa juga dari berbagai negara, seperti China dan Korea Selatan. Mereka datang dalam jumlah besar, yakni 100 sampai 200 orang per kelompok,” jelas Shigematzu, petugas Museum Bom Atom Nagasaki.

Tidak Masuk Daftar

Nasib Nagasaki pada Kamis 9 Agustus 1945 sungguh sangat malang. Kota ini tidak ada dalam sasaran untuk pengeboman. Berdasarkan data yang tertulis di Museum Bom Atom Nagasaki, sejak tahun 1943 Jepang memang telah menjadi target Amerika Serikat dan Sekutunya untuk menjatuhkan bom.

Pada 27 April 1945 mereka menetapkan 17 kota di Jepang sebagai calon lokasi yang menjadi sasaran pemboman. Ke-17 kota itu adalah Tokyo, Kawasaki, Yokohama, Nagoya, Osaka, Kobe, Hiroshima, Kyoto, Kure, Yakata, Kukora, Shirnonoseki, Yamaguchi, Kimamoto, Fukuoka, Nagasaki, dan Sasebo.

Pada 10 Mei 1945, Amerika Serikat dan Sekutu menyeleksi kembali dan menyisahkan empat kota yakni Kyoto, Hiroshima, Yokohama, dan Kukora yang menjadi calon lokasi pemboman. Pada 28 Mei 1945 terjadi penyaringan lagi, lalu tersisa tiga kota: Kyoto, Hiroshima, dan Kukora. Tetapi, saat itu mendadak bertambah satu kota lagi yakni Niigata.

Dua hari berikutnya, Kyoto terhapus dari daftar target bom setelah adanya jaminan dari Secretary of War Henry L Stimson.  Belum terkonfirmasi secara pasti alasan penjaminan itu. Rencana pemboman akhirnya terwujud dengan menjatuhkan bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 pukul 08.15 waktu setempat.

Meski demikian, pimpinan militer Niphon belum juga menyerah seperti tertuang dalam Deklarasi Postdam 26 Juli 1945. Bahkan, Jepang tetap ngotot melakukan perlawanan serta tidak menghiraukan adanya pengemboman di Hiroshima.

Sikap pimpinan Jepang tersebut membuat Sekutu bertambah gemas. Pemboman kedua yang semula terjadwalkan pada 11 Agustus 1945 pun bergeser dua hari lebih cepat. Apalagi, berdasarkan ramalan cuaca, kondisi udara di Jepang mulai 10 Agustus 1945 kurang bagus.

Nagasaki yang Malang

Pada 9 Agustus 1945 pukul 08.09, pesawat pembom B-29, BockÆs Car mulai terbang mengitari langit Kota Kukora, ujung paling utara Pulau Kyushu dengan ketinggian 31.000 kaki. Kondisi udara di kota itu cerah dan terlihat jelas dari pesawat. Namun, Mayor Kermit Beahan-ahli teknik pengeboman asal Texas yang berjuluk The Great Artiste yang bertugas menjatuhkan bom belum melihat pabrik senjata yang menjadi sasaran pemboman karena tertutup asap tebal.

Pengeboman pun batal. Pesawat pembom berputar lagi mencari sasaran. Dari teropong tampak jelas Kota Kukora, termasuk sungai yang menurut data intelijen Sekutu mengalir persis di sebelah pabrik senjata. Namun, lokasi pabrik senjata tetap tertutup asap pekat.

Asap tebal itu membuat pasukan lagi-lagi batal menjatuhkan Fat Man; sebuah bom atom berukuran panjang 10 kaki, delapan inci, dan berdiameter 5 kaki. Ketentuan Sekutu pada 25 Juli 1945 bahwa menjatuhkan bom khusus hanya terjadi jika telah melihat sasaran dengan jelas.

Untuk ketiga kalinya, Mayor Charles W Sweeney, pilot BockÆs Car mengarahkan lagi pesawat ke Kukora dan Beahan meneropong kembali. Hasilnya sama: Kota Kukora, termasuk jalan dan sungai yang berada dekat pabrik senjata  terlihat  sangat jelas dari udara. Tetapi, pabrik senjata tetap tertutup asap dan awan pekat. Pasukan pun kembali batal menjatuhkan bom atom.

Mereka sangat khawatir terjadi tembakan dari bawah.  Setelah berunding, akhirnya memutuskan pesawat meninggalkan Kukora. Apalagi, bahan bakar semakin menipis, hanya cukup untuk satu lintasan terbang di atas Nagasaki.

Semula timbul ide menjatuhkan bom atom di laut atau di bawah kembali ke Iwo Jima atau Okinawa, atau menjatuhkan bom dengan bantuan radar. Begitu pesawat berada di atas Nagasaki, pasukan memutuskan menjatuhkan bom atom saat itu juga dengan bantuan radar.

Tepat pukul 11.02, Nagasaki menjadi sasaran Fat Man. Seketika, kota itu menjadi kuburan massal. Sebanyak 73.884 orang mati terpanggang, 74.989 orang luka berat, 120.820 orang kehilangan tempat tinggal, dan sepertiga Nagasaki pun hancur total.

Museum Jadi Saksi

Tahun 1955, Pemerintah Nagasaki membangun museum bom atom dan direkonstruksi pada tahun 1964. Gedung berlantai tiga yang penuh nilai sejarah ini berada dekat Gereja Katedral Urakami. Gereja yang terbangun sejak abad ke-16 itu  berjarak hanya 500 meter dari pusat peledakan.

Bom atom menghancurkan gereja ini. Tersisa hanya dua patung Bunda Maria yang terletak di altar dan beberapa patung orang suci di depan gereja. Di pusat peledakan dibangun monumen berbentuk balok berwarna hitam.

Model monumen tampak sangat sahaja, bertolak belakang dengan kondisi Jepang sebagai raksasa ekonomi dunia. Namun, kesahajaan itu sengaja diciptakan guna berbicara tentang kisah memilukan dan penderitaan penduduk Nagasaki.

Dalam museum, di balik lemari kaca, tampak botol-botol yang meleleh akibat panas yang luar biasa. Bahkan, sepertinya ada benda lain yang ikut meleleh dari botol. Mungkin dapat dipastikan bahwa tak mungkin ada tangan utuh yang tersisa, tetapi dari botol yang meleleh menyerupai kristal kaca itu ada bekas ruas jari manusia berbentuk ukiran cekung.

Museum Bom Aton Nagasaki menjadi bukti sejarah atas tragedi memiluhkan yang terjadi 9 Agustus 1945. Foto: Arsip CNN

Abu dari telapak tangan yang mewarnai cekungan botol meleleh berwarna hijau itu mampu melukiskan suatu suasana menyakitkan. Ada pula foto reruntuhan bangunan, foto pakaian yang bagian lengan dan kaki kanan hangus dilahap api.

Pendek kata, semua yang terjadi saat bom atom meledak hingga penanganan darurat, termasuk sejumlah patung orang suci dalam keyakinan Katolik serta pakaian dan bahan bangunan milik korban dalam tragedi itu tersimpan di museum. Menggambarkan dan memberi satu pesan singkat bahwa pemboman itu sangat kejam!

Setiap 9 Agustus tepat pukul 11.02, masyarakat di Nagasaki selalu berkumpul dan berbaring serentak selama beberapa menit di taman monumen. Cara itu untuk mengenang nasib manusia yang telah tewas tergeletak akibat dihantam bom atom.

Belum Terjawab

Akan tetapi, mengapa Nagasaki menjadi pilihan untuk dibom? Bukankah kota itu sebelumnya tak masuk dalam target Sekutu? Sampai sejauh ini alasan tersebut belum terungkap. Ada pihak yang menyebut pilihan itu hanya kebetulan belaka.

Namun, ada pihak yang menduga pemboman tersebut terkait dengan pabrik senjata milik perusahaan Mitsubishi untuk mendukung mesin perang Jepang yang berada di Nagasaki. Di sana, ada Mitsublishi Shipyards, Mitsubishi Electric Company, Mitsubishi Steelworks, Mitsubishi Arms Factory, dan pabrik-pabrik pendukungnya yang lain.

Argumentasi tersebut mungkin benar. Apalagi pabrik senjata itu ikut hancur. Namun, mengapa lokasi pemboman di Nagasaki bukan pabrik senjata? Pertanyaan ini tentu sulit pula dijawab, sebab sebagian tujuan dari pemboman adalah untuk percobaan senjata. Lagi pula, situasi Kota Nagasaki terkurung oleh gunung dan bukit sehingga memudahkan pembuktian dari percobaan tersebut.

Napoli di timur

Nagasaki adalah kota laut dengan deretan bukit nan indah. Sejak abad ke-16, Nagasaki telah menjadi kota pelabuhan, dimana para pedagang dari Portugis, Spanyol, Belanda, dan China ramai-ramai mengunjunginya. Kondisi ini membuat Nagasaki telah terbuka sejak ratusan tahun silam.

Keterbukaan itu membuat Nagasaki juga mendapat julukan sebagai wilayah multikultural, sebab di sana berbaur kebudayaan Portugis, Spanyol, Belanda, China, Rusia, dan Amerika. Belanda memiliki suatu pos perdagangan di Dejima. Peninggalan Belanda seperti nama tempat masih ditemukan di wilayah ini, misalnya Huis ten Bosch atau “rumah dalam hutan”. Gedung peninggalan asing itu tetap terpelihara dan terawat, bahkan telah menjadi museum untuk tujuan wisata.

Keterbukaan terhadap kebudayaan asing di Nagasaki tampak pula dari kehadiran kelompok Kristen di tengah mayoritas umat Buddha atau Shinto. Dari total jumlah penduduk Kota Nagasaki yang sebesar 418.523 jiwa, sekitar 20 persen di antaranya adalah penganut Katolik.

Di musim gugur, saat Danau Acer berubah warna menjadi merah, kuning, dan jingga, kecantikan wajah Nagasaki semakin terasa luar biasa. Karena begitu cantiknya suasana di sekeliling dan di tengah kota itu, masyarakat di Eropa menjuluki Nagasaki sebagai Napoli di timur.

Kisah Nagasaki yang malang itu tidak habis-habisnya dan terus melegenda. Kisah tanpa ujung tersebut seolah bertutur bahwa luka akibat bom atom yang maha dahsyat tetap dan selalu membekas. Kehadiran Museum Bom Atom membuat kisah tragis dan kejam yang menimpa Nagasaki pada 9 Agustus 1945 pukul 11.02 itu tetap terkenang sepanjang masa.

Meski telah 80 tahun berlalu, tragedi itu tetap menjadi pengingat hidup tentang kengerian yang mendalam dari penggunaan senjata nukilr. Apalagi hingga kini perang antarnegara masih terus berkecamuk di sejumlah belahan dunia, seperti di Gaza, dan juga di Rusia-Ukraina. Mendiang Paus Fransiskus pernah mengingatkan, “Perang selalu merupakan kekalahan bagi kemanusiaan”. Perdamaian sejati menuntut keberanian meletakkan senjata, terutama senjata yang memiliki kekuatan untuk menimbulkan bencana yang tak terlukiskan.

JANNES EUDES WAWA
Wartawan/Pegiat Sepeda

 

 

Share ini
Continue Reading

Humaniora

Kunjungi Jepang, Orang Indonesia Wajib Bebas Penyakit TBC

JANNES EUDES WAWA

Published

on

Share ini

Pemerintah Jepang sungguh sangat terganggu dengan jumlah penderita penyakit tuberculosis di negara tersebut yang terus meningkat. Bayangkan, pada tahun 2022 tercatat sebanyak 10.235 penderita baru. Bahkan, 11,9 persen di antaranya adalah pasien baru yang berasal dari luar negeri. Itu sebabnya, mereka akan mengetatkan wisatawan yang ingin mengunjungi Jepang.

Penambahan jumlah pasien tuberculosis (TBC) ini menjadi persoalan yang besar dan serius bagi “negeri Sakura” tersebut. Maklum, pada tahun 2021, organisasi kesehatan dunia (WHO) sebetulnya telah menyatakan Jepang sebagai negara endemis rendah untuk TBC. Saat itu, jumlah penderita TBC di Jepang sudah berada di bawah 10 per 100.000 penduduk.

Jepang memiliki banyak lokaswisata yang menarik. Setiap tahun jutaan orang dari seluruh dunia mengunjungi Jepang. Foto: Jannes Eudes Wawa

Belum sampai setahun, klaim WHO itu langsung terbantahkan. Jumlah penderita TBC di Jepang malah melonjak drastis pada tahun 2022.  Apalagi, dari sejumlah survei lapangan telah menunjukkan pasien TBC cenderung bertambah. Fakta ini tentu menjadi pukulan serius bagi Jepang.

Pemerintah Jepang pun tidak tinggal diam. Mereka terus mencari tahu pemicunya. Mengapa terjadi peningkatan jumlah penderita TBC? Apakah pemicu utama semata-mata karena adanya penularan dari penderita lama di negeri itu, atau ada penyebab lain?

Enam negara

Hasil penelitian menunjukkan banyak pasien baru TBC di Jepang berasal dari enam negara, yakni Indonesia, Filipina, Vietnam, China, Nepal dan Myanmar. Itu sebabnya, mulai tahun 2024, wisatawan dari keenam negara tersebut wajib menjalani tes TBC jika ingin mengunjungi Jepang.  Mereka mendapatkan visa masuk Jepang kalau benar-benar sehat dari gangguan penyakit menular tersebut.

Menteri Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan Jepang Keizo Takemi melalui pemberitahaan Asahi Shimbun pada Jumat (17/11/2023) menyebutkan bahwa pemerintah Jepang akan bekerjasama dengan sejumlah rumah sakit di keenam negara tersebut. Rumah sakit tersebut yang melakukan pemeriksaan TBC pada calon wisatawan yang ingin mengunjungi Jepang.

Persimpangan Shibuya di dekat Tokyo, Jepang, termasukpaling ramai di dunia. Foto: Jannes Eudes Wawa

Jadi, tes TBC menjadi persyaratan utama dalam permohonan visa yang diajukan para wisatawan dari keenam negara tersebut yang ingin tinggal lebih dari tiga bulan. Jika hasilnya positif, maka Jepang takkan mengeluarkan visa.

“Kami sedang membuat peraturan tersebut. Saat ini sedang finalisasi sehingga dapat memulai sistem ini pada tahun fiskal berikutnya (2024),” kata Takemi. Tahun fiskal di Jepang dimulai pada setiap bulan April.

Kasus global

WHO melilis Global TB Report tahun 2023 pada Selasa 7 November 2023 lalu. Salah satu hasilnya adalah kasus TBC di Indonesia menempati urutan kedua di dunia. Posisi Indonesia tersebut telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir.

Jumlah penderita TBC di dunia tahun 2020 sekitar 10 juta orang. Setahun berikutnya menjadi 10,3 juta orang, dan tahun 2022 bertambah lagi mencapai 10,6 juta orang.

Delapan negara di kawasan Asia dan Afrika yakni memiliki kasus terbanyak yakni India (27 persen), Indonesia (10 persen), China (7,1 persen), Filipina (7 persen), Pakistan (5,7 persen), Nigeria (4,5 persen), Bangladesh (3,6 persen), dan Kongo (3 persen).

Khusus di Indonesia, penderita TBC sekitar 969.000 orang. Jumlah ini meningkat dari tahun 2022 sebanyak 717.941 kasus. Angka ini juga melonjak 61,98 persen dari kondisi tahun 2021 sekitar 443.235 kasus. Pada tahun 2022 juga berhasil mengobati 608.947 penderita TBC.

Jepang selalu menampilkan atraksi budaya di setiap lokasi wisata dan selalu menyedot wisatawan. Foto: Jannes Eudes Wawa

Menurut WHO, TBC adalah penyakit menular yang menyerang paru-paru dengan pemicu bersumber dari bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Penyakit ini menyebar melalui udara ketika pengidap batuk, bersin, atau meludah. Kurang lebih seperempat populasi global kemungkinan terinfeksi bakteri TBC.

Namun hanya 5-10 persen orang terinfeksi pada akhirnya menunjukkan gejala dan berkembang sebagai penyakit. Tercatat, 1,3 juta orang meninggal karena TBC pada 2022, dimana 167.000 orang di antaranya juga mengidap HIV.

Secara global, TBC merupakan pembunuh menular nomor dua setelah Covid-19. Mereka yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah, seperti pengidap HIV, malnutrisi, diabetes, atau pengguna tembakau memiliki risiko lebih tinggi untuk jatuh sakit.

Adapun gejala TBC antara lain: batuk berkepanjangan (terkadang disertai darah). Nyeri dada, demam meriang, badan lemas, nafsu makan berkurang dan berat badan pun turun. Meski biasanya menyerang paru-paru, TBC juga bisa menyerang ginjal, otak. (JANNES EUDES WAWA, dari berbagai sumber)

Jangan lewatkan!!

Catatan Royke Lumowa (22): Perjalanan di Iran, Siapkan Uang Lokal Tunai

Share ini
Continue Reading

Humaniora

Pendidikan Sejak dalam Kandungan, Kekuatan Orang Israel

Published

on

Share ini

Oleh: STEFANUS WOLO ITU

Jumat (31/3/2023) malam, saya mengunjungi keluarga Israel- Swiss di Stein. Ini adalah kunjungan orang Indonesia di tengah pro kontra kehadiran team sepak bola Israel yang akan bermain dalam Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Saya mengenal keluarga ini sejak Desember 2014, melalui puteri mereka Dynia salah satu puteri altar Paroki Eiken, tempat saya bertugas. Karena baru tiba dari Jerman, saya berusaha mengenal umat, termasuk putera puteri altar. Saya menanyakan nama, tempat tinggal dan asal usul orang tua.

Mereka datang dari pelbagai bangsa: Swiss, Jerman, Italia, Austria, Polandia, negara-negara eks Jugoslavia, Amerika Latin, Afrika dan Thailand. Saya juga menanyakan asal usul Dynia. Dynia menjawab: “Ibu saya Lydia orang Swiss dan ayah saya Tanja dari Israel. Mama saya Katolik. Ayah saya penganut Yahudi. Tetapi keluarga kami rukun. Bapak mendukung saya dibabtis Katolik, menerima komunio pertama dan menjadi puteri altar”.

Tahun 2015 saya mengunjungi keluarga Dynia. Rumah mereka letaknya di pinggir Sungai Rhein, tidak jauh dari industri farmasi Novartis. Kami menikmati kopi sore sambil berkisah tentang negara Israel dan Indonesia.

Waktu terus berlalu. Karena kesibukan masing-masing, kami pun jarang bertemu. Dynia juga sudah tidak aktif lagi sebagai puteri altar karena harus melanjutkan studi kedokteran di Universitas Zürich.

Tradisi keluarga Yahudi

Jumat (31/3/2023) malam, kami bertemu lagi. Kami menikmati makanan khas Israel seperti kacang almond, kurma, ikan salmon dan sayur. Setelah makan mereka menunjukkan alat musik piano, biola dan perangkat musik lainnya.

Mereka juga menunjukan kaset-kaset lagu klasik. Tidak kalah menarik mereka menunjukan pula buku-buku dan perangkat belajar Matematika. Mereka menggunakannya saat sang istri mengandung dan saat Dynia masih kecil.

Mereka berceritera tentang kebiasaan keluarga-keluarga Yahudi, situasi Israel, Palestina dan timur tengah umumnya. Setiap tahun mereka selalu berlibur ke Israel. Mereka mengunjungi tanah tumpah darah dan saudara-saudari sebangsanya. Nasionalisme dan kerinduannya kembali ke kota Sion, Jerusalem tidak pernah pudar meski sudah lama tinggal di Swiss.

Perempuan Israel selain pintar, juga pemberani dan cantik. Sejak dalam kandungan mereka disiapkan untuk menjadi orang yang cerdas dan pemberani. Foto. albalad.co

Tanja berceritera bahwa Israel adalah satu-satunya negara bangsa Yahudi. Negara kecil ini luasnya 22,145 kilometer persegi. Ya, hampir dua kali luas Pulau Flores. Israel berbatasan dengan laut Tengah, Libanon, Suriah, Palestina, Yordania dan Mesir. Sesuai data 2021 jumlah penduduknya 9,364 juta jiwa.

Israel menjunjung tinggi kebebasan beragama. Penganut agama terbesar adalah Yahudi 6.820 juta jiwa atau sekitar 74,2 persen. Urutan kedua Muslim 17,8 persen. Agama Kristen menempati urutan ketiga yaitu hanya 2 persen dan terakhir agama Druze atau Daraziyah 1,6 persen.

Keempat agama ini hidup berdampingan secara damai.  Dalam urusan agama tidak ada kecemasan akan diktator agama mayoritas atau tirani agama minoritas. Bila berziarah ke Israel kita menjumpai penganut keempat agama itu di semua obyek wisata suci.

Tanja seorang Doktor Biotehnologi dan bekerja di perusahaan farmasi terkenal, Novartis. Dia mengenal dan menyebut hampir semua ilmuwan terkemuka keturunan Yahudi. Albert Einstein, penemu teori Relativitas yang studi di Universitas Zürich dan tinggal di Swiss. Thomas Alva Edison, penemu bola lampu listrik. Leonard Kleinrock penemu Internet dan Lary Page penemu mesin pencari Google. Ada Mark Zuckerberg, penemu aplikasi Facebook, Bill Gates penemu Microsoft dan Andy Rubin, pencipta sistem operasi Android.

Mayoritas penerima Nobel adalah orang-orang keturunan Yahudi. Dari 170 an peraih Nobel Ilmu Pengatahuan, 102 penerima di antaranya berkebangsaan Yahudi.

Ada begitu banyak perusahaan multinasional yang menguasai dunia dewasa ini. Mungkin juga ada di Indonesia. Sebut saja Carrefour, Barric Gold, Baskin Robbins, Danone, Dell, Delta Galil, Hagen Dazs Ice Cream, Intel Corporation, Philip Moris, Revlon, Starbucks Cooperation, Star TV dan masih banyak lagi. Semuanya dikelola oleh para pebisnis keturunan Yahudi.

Sejak dalam kandungan

Saya begitu kagum dan penasaran. Saya bertanya pada Tanja: Mengapa kualitas intelektual orang Israel dan orang Yahudi umumnya begitu hebat?

Dia menjawab tegas: “Orang Yahudi cerdas karena ketekunan para ibu!” Mereka memperhatikan pendidikan sejak bayi dalam kandungan. Bahkan mereka meyakini bahwa sejak terjadi pembuahan antara sel telur dan sel sperma, otak janin sudah mulai terbentuk.

Wanita Israel yang sedang hamil harus banyak mendaraskan doa dalam lagu. Menyanyi yang rutin merangsang perkembangan kecerdasan emosional. Wanita hamil juga bermain piano dan mendengar musik klasik. Anak-anak diwajibkan berlatih piano dan biola. Kedua alat musik ini dipercaya sangat efektif meningkatkan kecerdasan IQ. Irama musik, terutama musik klasik karangan Mozart bisa merangsang sel otak.

Wanita hamil Israel juga harus mempelajari dan mengerjakan soal-soal matematika dengan sukacita. Anak-anak Israel juga wajib belajar matematika dan konsep-konsep yang berkaitan dengan bisnis dan perdagangan. Itulah sebabnya orang Yahudi menguasai perdagangan dunia.

Ibu-ibu yang sedang menyusui harus banyak makan kacang almond, kurma dan minum susu. Siang hari sang ibu  makan salad, roti dan daging ikan. Menu makanan mereka didominasi ikan. Daging ikan dianggap bagus untuk otak. Tetapi kepala ikan harus dihindari karena mengandung zat yang mengganggu pertumbuhan anak. Wanita hamil juga harus banyak mengkonsumsi minyak ikan.

Mereka mengajarkan anak-anak agar tidak makan daging lain dan ikan pada waktu yang sama. Hal itu akan mengganggu pertumbuhan. Mereka juga menyiapkan pil ikan untuk anak-anak. Mereka duluan makan buah, baru roti dan nasi. Makan buah setelah nasi atau roti membuat ngantuk dan malas kerja.

Israel termasuk negara penghasil rokok. Tetapi kebanyakan mereka tidak merokok. Mereka sadar betul bahwa nikotin merusak sel utama dalam otak. Merokok tidak saja berdampak pada perokok, tetapi juga keturunannya. Keturunan menjadi bodoh karena merokok.

Anak-anak Israel harus belajar dan menguasai tiga bahasa yaitu Ibrani, Arab dan Inggris. Sejak kecil mereka harus aktif berolah raga. Olah raga terkenal adalah menembak, memanah dan lari. Menembak dan memanah akan membuat otak anak cemerlang dan mudah terfokus pada aktivitas berpikir.

Orang Israel sejak kecil diwajibkan untuk berlatih memanah. Ini untuk membiasakan diri fokus. Foto: telisik.id

Saya terkagum-kagum mendengar ceritera pengalaman itu. Kehebatan mereka karena pendidikan dalam keluarga. Lebih lanjut Tanja katakan: “Stefan, bangsa kami kecil, tapi banyak dimusuhi. Kami memiliki banyak kehebatan. Karenanya kami ditakuti semua negara tetangga dan disegani dunia”.

Saya menimpalinya: “Tanja, bangsa kami besar, luasnya 5.180.053 kilometer persegi dan berpenduduk 275 juta jiwa. Letaknya juga jauh di Asia Tenggara sana. Kami takut Israel! Bangsa kami paling pengecut. Kami begitu takut kepada 20 an pemain sepak bola Israel U-20 yang hendak berlaga di Indonesia. Beberapa hari ini kami ricuh. Presiden FIFA, Gianni Infantino sudah membatalkan Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20”.

Sambil tertawa, Tanja menyodorkan Sportschau dari kantor FIFA di Zürich Swiss. “Gianni Infantino involviert Israelfeindlichkeit – FIFA entzieht Indonesien die U20-Weltmeisterschaft. Die FIFA hat Indonesien die Ausrichtung der U20-WM entzogen, die im Mai beginnen soll. Einen Grund nannte der Weltverband nicht, aber es dürfte die Israelfeindlichkeiten im muslimischen Staat ein”.

Ya, Federasi Sepak Bola Internasional dibawah pimpinan Gianni Infantino membatalkan penyelenggaraan Piala Dunia Usia 20 tahun. Penyebabnya adalah rasa benci, ketakutan dan permusuhan terhadap Israel. Saya malu dan geleng-geleng kepala. Katanya politik luar negeri Indonesia bebas aktif dan cinta damai. Tapi kok tidak turut serta menciptakan perdamaian dunia, termasuk menjadikan sepak bola sebagai langkah-langkah kecil proses perdamaian Israel dan Palestina.

Tanja dan istrinya lalu menghibur saya: “Stefan, semuanya sudah selesai. Tidak perlu kecewa. Lapangan yang ada dijadikan  tempat olah raga anak-anak Indonesia. Mereka bisa berlari, latihan memanah dan menembak diiringi musik-musik khas Indonesia. Jangan musik klasik ya. Nanti telinga orang Indonesia sakit. Musik klasik banyak ditulis musikus terkenal turunan Yahudi”.

“Indonesia kaya ikan. Tetapi jangan terlalu sering makan kepala ikan. Nanti kamu menjadi penakut. Ada uang beli saja banyak ikan untuk ibu-ibu hamil di sana. Biarkan bayi-bayi mereka sehat dan cerdas seperti bayi-bayi Yahudi. Hari minggu kita rayakan Palmsonntag. Kita akan mengenangkan Yesus masuk kota Sion, Yerusalem. Yerusalem akan dipenuhi anak-anak Israel dan Palestina. Anak-anak yang yang cerdas, berkualitas dan hidup berdamai”.

Dalam hati saya bilang “Ngemi Kau he he“. Saya pamit dan langsung kembali ke pastoran, tidur nyenyak sampai pagi.  Bangun pagi sambil minum kopi saya menulis kembali kisah kami semalam. Kita belajar dari orang Israel dan Yahudi. Pendidikan anak adalah kekuatan mereka.

 

Oleh: STEFANUS WOLO ITU
Rohaniwan Indonesia, berkarya di Eiken AG Swiss

 

Baca juga:

Catatan Musim Semi: Optimisme Orang Buta

 

 

Share ini
Continue Reading
Advertisement

Kategori

Video

 

Advertisement

Trending

Copyright © 2017 Zox News Theme. Theme by MVP Themes, powered by WordPress.